Wednesday, March 16, 2016

  Pengertian Bid’ah Menurut Ahlisunnah Wal Jama’ah


 Salah satu senjata utama kaum wahaby (khawarij zaman ini) adalah kata bid’ah. Dalam setiap pemahasan mereka tidak terlepas dari kata-kata bid’ah. Dengan jurus bid’ah pula mereka menyesatkan para ulama-ulama besar dan mayoritas kaum mulimin.
Dalam menafsirkan makna bid’ah mereka menolak penafsiran para ulama-ulama besar dan hanya menerima penafsiran yang di lakukan oleh tokoh-tokoh mereka (seperti al-bani, utsaimin, salih fauzan dan lain- lain).
Karena itu, maka kami pihak LBM MUDI Mesjid Raya, merasa perlu membuat satu tulisan tentang pemahaman makna bid’ah berdasarkan pemahaman ulama Ahlus sunnah wal jamaah. Terlebih lagi banyak kalangan yang meminta kami untuk membahas masalah bid’ah.
PENGERTIAN BID’AH SECARA ETIMOLOGI (BAHASA)
Secara etimologi, bid’ah mempunyai 2 makna. Pertama, memulai dan mengerjakan hal yang baru tanpa ada didasari contoh.
Makna ini berasal dari perkataan :
أبْدعْتُ الشيءَ قولاً أو فِعلاً، إذا ابتدأتَه لا عن سابق مثال
(Aku memulai sesuatu perkataan atau perbuatan, apabila aku memulainya maka tidak ada keserupaan sebelumnya).
Sebagai contoh dari makna yang pertama adalah firman Allah SWT :
والله بديعُ السّمواتِ والأرض
“Allah SWT merupakan pencipta langit dan bumi”. (Q.S. Al-Baqarah : 117)
Pada ayat yang lain :
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعاً مِنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah (hai Muhammad SAW): “Aku bukanlah yang pertama di antara Rasul-Rasul”. (Q.S. Al-Ahqaf : 9)
Selanjutnya, Syaikh Ahmad bin Hijazi Al-Fasyani rahimahullah mengutarakan bahwa bid’ah secara bahasa adalah :
ما كا ن مخترعا على غير مثال سابق
(Perkara baru tanpa didasari contoh sebelumnya).
Syaikh Muhammad bin Ya’qub Al-Fairus Al-Abadi mengungkapkan bahwa bid’ah adalah :
الامرالذى يكون اولا
(Suatu urusan yang pertama adanya).
Syaikh Muhammad bin Abubakar Ar-Razi mendefinisikan abda’a (bid’ah) sebagai berikut :
اخترعه لا على مثال
(Mengadakan sesuatu tanpa contoh).
Kalau kita menela’ah rataan makna bid’ah dalam kamus-kamus Bahasa ‘Arab, kita dapati bahwa kebanyakan para ahli lughah mendefinisikan bid’ah sebagai suatu perkara baru yang diciptakan tanpa didasari contoh terlebih dahulu. Sedangkan pencipta hal baru tersebut dinamai dengan mubdi’ ataupun mubtadi’.
PENGERTIAN BID’AH SECARA ETIMOLOGI (ISTHILAH)
Sedangkan secara terminologi Syari’at, dalam kalangan ‘Ulama Ahlus sunnah Wal Jama’ah ada dua cara pandang yang sedikit berbeda, namun kesimpulannya tetap sama.
Pertama para ulama yang menafsirkan makna bid’ah dengan definisi :
ما أحدث مما لا أصل له في الشريعة يدل عليه وأما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعا وإن كان بدعة لغة
“bid’ah adalah suatu pembaruan yang tidak mempunyai dalil sama sekali dalam Syari’at yang membenarkannya. Sedangkan pembaruan yang mempunyai dalil Syari’at yang membenarkannya maka bukan termasuk bid’ah menurut Syara’ walaupun dapat disebut bid’ah secara bahasa”.
Pengertian tersebut diutarakan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab Al-Hanbali rahimahullah.
Berdasarkan defenisi ini maka semua bid’ah syar`i adalah sesat, karena maksud dengan bid’ah adalah semua yang tidak memiliki landasannya dalam agama. Maka bid’ah syar`i tidak di bagi lagi tetapi di hukumkan semua bid’ah adalah sesat karena bid’ah adalah lawan dari sunnah.
Adapun kalam para ulama yang jelas-jelas membagi bid’ah maka di maksudkan kepada bid’ah lughawi bukan bid’ah syar`i. Amalam-amalan yang di katakan oleh para ulama sebagai amalan bid’ah hasanah seperti perayaan maulid Nabi sebenarnya bukanlah bid’ah secara istilah syara` karena amalan tersebut memiliki landasannya dalam agama, tetapi ia hanya di katakan sebagai bid’ah pada lughah. Diantara para ulama yang dengan tegas menyatakan demikian antara lain al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani dan Imam Ibnu Hajar al-Haitami.
Maka berdasarkan defenisi ini, hadits Nabi كل بدعة ضلالة (Setiap bid’ah adalah sesat) masih dapat di maknai secara umum, yaitu semua yang di namakan bid’ah secara istilah syara` adalah sesat.
Kedua :para ulama yang mendefeniskan bid’ah ;
فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله صلى الله عليه وسلم
“bid’ah adalah setiap perkara yang tidak dikenal pada zaman Rasululullah SAW”.
Definisi ini diungkapkan oleh Syaikh ‘Izzuddin ‘Abdul-‘Aziz bin ‘Abdus-Salamrahimahullah.
Beranjak dari sudut pandang yang kedua ini, maka lafadz “bid’ah” dalam istilah syar`i dapat dipahami sebagai hal-hal apa saja yang belum ada ataupun tidak dikenal pada masa Rasulullah saw baik hal tersebut bisa saja dikategorikan sebagai hal baik, seperti mengumpulkan seluruh Alqur-an dalam satu mushaf, membukukan Hadits-Hadits Nabi Muhammad SAW, mendirikan madrasah dan seterusnya ataupun dapat pula dikategorikan sebagai hal yang jelek, misalnya berkeyakinan sebagaimana keyakinannya sekte Al-Jabbariyah, Al-Qadariyah, Al-Murji’ah, mencampuradukkan pelajaran keagamaan dengan falsafah kafir, meninjau masuknya bulan puasa bukan dengan sistem rukyah, melaksanakan shalat Jum’at di rumah seorang diri dan lain sebagainya. Bahkan perkara baru tersebut mencakup juga urusan keduniawian, seperti mengendarai sepeda motor, mobil, menggunakan internetan dan seterusnya.
Pandangan ini dilandasi perkataan shahabat Saidina Umar yang di riwayatkan oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah :
قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Ini adalah bid’ah yang paling baik”.
Juga di landasi oleh hadits Rasulullah yang di riwayatkan oleh Imam Muslim :
من سن فى الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شىء ومن سن فى الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شىء
Artinya : Barangsiapa merintis dalam Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatan tersebut juga pahala dari orang yang melakukannya setelahnya tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka, dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah (perbuatan) yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya dan juga dosa dari perbuatan orang yang melakukannya setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka. (H. R. Imam Muslim)
Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
Barang siapa mencipatakan dalam urusan kami (agama) sesuatu yang bukan darinya maka ia tertolak (H.R. Imam Muslim)
Syeikh Abdu Rabbih al-Qalyuby mengatakan :
مفهومه من يحدث فى الدين ما هو منه فليس يردّ والمردود انما هو الذى لا أصل له فى الدين
Artinya: Mafhum hadits ini, seorang yang mengadakan sesuatu dalam agama perkara yang masih masih memiliki landasan dalam agama maka ia tidaklah tertolak, yang tertolak hanyalah perkara yang tidak ada dasarnya dalam agama.
Maka berdasarkan landasan ini, para ulama membagi bid’ah syar`i kepada dua; hasanah dan mazmumah dan berlaku baginya hukum yang lima (wajib, sunat, haram, makruh, dan mubah).
Atas dasar pemahaman ini, Imam Nawawi berkomentar terhadap hadits kullu bid’ah dhalalah:
قوله صلى الله عليه وسلم وكل بدعة ضلالة هذا عام مخصوص والمراد غالب البدع
Kata Nabi “setiap bid’ah adalah sesat” ini adalah `am makhkhsu, yang di maksudkan adalah kebanyakan bid’ah.
Bila kita sedikit menelisik redaksi matan dari “Kullu bid’ah dhalalah”, maka kita mengetahui bahwa pada riwayat tersebut terdapat lafadz yang bermakna universal, yaitu lafadz “kullu”. Namun, tidak semua lafadz “kullu” bermakna universal. Tidak sedikit pula yang bermakna “ba’dhun”(sebagian). Dengan kata lain, ada lafadz “kullu” yang bermakna jami’ dan ada juga yang bermakna majmu’. Hal ini tidak jarang dijumpai dalam lafadz-lafadz yang mengandung nilai balaghah yang tinggi baik dalam Alqur-an maupun Hadits-Hadits Nabi Muhammad SAW. Diantaranya :
1. Firman Allah SWT dalam Surat Al-Ahqaf ayat 25 :
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لَا يُرَى إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ
“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali bekas tempat tinggal mereka. Demikianlah kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa”.
Dalam ayat tersebut, lafadz yang digunakan adalah lafadz “kullu”, namun tidak bermakna universal. Akan tetapi, makna lafadz “kullu” tersebut bermakna “ba’dhun”. Artinya, tidak semuanya dihancurkan pada masa itu, namun yang dihancurkan hanyalah kaum yang tidak beriman kepada Allah SWT.
2. Firman Allah SWT dalam Surat Al-Anbiya ayat 30
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”
Dalam ayat ini, lafadz “kullu” juga tidak digunakan dalam bentuk bermakna keseluruhan karena Allah SWT juga ada menciptakan makhluk hidup dari api, yaitu bangsa jin. Allah SWT berfirman dalam Surat Ar-Rahman ayat 15 :
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
“Dan Dia menciptakan jin dari api yang menyala”.
3. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Kahfi ayat 79 :
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera”.
Dalam ayat yang mengisahkan perjalanan Nabi Musa ‘as dengan Nabi Khidir ‘as ini juga menunjuki bahwa lafadz “kullu” tersebut bermakna “ba’dhun” (sebagian). Hanya bahtera yang bagus sajalah yang dirampas oleh raja, sementara bahtera yang jelek tidak dirampas.
4. Surat Al-An`aam ayat 120:
خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ
“Dia yang menciptakan tiap-tiap sesuatu”.
Kata-kata “kullu syai-i” (tiap-tiap sesuatu) dalam ayat tersebut tidak dimaksudkan secara umum menyeluruh, karena Allah SWT tidak menciptakan dzat-Nya sendiri.
5. Surat An-Naml ayat 23 :
وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ
“Dan dia (Ratu Balqis) dianugerahi tiap-tiap sesuatu”.
“Kullu” (tiap-tiap) dalam ayat tersebut tidak bermaksud umum, karena bila dimaksudkan umum maka akan timbul pemahaman bahwa Ratu Balqis dianugerahi tiap-tiap sesuatu termasuk juga kekayaan yang ada pada tangan Nabi Sulaiman ‘as, karena bila dikatakan tiap-tiap sesuatu dengan umum akan terbenar juga kepada kekayaan yang ada pada Nabi Sulaiman ‘as.
Dari beberapa ayat Alqur-an tersebut dapat disimpulkan bahwa pemakaian kalimat “kullu” kepada “sebagian” bukanlah suatu hal yang asing. Sehingga bukanlah satuhal yang janggal ketika Imam Nawawi mengatakan bahwa maksud hadits kulla bid’ah dhalalah adalah kebanyakan bid’ah bukan semua bid’ah.
Pembagian bid’ah
Banyak kalam para ulama terkemuka yang dengan tegas membagi bid’ah kepada baik dan tercela, antara lain :
1. Imam Syafii:
Imam Syafii membagi bid’ah kepada dua, sebagaimana yang di riwakatkan oleh Imam Baihaqy:
Pertama :
ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا ، فهذه لبدعة الضلالة
“Pembaruan dari hal-hal yang bertentangan dengan Kitab, Sunnah, Atsar atau Ijma’, maka pembaruan ini adalah pembaruan yang menyesatkan”.
Kedua :
ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا ، فهذه محدثة غير مذمومة
“Pembaruan berupa kebaikan yang tidak bertentangan dengan salah satu tersebut, maka pembaruan ini adalah pembaruan yang tidak tercela”.
2. Sulthan Ulama Izzuddin bin Abdis Salam (w. 660 H):
البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله صلى الله عليه وسلم. وهي منقسمة إلى بدعة واجبة، وبدعة محرمة، وبدعة مندوبة، وبدعة مكروهة، وبدعة مباحة، والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة: فإن دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة، وإن دخلت في قواعد التحريم فهي محرمة، وإن دخلت في قواعد المندوب فهي مندوبة، وإن دخلت في قواعد المكروه فهي مكروهة، وإن دخلت في قواعد المباح فهي مباحة
bid’ah adalah perbuatan yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW. Bid`ah terbagi kepada bid`ah wajib, bid`ah haram, bid`ah sunat, bid’ah mubah. Jalan mengetahui demikian adalah dengan menimbang bid’ah tersebut dengan qaedah Syara`. Maka bila masuk dalam qaedah wajib maka ia wajib, jika masuk dalam qaedah haram maka ia haram, jika masuk dalam qaedah sunat maka ia sunat, jika masuk dalam qaedah makruh maka makruh dan jika masuk dalam qaedah mubah maka ia mubah.
3. Ibnu Atsir (w. 606 H) :
البدعة بِدْعَتَان : بدعة هُدًى وبدعة ضلال فما كان في خلاف ما أمَر اللّه به ورسوله صلى اللّه عليه وسلم فهو في حَيِّزالذّم والإنكار وماكان واقعا تحت عُموم ما نَدب اللّه إليه وحَص عليه اللّه أو رسوله فهو في حيز المدح
bid’ah ada dua; bid’ah huda dan bid’ah dhalal (sesat). Maka perkara yang menyalahi perintah Allah dan RasulNya berada pada pihak yang di cela dan di ingkari. Sedangkan perkara yang berada di bawah keumuman yang di sunatkan oleh Allah dan di khususkan oleh Allah dan RasulNya maka ia masuk dalam pihak yang terpuji.
4. Imam Nawawi (w. 676 H)
Imam Nawawi, ulama besar dalam Mazhab Syafii yang mencapai derajat mujtahidtarjih, dalam kitab Tahzib al-Asma` wa al-Lughah :
البِدعة بكسر الباء في الشرع هي إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ،وهي منقسمة إلى: حسنة و قبيحة
bid’ah pada syara` adalah menciptakan sesuatu yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW. bid’ah terbagi kepada hasanah dan qabihah.
5. Ibnu Abdil Bar (w. 463 H) :
وأما قول عمر نعمت البدعة في لسان العرب اختراع ما لم يكن وابتداؤه فما كان من ذلك في الدين خلافا للسنة التي مضى عليها العمل فتلك بدعة لاخير فيها و واجب ذمها والنهي عنها والأمر باجتنابها وهجران مبتدعها إذا تبين له سوء مذهب هو ما كان من بدعة لا تخالف أصلا لشريعة والسنة فتلك نعمت البدعة
Artinya :Adapun ucapan Saidina Umar, sebaik baik bid’ah, maka bid’ah dalam bahas Arab adalah mencipatakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka apabila bid’ah tersebut menyalahi sunnah yang sudah berlaku maka ia adalah bid’ah yang tidak ada kebaikan padanya dan wajib di cela dan di larang dan di perintahkan untuk di jauhi dan meninggalkan pelakunya bila telah nyata baginya keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi dasar syariat dan sunnah maka itu adalah sebaik-baik bid’ah.
6. Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H)
Beliau berkata dalam kitab Fathul Bari :
والتحقيق أنها أن كانت مما تندرج تحت مستحسن في الشرع فهي حسنة وأن كانت مما تندرج تحت مستقبح في الشرع فهي مستقبحة وإلا فهي منقسم المباح وقد تنقسم إلى الأحكام الخمسة
Artinya :dan yang pasti bid’ah itu jika masuk di bawah yang di anggap baik dalam syara` maka ia adalah hasanah dan jika masuk di bawah yang di anggap buruk dalam syara maka ia adalah buruk dan jika tidak (tidak masuk dalam keduanya) maka ia bagian dari hal mubah dan bid’ah itu terbagi kepada hukum yang lima.
Sebagaimana telah kami terangkan sebelumnya, bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa bid’ah secara istilah syara` hanyalah perkara-perkara yang tidak memiliki landasannya dalam syara` sedangkan perkara baru yang memiliki landasan dalam syara` tidak di katakan bid’ah pada uruf syara` tetapi hanya di katakan bid’ah secara lughawi. Maka berdasarkan pemahaman ini, kata bid’ah hasanah yang dalam dalam kalam para pembesar ulama ketika membagi bid’ah pada hakikatnya adalah bukan bid’ah secara istilah syar`i.
Hal ini dapat di lihat langsung dari pendapat penjelasan beberapa ulama yang menyetujui bahwa semua bid’ah dalam istilah syara` adalah sesat antara lain:
1. Imam al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani.
والمحدثات بفتح الدال جمع محدثة والمرادبها ما أحدث وليس له أصل في الشرع ويسمى في عرف الشرع بدعة وما كان له أصل يدل عليه الشرع فليس ببدعة فالبدعة فيعرف الشرع مذمومة بخلاف اللغة فان كل شيء أحدث على غير مثال يسمى بدعة سواء كان محمودا أومذموما
dan yang di maksud dengan muhdats adalah perkara baru yang tidak ada dasarnya dalam syara` dan di namakan pada uruf syara` dengan bid’ah. sedangkan perkara yang memiliki landasan dalam syara` maka ia bukan bid’ah. maka bid’ah dalam istilah syara`adalah tercela berbeda dengan bid’ah pada lughat karena setiap perkara baru yang di lakukan tanpa contohnya di namakan bid’ah baik perkara itu terpuji atau tercela.
Dari kalam Ibnu Hajar al-Asqalani tersebut sangat jelas beliau menyatakan bahwa bid’ah dalam istilah syara` adalah sesat. Sedangkan al-Hafidh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani sendiri merupakan salah satu ulama yang dengan tegas menyatakan bahwa perayaan maulid adalah bid’ah hasanah.
2. Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H)
Dalam fatawa Haditsiyah beliau menyatakan :
وقول عمر رضي الله عنه في التراويح نعمت البدعة هي أراد البدعة اللغوية وهوما فعل على غير مثال كما قال تعالى) قل ما كنت بدعا من الرسل وليست بدعة شرعا فإن البدعة الشرعية ضلالة كما قالوا من قسمها من العلماء إلى حسن وغير حسن فإنما قسم البدعة اللغوية ومن قال كل بدعة ضلالة فمعناه البدعة الشرعية
Dan perkataan Saidina Umar tentang taraweh; sebaik-baik bid’ah adalah ini, maksudnya adalah bid’ah lughawi yaitu setiap perbuatan yang bukan atas contoh terdahulu sebagaimana dalam firman Allah: katakanlah tidak adalah aku yang pertama dari para Rasul (QS. Al-Ahqaf 9). Dan hal itu bukanlah bid’ah pada istilah syara` karena bid’ah syar`iyah adalah sesat sebagaimana kata Nabi. Para ulama yang membagi bid’ah kepada baik dantidak baik maka itu adalah pembagian bid’ah lughawiyah sedangkan para ulama yang menyatakan bahwa semua bid’ah sesat maka maksudnya adalah bid’ah syar`iyah.
Dalam kitab Fathul Mubin, Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan :
والحاصل ان البدعة الحسنة متفق على ندبها وهى ما وافق شيئا مما مر ولم يلزم من فعله محذور شرعي …
Artinya :kesimpulannya bahwa bid’ah hasanah di sepakati kesunnahannya yaitu perkara yang sesuai dengan yang telah lalu (kami sebutkan) dan mengerjakannya tidak melazimi kepada yang di larang dalam syara`.
Selanjutnya Imam Ibnu Hajar mengutip pernyataan guru Imam Nawawi, Abu Syamah tentang maulid sebagai contoh dari bid’ah hasanah.
3. Syeikh Muhammad Bakhit al-Muthi`i al-Hanafi (w. 1935 M).
Dalam kitab Ahsanul Kalam fima yata`allaqu bi sunnah wa al bid’ah min al-Ahkam beliau menyatakan :
أن البدعة شرعا هى التى حدث فعلها بعد زمنه صلى الله عليه وسلم ودخلت تحت نهي عام اقتضى التحريم او الكراهة وهى المذمومة شرعا والمحرمة هى التى تكون ضلالة ومذمومة عند الشارع وان البدعة التى قسمها العلماء إلى الأقسام المذكورة هى البدعة اللغوية وهى اعم من البدعة الشرعية لأن الشرعية قسم منها وليس كل ما لم يفعل فى زمنه صلى الله علييه وسلم بدعة مذمومة وضلالة خلافا لمن زعم ذلك
Artinya :bid’ah pada syara` adalah perkara yang di ciptakan pada masa setelah Rasulullah SAW dan masuk dalam larangan yang umum yang menghendakinya hukum haram atau makruh. bid’ah makruh tersebut tercela pada syara`. Sedangkan bid’ah yang harama adalah sesuatu yang sesat dan tercela dalam syara`. Dan bid’ah yang di bagi para ulama kepada beberapa pembagian tersbut adalah bid’ah lughawiyah, bid’ah lughawiyah lebih umum karena bid’ah syar`iyah adalah satu bagian darinya. Dan tidaklah setiap sesuatu yang tidak di kerjakan pada masa Rasulullah SAW termasuk bid’ah tercela dan sesat, sebalik dengan orang-orang yang mendakwa demikian.
Selanjutnya Syeikh Bakhit al-Muthi`i memasukkan azan pertama sebelum pelaksanaan shalat jumat kedalam bid’ah hasanah . Selain itu syeikh Muhammad Bakhit al-Muthi`i juga membolehkan perayaan maulid Nabi sebagaimana fatwa al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, dan al-Hafidh Suyuthi.
Maka dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa dari dua metode pemahaman para ulama tersebut tidaklah kontradiksi bahkan menghasilkan kesimpulan yang sama yaitu setiap perkara yang baru yang menyalahi aturan syara` merupakan perbuatan bid’ah yang sesat dan tidak semua perbuatan yang tidak ada pada zaman Rasul di hukumi bid’ah yang sesat tetapi bila perbuatan tersebut memiliki landasan dalam agama maka ia termasuk dalam bagian dari agama di mana sebagian ulama menyebutkan dengan kata bid’ah hasanah.
Beranjak dari kedua sudut pandang para ‘Ulama Ahlus sunnah dalam menyikapi dan memahami ungkapan Nabi saw “kullu bid’ah dhalalah”, maka pada haqiqatnya mereka sepakat bahwasanya bid’ah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad saw bid’ah yang tidak memiliki legalitas dalil Syar’i sekaligus diberi ganjaran dosa bagi para pelakunya. Hanya saja, yang melatarbelakangi perbedaannya adalah pendekatan pemahaman para ‘Ulama itu sendiri dalam menyimpulkan maksud dari ungkapan Nabi Muhammad saw tersebut. Sebagian menganalisanya secara global dan sebagian yang lain mengemukakannya secara terperinci.
Oleh sebab itu, setiap hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw maupun generasi Salafus-Shalih tidak bisa langsung dihukumi sebagai perkara bid’ah yang dhalalah. Akan tetapi harus dicermati terlebih dahulu apakah perkara tersebut mempunyai landasan Syari’at nya atau tidak. Bila dilandasi oleh dalil-dalil Syari’at yang membolehkannya ataupun tidak melarangnya, maka hal tersebut tidak pantas divonis bid’ah dalam Syara’ walaupun terbenar kepada bid’ah secara lughawi (bahasa). Dengan kata lain, bid’ah tersebut adakalanya dihukumi sebagai bid’ah hasanah (baik) dimana tetap akan diberi pahala bagi para pelakunya dan ada pula yang divonis sebagai bid’ah mazhmumah (tercela) yang diancam sesat dan masuk neraka bagi para pelakunya. Para pelaku bid’ah mazhmumah inilah yang disebut sebagai ahlul-bid’ah dalam Syari’at.
Semoga Allah memelihara kita dari perbuatan-perbuatan bid’ah dhalalah dan juga dari memvonis sesuatu dengan kata “BID’AH”. Amiin Ya Rabbal Alamin.
———————————————————————
Al-Majalis As-Saniyyah”, Syaikh Ahmad bin Hijazi Al-Fasyani, Bab “Al-Majlis Ats-Tsamin Wa Al-‘Isyrun Fi Al-Hadits Ats-Samin Wa Al-‘Isyrun”, Hal. 87, Cet. Toha Putra.
“Al-Muhith”, Syaikh Muhammad bin Ya’qub Al-Fairus Al-Abadi, Juz. III, Hal. 3.
“Mukhtar Ash-Shihah”, Syaikh Muhammad bin Abubakar Ar-Razi, Hal. 379.
Syeikh Ali Jum`ah, al-Bayan lima Yasyghul al-Azhan, Juz I. Hal 142
“Jaami’ Al-‘Uluum Wa Al-Hikam”, Syaikh ‘Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab Al-Hanbali, Juz. I, Hal. 226, Cet. Dar Al-Ma’rifah, 1408 H.
Fathul Bari, al-Hajar al-Asqalani, Juz XXIII, Hal. 253. Cet. Dar Ma`rifah th 1379 H
Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Fatawa Haditsiyah, Hal. 370 Cet. Dar Ihya Turast Arabi, th1998
“Qawaa’id Al-Ahkaam Fii Mashaalih Al-Anaam”, Syaikh ‘Izzuddin ‘Abdul-‘Aziz bin ‘Abdus-Salam, “Fashl Fi Al-Bid’i”, Juz. II, Hal. 133, Cet. Dar Al-Kutub, 2010 M.
“Shahih Al-Bukhari”, Imam Muhammad bin Isma’il Bin Ibrahim Bin Al-Mughirah Al-Bukhari, Bab “Man Qama Ramadhan”, Juz. III, Hal. 45, Cet. Dar Thauq An-Najah, 1422 H.
Syeikh Abd Rabbih al-Qalyubi, Faidh al-Wahhab Juz IV, Hal. 113, Dar Qayumiyah Arabiyah th 1963
Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Hal 324 th 1994 Dar Hadits
“Al-Madkhal Ilaa As-Sunan Al-Kubra”, Imam Ahmad bin Al-Husain bin ‘Ali bin Musa Al-Baihaqi, Juz. I, Hal. 191.
Qawaa’id Al-Ahkaam Fii Mashaalih Al-Anaam”, Syaikh ‘Izzuddin ‘Abdul-‘Aziz bin ‘Abdus-Salam, “Fashl Fi Al-Bid’i”, Juz. II, Hal. 133, Cet. Dar Al-Kutub, 2010 M.
Ibnu Atsir, Nihayah Fi Gharib Hadits, Juz I, Hal. 101. Beirut, Maktabah Ilmiyah th 1979
Imam Nawawi, Tahzib al-Asma` wa al-Lughah, Juz II, Hal. 276 . Dar Kutub Ilmiyah, th 2007
Ibnu Abdil Bar, al-Istidzkar, Juz II, Hal. 267, Beirut, Dar Kutub Ilmiyah th 2000
Ibnu Hajar al-Asqalabi, Fathul Bari, Juz IV. Hal 294, Kairo, Dar hadits th 2004
Fathul Bari, al-Hajar al-Asqalani, Juz XXIII, Hal. 253. Cet. Dar Ma`rifah th 1379 H
Imam As-Suyuthi, Al-Hawi Li Al-Fatawi, Bab Husn Al-Maqshud Fi ‘Amal Maulid, Hal. 229, Juz. I, Cet. Dar Al-Fikri, 2004.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Fatawa Haditsiyah, Hal. 370 Cet. Dar Ihya Turast Arabi, th1998
Ibnu Hajar al-Haitami, Fathul Mubin bi Syarh Arba`in, Hal. 263, Dar Kutub Ilmiyah th 2007
Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Fathul Mubin bi Syarh Arba`in, Hal. 263 Cet. Dar Kutub Ilmiyah th 2007
Syeikh Muhammad Bakhit al-Muthi`i, Ahsanul Kalam fima yata`alaqu bi al-sunnah wa al-bid’ah min al-Ahkam, Hal. 16, Kairo, Mathba`ah Kurdistan Ilmiyah th 1329
Ahsanul Kalam fima yata`alaqu bi al-sunnah wa al-bid’ah min al-Ahkam, Hal. 59
Ahsanul Kalam, Hal. 71
Di tulis oleh lbm MUDI mesra (Lajnah Bahtsul Masail Mahadal Ulum Diniyah Islamiah)
Pada tanggal 11.3.14 Dalam kategori Ahlus sunnah Wal Jamaah dengan judul Pengertian Bid’ah Menurut Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah


http://www.santridayah.com/2014/03/pengertian-bidah-menurut-ahlisunnah-wal-jamaah
PENGERTIAN BID’AH

Arti Bid’ah Menurut Bahasa (Etimologis)
Kata Bid’ah (Jama‘nya; Bida’) secara bahasa berarti ‘sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh terlebih dahulu’ sedangkan pelakunya disebut “mubtadi’ “ atau „mubdi’“[1]
Dalam al-Qur’an, langit dan bumi dikatakan bid’ah, karena Allah SWT menciptakannya tanpa ada contoh terlebih dahulu. Allah SAW berfirman:
بَدِيْعُ السَّموَاتِ وَالأَرْضِ
“(Allah) Pencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh)..” (QS. Al-Baqarah :117)
Arti Bid’ah Dalam Istilah Agama (Terminologis)
Adapun mengenai Bid’ah dalam istilah agama, para ulama telah menjelaskannya setelah melalui proses penelitian terhadap konteks al-Qur’an dan Hadits. Marilah kita simak pendapat-pendapat ulama berikut.
Ibnu Hajar al-Asqalani
Beliau berkata: "Yang dimaksud sabda Nabi "Setiap bid'ah itu adalah sesat" adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa ada dalil syar'i, baik dalil khusus maupun umum."[2]
Ibnu Taimiyyah
Beliau berkata: Bid’ah adalah semua perkara agama yang tidak ada sandarannya berupa dalil syar'i.[3]
Muhammad Rasyid Ridha
Beliau berkata: Bid’ah adalah segala hal yang tidak ada dasarnya dari ajaran Nabi SAW, yakni dalam hal aqidah, ibadah, halal dan haram.[4]
Penjelasan Definisi
Dari beberapa contoh definisi bid’ah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud bid’ah secara istilah adalah suatu urusan agama yang tidak memiliki landasan syar’i. Meskipun sebenarnya hampir mustahil untuk memisahkan -dengan batasan yang jelas- antara perkara agama dan perkara dunia, namun, untuk meringankan pembahasan, kita akan fokus dulu pada pembahasan mengenai definisi diatas.
Jika dikatakan bahwa Bid’ah (perkara baru) adalah sesuatu yang tidak berlandaskan syariat, maka akan timbul pertanyaan “adakah Bid’ah yang memiliki landasan syar’iat sehingga ia tidak termasuk Bid’ah yang tercela?
Jika kita menggunakan logika berfikir yang lurus, jawabannya tentu “ada”. Coba kita perhatikan baik-baik, jika kita mengakui adanya bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat, maka kita harus mengakui pula adanya Bid’ah yang sesuai syariat. Dari sini kita ketahui, bahwa definisi diatas masih belum jelas sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut, karena definisi diatas tetap akan menimbulkan dua pertanyaan berikut.
- Dinamakan apa Bid’ah yang sesuai syariat itu ?
- Jika Bid’ah yang tidak sesuai syariat jelas statusnya. Lantas bagaimana status Bid’ah yang sesuai syariat itu ?
Untuk menjawabnya, kita lanjutkan dengan pembahasan di bab berikutnya.
MACAM-MACAM BID’AH
Setelah nyata bagi kita, bahwa isyarat agama dan realitas mengharuskan kita memilah-milah bid’ah, maka sekarang kita simak perkataan Salafus-halih yang memberikan keterangan tentang hal tersebut.
Imam Syafi’i RA berkata :
اَلبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ, بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
“Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang terpuji dan yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah (syariat) adalah bid’ah yang terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah tercela.”[5]
Atau penjelasan beliau dalam riwayat yang lain, Yaitu yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَة
‘Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah Bid’ah Dhalalah (sesat). Kedua, perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.
Dari penjelasan Imam Syafi’i tersebut, kita bisa simpulkan bahwa Bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah sesat, sedangkan Bid’ah yang sesuai syariat disebut Bid’ah tidak sesat. Atau, jika Bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah tercela, maka Bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah terpuji. Atau, jika bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang buruk (sayyiah), maka bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang baik (Hasanah). Begitu seterusnya
Demikian juga, sebagaimana Bid’ah yang pertama (yang tidak sesuai dengan syariat) jelas statusnya, yaitu sesat dan haram, maka dengan analogi berfikir yang sama, Bid’ah yang kedua (yang sesuai dengan syariat) adalah halal bahkan wajib hukumnya. Jika bid’ah yang pertama tidak boleh kita kerjakan maka Bid’ah yang kedua boleh kita kerjakan. Begitu seterusnya.
Jika kita masih mau meluaskan pembahasan, mari kita simak penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-Imam an-Nawawi sebagai berikut:
“Pada dasarnya, bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Dalam istilah syari’at, Bid’ah itu dipergunakan untuk perkara yang bertentangan dengan Sunnah, maka jadilah ia tercela. Namun lebih tepatnya, apabila perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap baik menurut syari’at maka iapun menjadi baik. Sebaliknya, jika perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap buruk oleh syari’at maka iapun menjadi buruk. Jika tidak demikian maka ia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi berdasarkan hukum-hukum Islam yang lima”.[6]
Al-Imam an-Nawawi juga membagi bid’ah menjadi lima macam:
1. Wajib. Contohnya, antara lain, mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemunkaran, penyusunan al-Qur’an dalam bentuk mush-haf demi menjaga kemurniannya, menulis ayat Al-Quran dengan khat baru yang menggunakan titik dan baris agar tidak salah mengartikan Al-Quran, membukukan kitab Hadits, khutbah dengan bahasa sistematis agar dimengerti maknanya dan lain-lain.
2. Mandub (disukai). Contohnya, Shalat Tarawih sebulan penuh, pengajian rutin, membuat Al-Qur’an dalam program CD dan lain-lain.
3. Haram (sesat). Contoh, Naik haji selain ke Makkah, melakukan ritual dengan melarung sesaji di pantai selatan, turut merayakan dan memperingati Natal (untuk merayakan hari kelahiran Nabi Isa) dan lain-lain.
4. Makruh. Contoh, berwudhu’ dengan membiasakan lebih dari tiga kali basuhan.
5. Mubah. Contohnya sangat banyak, meliputi segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum agama.
Demikianlah arti pengecualian dan kekhususan dari arti yang umum, sebagaimana kata Sahabat Umar bin al-Khatthab RA mengenai jamaah tarawih (yang menjadi satu jamaah dan satu imam), “inilah sebaik-baik bid’ah”.[7]
Coba perhatikan, kedua ulama’ besar tersebut bahkan membagi bid’ah menjadi beberapa klarifikasi. Jika kita perhatikan, dalam hukum agama kita memang hanya menemukan dua hal; perintah dan larangan. Akan tetapi sebuah perintah bisa berstatus wajib atau mungkin sekedar anjuran. Demikian juga dengan larangan, bisa berupa haram atau sekedar makruh. Maka perkara yang dianggap bid’ah akan lebih bijaksana apabila dipandang dengan cara seperti ini. Semoga Allah merahmati Ibnu Hajar dan an-Nawawi.
Dengan demikian, kami rasa tidaklah berlebihan bila ada yang mengatakan bahwa orang yang menolak Bid’ah Hasanah adalah termasuk golongan ahli Bid’ah Dhalalah.
Bid’ah Dhalalah bermacam-macam, diantaranya adalah menafikan Sunnah, menolak ucapan Sahabat Nabi dan menolak pendapat Khulafa’ur-rasyidin. Rasulullah SAW telah memberitahukan bahwa akan muncul banyak perbedaan, beliaupun menyuruh kita untuk berpegangan pada Sunnah beliau dan Sunnah Khulafa’ur-rasyidin. Sunnah Rasul adalah membolehkan Bid’ah Hasanah, sedangkan Sunnah Khulafa’urrasyidin adalah melakukan Bid’ah Hasanah.
Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah Hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan mush-haf Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam, karena tidak ada perintah Rasulullah SAW untuk membukukan keduanya. Pembukuan itu hanyalah merupakan ijma’ (kesepakatan pendapat) para Sahabat Nabi dan dilakukan setelah Rasulullah SAW wafat. Bahkan Rasulullah SAW justru pernah melarang menulis Hadits karena hawatir dikira al-Qur’an.
Buku Hadits, seperti Shahih al-Bukhari, shahih Muslim dan sebagainya muncul pada zaman Tabi’in. Walaupun Nabi pernah melarang penulisan Hadits, namun mereka tetap membukukannya, karena kehawatiran Nabi akan bercampurnya ayat al-Qur’an dan Hadits pada akhirnya mudah dihindari dengan hadirnya peralatan tulis yang semakin canggih. Sedangkan pembukuan itu dianggap penting untuk menjaga rawiyat Hadits Nabi.
Demikian pula Ilmu Musthalahul-hadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain. Semua iai adalah Bid’ah yang tidak diperintahkan atau dicontohkan oleh Nabi. Namun ini termasuk Bid’ah Hasanah, karena ilmu-ilmu itu disusun untuk kepentingan menjaga dan memahami al-Qur’an dan Hadits.
Demikian pula Taraddhi (ucapan Radhiyallahu’anhu yang artinya ‘semoga Allah meridhainya’) untuk sahabat Nabi, hal itu tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, tidak pula oleh Sahabat. Walaupun Al-Quran menyebutkan bahwa para sahabat Nabi diridhai oleh Allah, namun al-Qur’an dan Hadits tidak memerintahkan Taraddhi untuk sahabat Nabi. Taraddhi adalah Bid’ah Hasanah yang dibuat oleh Tabi’in karena kecintaan mereka pada para Sahabat Nabi.
Demikian pula dengan Al-Quran yang kini telah dikasetkan, di CD-kan dan diprogram pada hand phone. Al-Quran juga diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ini semua adalah Bid’ah, namun Bid’ah yang Hasanah, Bid’ah yang baik dan bermanfaat untuk kaum muslimin. Tidak seorangpun memungkiri hal itu.
Coba kita tarik mundur kebelakang tentang sejarah Islam, seandainya al-Quran tidak dibukukan, apa kiranya yang terjadi pada perkembangan Islam? Jika al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat RA yang hanya sebagian dituliskan, tentu akan muncul beribu-ribu versi al-Quran, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya berdasarkan riwayatnya sendiri.
Demikian pula dengan Hadits-hadits Rasulullah SAW, seandainya ulama tidak menulis dan membukukannya karena Nabi pernah melarang, seandainya tidak disusun pula ilmu Mushthalah Hadits, niscaya kita akan sulit untuk mempercayai keshahihan sebuah Hadits, karena semua orang bisa mengaku punya riwayat Hadits Shahih.
Rasulullah SAW tahu bahwa dalam kondisi tertentu harus ada pembaharuan, makanya beliau menganjurkan Sunnah Hasanah (inisiatif baik). Beliau juga tahu bahwa hal baru terkadang juga menimbulkan fitnah agama, makanya beliau melarang Sunnah Sayyi’ah atau Bid’ah Dhalalah. Inilah hubungan antara perintah berijtihad dalam urusan agama dan masalah bid’ah.
PENJELASAN HADITS-HADITS TENTANG BID’AH
Ketika sebagian orang menolak pembagian Bid’ah pada Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah, maka itu berarti mereka menolak dan menyalahkan ulama’besar seperti al-Imam asy-Syafi’i, Al Hafid Ibnu Hajar, al-Imam a-Nawawi dan Salafus-shalih lainnya, seolah-olah Ulama besar itu hanya berpendapat berdasarkan hawa nafsu dan mengesampingkan al-Qur’an dan Hadits.
Penah terjadi dialog menarik. Berikut kami kutib dengan tanda “A” untuk wakil mereka dan “B” untuk wakil kami.
A : Kami tidak menjelaskan pendapat kami berdasarkanpikiran kami, tetapi berdasarkan ulama’ salaf juga.
B : Ulama’ salaf yang mana yang Anda maksudkan ?
A : Ulama’ semisal Ibnu Taimiyah.
B : Bukankah telah jelas dalam pembahasan yang lalu, bahwa definisi Bid’ah semisal Ibnu Taimiyah masih perlu penjelasan lebih lanjut? Dan kemudian diperjelas oleh definisi yang dikemukakan oleh As-Syafi’i.
A : Saya rasa definisi dari Ibnu Taimiyah sudah jelas, tidak perlu penjelasan tambahan.
B : Berarti Anda menafikan adanya bid’ah yang baik. Kalau demikian, apa pendapat Anda tentang hal-hal baru seperti mush-haf al-Qur’an, pembukuan Hadits, fasilitas Haji, Sekolah dan Universitas Islam, Murattal dalam kaset dan sebagainya yang tidak ada di zaman Nabi?
A : Itu bukan bid’ah
B : Lantas di sebut apa? Apakah hanya akan didiamkan setiap hal-hal baru tanpa ada status hukum dari agama (boleh tidaknya). Ini berarti Anda menganggap Islam itu jumud dan ketinggalan zaman.
A : (Diam).. Baiklah, tetapi kami memiliki ulama’ yang memiliki penjelasan tidak seperti apa yang Anda jelaskan, ulama’ kami membagi Bid’ah menjadi dua ; Bid’ah agama dan Bid’ah Dunia.
B : Nah, memang seharusnya demikian. Lantas, siapa yangmembagi bid’ah menjadi demikian?
A : Ulama’ semisal Albani dan Bin Baz. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW, “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.”
B : Hadits tersebut bukan hanya ulama Anda yang mengetahui. Ulama’ salaf telah mengetahui Hadits tersebut, namun mereka tidak menyimpulkan demikian, karena itu berarti seakan-akan Nabi ‘mempersilahkan’ manusia untuk berkreasi dalam urusan dunia sesuka hati, dan Nabi ‘mengaku’ tidak banyak tahu urusan dunia. Baiklah, tidak usah kita berbicara terlalu jauh. Ketika ternyata Anda juga berdalih dengan pendapat ulama Anda, berarti kita sama-sama bersandar pada ulama. Sebuah pertanyaan buat Anda: Apakah Anda lebih percaya pada ulama Anda daripada ulama salaf yang hidup di zaman yang lebih dekat kepada zaman Nabi SAW? Apakah Anda mengira bahwa As-Syafi’i salah mendefinisikan Bid’ah -yang merupakan pokok agama maha penting- kemudian didiamkan saja oleh ulama salaf lainnya tanpa bantahan? Apakah Anda mengira Albani lebih banyak memahami Hadits dari Ibnu Hajar dan an-Nawawi?
A : Terdiam tidak menjawab.
B : Kami rasa tidak mungkin ulama Anda, seperti Ibnu Taimiyah, Albani dan Bin Baz sampai merasa lebih benar dari asy-Syafi’i, an-Nawawi, Ibnu Hajar, Al-Baihaqi dan ulama salaf lainnya. Mungkin ulama Anda hanya sekedar memiliki pemikiran berbeda, sebagaimana lazimnya ulama berbeda pendapat tanpa menyalahkan pendapat lain. Kami rasa Anda saja yang berlebihan dan kemudian menyalahkan ulama salaf demi membela pendapat ulama Anda. Kalau benar demikian, maka berarti Anda justru telah menistakan ulama Anda sendiri.
Orang yang gemar melontarkan kata bid’ah biasanya akan berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya, tidak ada satupun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’it-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, tentu mereka akan mendahului kita.”
Mereka juga berkata: “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi, yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW, para sahabat dan ulama-ulama salaf? Melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah Bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti itulah yang sering mereka jadikan pegangan dan mereka pakai sebagai perlindungan, juga sering mereka jadikan sebagai dalil dan hujjah untuk melegitimasi tuduhan Bid’ah terhadap semua amalan baru. Mereka menganggap setiap hal baru -meskipun ada maslahatnya dalam agama- sebagai Sesat, haram, munkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok (dasar) agama.
Ucapan seperti diatas adalah ucapan yang awalnya haq namun akhirnya batil, atau awalnya shahih namun akhirnya fasid (rusak). Pernyataan bahwa Nabi SAW atau para sahabat tidak melakukan si anu adalah benar. Akan tetapi pernyataan bahwa semua yang tidak dilakukan oleh Nabi dan sahabat itu sesat adalah sebuah Istimbath (penyimpulan hukum) yang keliru.
Karena tidak-melakukan-nya Nabi SAW atau salafus shalih bukanlah dalil keharaman amalan tersebut. Untuk ‘mengecap’ sebuah amalan boleh atau tidak itu membutuhkan perangkat dalil dan sejumlah kaidah yang tidak sedikit.
Kaidah mereka yang menyatakan bahwa setiap amalan yang tidak dikerjakan Nabi dan sahabat adalah Bid’ah hanya berdalih dengan Hadits-hadits bid’ah dalam pengertian zhahir, tanpa merujuk pada penjelasan yang mendalam dari ulama salaf.
Al-Imam Ibnu Hajar berkata: “Hadits-hadits shahih mengenai suatu persoalan harus dihubungkan antara satu dengan yang lain, untuk dapat diketahui dengan jelas tentang pengertiannya yang mutlak (lepas) dan yang muqayyad (terikat). Dengan demikian maka semua yang diisyaratkan oleh Hadits-hadits itu dapat dilaksanakan (dengan benar).”
Ketika kita mengemukakan pendapat ulama, sebagian orang membantah dengan penyataan bahwa Hadits lebih utama untuk diikuti dari pendapat siapapun. Itu berarti ia mengira bahwa pendapat ulama itu tidak berdasarkan al-Qur’an atau Hadits, melainkan berdasarkan akal atau hawa nafsu. Maka takutlah kepada Allah dan janganlah bersu’uzhon pada ulama shaleh.
Baiklah, mari kita telaah Hadits-hadits terkait dengan pembahasan ini, kita lihat saja apakah mereka berpendapat berdasarkan Hadits sedangkan ulama shaleh itu hanya berpendapat dengan akal atau hawa nafsu.
HADITS PERTAMA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Al-Imam An-Nawawi, didalam Syarah Sahih Muslim, mengomentari Hadits ini dan berkata: “Ini adalah sebuah kaidah umum yang membawa maksud khusus (‘Ammun makhsus). Apa yang dimaksudkan dengan ‘perkara yang baru’ adalah yang bertentangan dengan Syari‘at. Itu dan itu saja yang dimaksudkan dengan Bid‘ah”.[8]
Demikian juga ayat Allah juga menjelaskan, ada bid’ah yang terpuji, sebagaimana firman-Nya :
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاء رِضْوَانِ اللهِ
“Dan kami jadikan di hati mereka (Hawariyyun pengikut Isa) rasa kasih dan sayang serta Rahbaniyah yang mereka buat, Kami tidak mewajibkan rahbaniyah itu, (mereka tidak melakukan itu) kecuali untuk mencari keridhaan Allah”. (QS. Al-Hadid : 27)
Berkatalah KH. Ali Badri Azmatkhan:
Dalam ayat itu Allah menjelaskan bahwa Ia telah mengkaruniai Hawariyyun dengan tiga perkata. Pertama, rasa kasih, yakni berhati lembut sehingga tidak mudah emosi. Kedua, rasa sayang, yakni mudah tergerak untuk membantu orang lain. Ketiga, Rahbaniyah, yakni bersungguh-sungguh didalam mengharap ridha Allah, mereka berupaya dengan banyak cara untuk menyenangkan Allah, walaupun cara itu tidak diwajibkan oleh Allah.
Allah SWT memang menyebut Rahbaniyah itu sebagai Bid’ah yang dibuat oleh Hawariyun, itu bisa dipahami dari kalimat ibtada’uuhaa (mereka mengada-adakannya). Namun Bid’ah yang dimaksud adalah Bid’ah Hasanah. Hal ini ditunjang dengan dua alasan:
Pertama, Rahbaniyah disebut dalam rentetan amal baik menyusul dua amal baik sebelumnya, yaitu ra’fatan (rasa kasih) dan rahmatan (rasa sayang). Kalau memang Allah mau bercerita tentang keburukan mereka akibat membuat Rahbaniyah, tentu susunan kalimatnya akan memisahkan antara kasih sayang dan Rahbaniyah. Sedangkan kalimat dalam ayat itu justru menggabungkan Rahbaniyah dengan kasih sayang sebagai karunia yang Allah berikan pada Hawariyun.
Kedua, Allah SWT berkata “Rahbaniyah itu tidak Kami wajibkan”. Tidak diwajibkan bukan berarti dilarang, melainkan bisa jadi hanya dianjurkan atau dinilai baik. Ini mengisyaratkan bahwa Rahbaniyah itu adalah cara atau bentuk amalan yang tidak diperintah atau dicontohkan oleh Nabi Isa, akan tetapi memiliki nilai baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Isa. Bukti bahwa Allah SWT membenarkan Bid’ah mereka berupa Rahbaniyah adalah Allah SWT mencela mereka karena mereka kemudian meninggalkan Rahbaniyah itu. Ketika membuat Rahbaniyah menunjukkan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah, maka meninggalkan Rahbaniyah menunjukkan kemerosotan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah.[9]
Sebagian orang berkata: Ketika Nabi SAW berkata ‘semua bid’ah adalah sesat’, bagaimana mungkin ada orang yang berkata ‘tidak, tidak semua bid’ah sesat, tetapi ada yang baik’. Apakah ia merasa lebih tahu dari Rasulullah? Apakah ia tidak membaca ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَرْفَعُوْا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi..” (Al-Hujarat : 2)
Mereka menyalahkan orang yang bersandar pada pendapat ulama salaf dan menganggap orang itu lebih mengutamakan ulama daripada Nabi. Hal ini merupakan pemikiran yang sempit dan termasuk penistaan terhadap kaum muslimin. Ada berapa juta muslimin shaleh yang meyakini keilmuan dan ketaqwaan al-Imam asy-Syafi’i sang penolong Sunnah (Nashirus-sunnah), Ibnu Hajar sang pakar yang hafal puluhan ribu Hadits beserta sanadnya, an-Nawawi sang penghasil puluhan ribu lembar tulisan ilmiah dan sebagainya? Sejarah bahkan mencatat bahwa islamisasi di belahan dunia dilakukan oleh ulama yang sependapat dengan mereka, termasuk Walisongo yang menyebarkan Islam di Nusantara. Tiba-tiba mereka dihujat oleh orang yang belajar dan pengabdiannya bahkan tidak melebihi seperempat yang dimiliki ulama salaf itu. Sungguh mereka tidak memiliki rasa hormat pada para pejuang Islam. Seandainya mereka tahu seberapa besar peranan para pejuang itu dalam perkembangan dunia Islam, jangankan para pejuang itu hanya berbeda pendapat, seandainya jelas salah pun mereka tidak pantas dihujat, karena kita yakin mereka tidak sengaja bersalah. Apalagi pendapat mereka bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kalimat “Kullu” Tidak Berarti Semua Tanpa Kecuali
Dalam bahasa Arab, Kulluh berarti semua. Namun dalam penggunaan, tidak semua kullu berarti semua tanpa kecuali. Ada banyak ayat al-Qur’an yang menggunakan kalimat “kullu” akan tetapi tidak bermaksud semua tanpa kecuali. Diantaranya:
1. Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُوْنَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan pintu-pintu dari segala sesuatu untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. al-An’am : 44)
Meskipun Allah SWT menyatakan abwaba kulli syai’ (pintu-pintu segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu pintu rahmat, hidayah dan ketenangan jiwa yang tidak pernah dibukakan untuk orang-orang kafir itu. Kalimat “kulli syai” (segala sesuatu) adalah umum, tetapi kalimat itu bermakna khusus.
2. Allah SWT berfirman:
أَمَّا السَّفِيْنَةُ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُدُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْباً
“Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, aku bermaksud merusak perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang Raja yang mengambil semua perahu dengan paksa.” (QS. al-Kahfi : 79)
Meskipun Allah SWT mengunakan kalimat kulla ssafinatin (semua perahu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu perahu yang bocor, karena Raja yang diceritakan dalam ayat itu tidak merampas kapal yang bocor, bahkan Nabi Khidhir sengaja membocorkan perahu itu agar tidak dirampas oleh Raja.
3. Allah berfirman :
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوْا لاَ يُرَى إِلاَّ مَسَاكِنُهُمْ كَذلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِيْنَ
“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa.” (ََQS. Al-Ahqaf : 25)
Meskipun Allah SWT menyatakan kulla syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu gunung-gunung, langit dan bumi yang tidak ikut hancur.
Allah berfirman :
إِنِّيْ وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.” (QS. An-Naml:23)
Meskipun Allah SWT menyatakan kulli syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, karena Ratu Balqis tidak diberi segala sesuatu tak terkecuali, sebanyak apapun kekayaan Balqis tetap saja terbatas.
Ayat-ayat diatas membuktikan bahwa, dalam konteks al-Qur’an, kalimat “kullu” juga bisa berarti “semua dengan pengecualian”, sebagaimana lazimnya dalam penggunaan bahasa Arab dan bahasa lainnya. Masihkah Ada yang menyalahkan ulama salaf semisal asy-Syafi’i karena menafsirkan kalimat “kullu” dalam Hadits “Kullu bid’atin” dengan metode berfikir yang jernih dan ditunjang dengan perangkat pendukung dan dalil-dalil yang jelas.
Selain itu, banyak pula ungkapan dalam al-Qur’an atau Hadits yang sepintas nampak bermakna umum namun sebenarnya bermakna khusus. Perlu dipahami bahwa hal ini adalah bisa dalam penggunaan bahasa pada umumnya, sehingga kita tidak boleh kaku karena terpaku dengan sebuah kalimat tanpa memperhatikan istilah dan susunan bahasa. Bahkan kita harus memperhatikan ayat dan Hadits lain barang kali ada maksud tkhshish (membatasi) dalam kalimat umum atau sebaliknya.
Mari kita simak contoh-contoh berikut ini.
1. Allah berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعِزَّةَ فَلِلّهِ الْعِزَّةُ جَمِيْعاً
“Barang siapa yang menginginkan kekuatan maka hanya milik Allah-lah kekuatan itu semuanya.” (QS. Fathir: 10)
Dari pernyataan ayat diatas, sepintas kita memahami bahwa kita tidak boleh mengatakan bahwa kekuatan itu milik Allah dan Rasul-Nya, karena dalam ayat itu disebutkan bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah, semuanya dan berarti tidak ada sedikitpun kekuatan yang boleh dikatakan milik selain Allah. Namun coba perhatikan ayat berikut ini:
وَللهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلكِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ
“.. padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. al-Munafiqun : 8)
Ternyata ayat ini menyatakan bahwa kekuatan adalah milik Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin. Memang, izzah (kekuatan) Allah dan izzah Rasul adalah dua hal berbeda. Namun yang kita maksud di sini adalah penggunaan kalimat izzah untuk disebut milik Allah dan selain Allah. Kalau membaca ayat yang pertama, nampaknya kita tidak boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul”, akan tetapi kalau membaca ayat yang kedua maka kita bahkan boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul serta orang-orang mukmin”, karena Allah sendiri yang mengatakan demikian.
2. Allah SWT berfirman:
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُوْن
“Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah umpan (bahan bakar) neraka jahannam, kalian pasti masuk kedalamnya.” (QS. al-Anbiya : 98)
Ayat ini menyatakan bahwa orang yang menyembah selain Allah akan masuk neraka bersama sesembahannya. Kalau ayat itu dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat yang lain, maka akan dipahami bahwa Nabi Isa dan bundanya juga akan masuk neraka, karena mereka disembah dan dipertuhankan oleh orang Nasrani. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum sebagian musyrikin disembah dan dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.
3. Rasulullah SAW. bersabda:
“Orang yang menunaikan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. (HR. Muslim)
Hadits ini menyatakan bahwa orang yang shalat shubur dan ashar akan selamat dari neraka. Kalau Hadits ini dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat dan Hadits yang lain, maka akan dipahami bahwa kita akan selamat dari neraka walaupun tidak shalat zhuhur, maghrib dan isya’ asalkan shalat shubuh dan ashar.
4. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya biji hitam ini (habbatus-sauda') adalah obat bagi semua penyakit, kecuali mati”[10].
Para mufassirin telah menegaskan bahawa kalimat ‘umum’ yang digunakan dalam Hadits ini merujuk kepada sesuatu yang ‘khusus’. Maksud Hadits ini sebenarnya ialah “banyak penyakit” (bukan semua penyakit) bisa disembuhkan dengan habbatus-sauda’, walaupun kalimat yang dipakai adalah kaliamat ‘umum’ (kullu yang berarti semua).
HADITS KEDUA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Mari kita telaah makna Hadits diatas, benarkah Hadits diatas bisa menjadi justifikasi membid’ahkan setiap amalan baru dalam agama?
Coba anda perhatikan pada kalimat “yang tidak bersumber darinya” pada Hadits tersebut, kira-kira apa makna dari kalimat tersebut. Agar menjadi jelas, bandingkan dua kalimat berikut ini:
1. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.”
2. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, maka ia tertolak.”
KH. Ali Badri Azmatkhan berkata:
“Apabila kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ dibuang, maka sepintas akan dipahami bahwa hal baru apapun akan disebut Bid’ah, walaupun hal baru itu masih berisikan nilai syari’at. Dan kalaupun misalnya kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ itu benar-benar tidak disebutkan dalam Hadits ini, tentu kita juga tidak bisa memfonis semuanya Bid’ah berdasarkan Hadits ini, karena, untuk memahami sebuah Hadits, kita juga harus mempertimbangkan Hadits lain, baik Hadits Qauli (perkataan Nabi) maupun Hadits Iqrari (pembenaran Nabi terhadap tindakan Sahabat).
Kemudian, ketika Nabi katakan ‘yang tidak bersumber darinya’, itu berarti ada hal baru yang bersumber dari syari’at dan ada hal baru yang tidak bersumber dari syari’at. Kalau yang dilarang adalah hal baru yang tidak bersumber dari syari’at, maka hal baru yang bersumber dari syari’at tidak dilarang.
Lantas apa yang dimaksud dengan hal baru yang bersumber dari syari’at? Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu dicontohkan dengan shalat malam, maka semua orang tahu bahwa shalat malam itu bukan hal baru. Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu diartikan ihya’ussunnah (menghidupkan Sunnah yang sudah lama ditinggalkan orang), maka secara bahasa itu juga tidak benar, karena memulai kebiasaan lama itu bukan termasuk hal baru.
Maka tidak ada lain hal baru yang dimaksud kecuali cara baru yang tidak dicontohkan Nabi, namun tidak bertentangan dengan syari’at dan bahkan memiliki nilai syari’at. Hal ini diperkuat dengan banyaknya hal baru yang dilakukan para shabat Nabi, misalnya menyusun atau menambah doa selain susunan doa yang dicontohkan Nabi, Ta’rif (memperingati hari Arafah) yang dilakukan oleh Abdullah bin Abbas dengan menggelar kemah dan dzikir bersama pada tanggal 9 Dzulhijjah (ketika tidak sedang berhaji), shalat tarawih dengan satu imam di Masjidil-haram oleh para sahabat di zaman Umar bin al-Khatthab (sedangkan pada zaman Nabi tarawihnya berkelompok-kelompok di sudut-sudut Masjidil-haram), dan banyak lagi misal yang bisa kita temui dalam kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh (kitab syarah/tafsir Hadits).
Kepada siapapun yang belum pernah membaca tuntas kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh, bila ia mau mentahqiq sebuah permasalahan, saya sarankan untuk membaca semuanya dengan tuntas, agar terbuka baginya cakrawala berfikir sebagaimana ulama salaf. Logikanya, bagaimana mungkin pemikiran seorang sarjana atau doktor yang hanya pernah membaca tuntas beberapa judul buku bisa lebih tajam dari pemikiran asy-Syafi’i, an-Nawawi, al-Ghazali, Ibnu Hajar al-Asqalani dan sebagainya. Mereka adalah ulama besar yang berhasil mengisi khazanah keilmuan Islam dengan karya-karya besar yang bukan hanya dikagumi umat Islam saja. Dan satu hal yang harus kita sadari, yaitu bahwa karya-karya itu tidak lahir dari upaya yang ringan, mereka tidak belajar hanya sepuluh tahun, mereka tidak meneliti hanya sepuluh tahun, mereka tidak hanya membaca seribu Hadits, tapi meneliti puluhan tahun dan puluhan ribu Hadits. Tidak mudah bagi mereka untuk memutuskan sebuah kesimpulan, tapi sebagian akademisi zaman sekarang begitu mudahnya menyalahkan ulama salaf, padahal target belajarnya tidak seserius ulama salaf, targetnya hanya gelar ‘Lc’, ‘MA’, ‘Doktor’ dan sebagainya”.[11]
Agar lebih jelas lagi, mari kita lihat contoh amalan yang memiliki sumber agama atau dalil baik umum maupun khusus dan amalan yang tidak memiliki sumber bahkan bertentangan dengan agama berikut ini.
Amalan Baru Yang Memiliki Sumber/dalil
AMALAN BARU (Tidak Ada Di Zaman Nabi ) SUMBERNYA *
Mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf Hadits, “Barangsiapa memudahkan urusan kaum muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”
Memberi titik dan harakat pada mush-haf Al-Qur’an
Ibid
Membaca doa-doa bervariasi dalam sujud dan Qunut (misalnya berdoa untuk mujahidin Palestina) Hadits “Sedekat-dekatnya makhluk dengan Tuhannya adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa.”
Menyusun Ilmu fiqih dalam sistem madzhab atau per bab agar mudah dipelajari dan khutbah dalam bahasa setempat
Hadits, “berkatalah kepada seseorang berdasarkan kemampuan akalnya.”
Mengumpulkan muslimin pada suatu momen dengan diisi tilawah Qur’an atau shalawat Nabi dsb.
Jelas banyak dalilnya.
Membuat Al-Qur’an dalam bentuk VCD Hadits, “Barang siapa yang memudahkan urusan kaum muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”
Memberi gelar pada tokoh agama dengan sebutan Syaikh, Ustadz, Kiai, Ajengan dsb. Perintah agama untuk memanggil orang dengan penghormatan dan panggilan yang disukai
*Diantaranya saja
Amalan Baru Yang Tidak Memiliki Dalil
Atau Bertentangan Dengan Syari’at
>>>Melakukan shalat karena adanya bulan purnama
Tidak ada sumbernya
>>>Adzan dan Iqamat ketika akan mandi, makan dll
Tidak ada sumbernya
>>>Shalat dengan mengangkat kaki sebelah Bertentangan dengan Hadits-Hadits shalat
>>Shalat dengan berbahasa selain bahasa arab Tidak ada sumbernya bahkan bertentangan dengan Hadits-hadits shalat
HADITS KETIGA
Rasulullah SAW bersabda:
وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِيْ اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا ...
“.. Dan barangsiapa mengadakan Bid’ah yang sesat yang tidak diridhoi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia mendapat (dosanya) dan sebanyak dosa orang lain yang ikut mengerjakannya.“ (HR. Tirmidzi)
Dalam Hadits diatas terdapat kalimat “Bid’ah yang sesat”. Dalam Hadits tersebut kata ‘Bid’ah’ dan ‘sesat’ adalah mudhaf dan mudhaf ‘ilaih (gramer Arab). Bila merujuk pada ilmu gramer bahasa Arab, bab “Mudhaf” dan “Na’at-man’ut”, susunan kalimat itu memberi arti adanya Bid’ah yang tidak sesat. Bahkan dalam bahasa Indonesiapun demikian. Kalau Anda berkata “Saya tidak suka tali yang panjang”, itu berarti menurut Anda ada tali yang pendek.
Sebagai penutup bab ini, mari kita renungkan firman Allah SWT berikut ini :
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َ فَانْتَهُوا ۚ
‘Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7)
Coba perhatikan, ayat diatas dengan jelas menyebutkan bahwa perintah agama adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dinamakan larangan agama adalah apa yang memang dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan:
وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
“Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah (mengerjakannya).”
Juga dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari:
اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَاجْتَنِبُوْهُ
“Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu maka lakukanlah semampumu, dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah ia.”
Perhatikan, dalam Hadits ini Rasulullah SAW tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
“Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan maka jauhilah ia!’
Jadi, pemahaman melarang semua hal baru (Bid’ah) dengan dalil Hadits “Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah Bid’ah” dan Hadits “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ..“ adalah pemahaman yang tidak benar, karena banyak pernyataan atau ikrar dari Rasulullah SAW dalam Hadits-hadits yang lain yang menyimpulkan adanya restu beliau terhadap banyak hal baru atas inisiatif para sahabat. Dari itu, para ulama menarik kesimpulan bahwa Bid’ah (prakarsa) sesat ialah yang bersifat men-syari’atkan hal baru dan menjadikannya sebagai bagian dari agama tanda seizin Allah Allah SWT (QS Asy-Syura : 21), serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam, misalnya sengaja shalat tidak menghadap kearah kiblat, shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir, melakukan shalat dengan satu sujud saja, melakukan shalat shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan sebagainya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna Hadits yang mengatakan “mengada-adakan sesuatu” adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Misalnya ada orang mengatakan bahwa shalat wajib itu dua kaili sehari, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Misalnya juga, orang yang sanggup -tidak berhalangan- berpuasa wajib pada bulan Ramadhan boleh tidak perlu puasa pada bulan tersebut, tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apa saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama, bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
SUMBER
_______________________________________
[1] “Al-Munjid fil Lughah wal-A’lam“, alpabet ب
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XIII : 253.
[3] Iqthidho Shirath al-Mustaqim hal. 272
[4] Tafsir al-Manar, IX: 60.
[5] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XV : 179, Dar al-Fikr, Beirut
[6] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari, IV : 318.
[7] Syarh an-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, VI : 154-155, Dar Ihya Turats al-Arab, Beirut.
[8] An-Nawawi, Syarah Sahih Muslim, VI : 154.
[9] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah.
[10] Diriwayatkan dari 'Aiysah dan Abu Hurairah oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad melalui sembilan belas periwayatan.
[11] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah