Monday, March 7, 2016

kontroversi jenggot mbah hasyim



Berikut ini penjelasan dari pengarang buku "Hasyim Asyari Guru Sejati" yakni Saudara Mas Syamsul Huda berkaitan bagaimana wajah atau rupa asli alias yang sebenarnya (minimal mendekati kebenaran) dari Hadrotussyaiky K.H Hasyim Asy'ari? Inilah penuturan Beliau yang kami diambil dari laman facebook pribadinya: 
Ini yang kedua kalinya saya harus menjawab keraguan Mas Ipang, soal jenggot Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari.

Entah apa maksud Mas Ipang membawa-bawa Kakek Buyutnya untuk memancing orang berdebat dan saling mencaci maki???. 
Lukisan yang siang tadi dipajang sebagai backdrop di Tugu Proklamasi dalam rangka pencanangan Hari Santri.

Lukisan yang karya Toto. MS tersebut diambil dari cover buku Guru Sejati yang saya tulis. Buku yang menerangkan tentang sejarah asal usul berdirinya Pondok Pesantren Tebu Ireng. Gambar cover ini yang asal usulnya adalah karya pelukis Badri(Pasuruan), lukisan tersebut dipesan khusus oleh Gus Riza Yusuf Hasyim untuk memvisualkan perjuangan Mbah Hasyim ketika menghadapi kekejaman Tentara Nippon.

Ketika lukisan ini sudah selesai, kami bertiga ( Gus Riza, Mas Badri dan saya) menghadap almarhum KH. Hamid Baidlowi, kemudian kepada Pak Bulkin (adik KH Solihin - khadam/pembantu Mbah Hasyim yang ikut ditangkap Tentara Jepang). 

Pendapat kedua Beliau; lukisan yang sudah jadi tersebut dikoreksi, bahwa Mbah Hasyim raut wajahnya klimis tidak berjenggot.

Untuk meyakinkan pendapat dua orang yang sempat bertemu Beliau, lukisan tersebut dibawa kerumah saya untuk ditashihkan kembali kepada Bapak saya, H. Ahmad Riyadi. Beliau asli Tebu Ireng, cucu salah satu khadamnya (pembantu) Mbah Hasyim. Bapak meyakinkan memang benar, bahwa Mbah Hasyim itu selalu klimis, wangi, selalu rapi dengan jas krah shanghai warna dawuk (abu-abu pekat).

Ketika lukisan ini saya ambil lagi sebagai cover. Sekali lagi saya bertanya kepada Bapak, dan beliau menjawab, "ya memang seperti ini wajah Mbah Hasyim".

Sebagai catatan; ketika launching buku Guru Sejati, dua kali buku ini dibedah di Pondok Pesantren Tebu Ireng. 

Yang pertama, bedah buku digelar di Masjid Ulul Albab Tebu Ireng bersama Gus Fahmi. Yang kedua, di Aula KH. Yusuf Hasyim. Semula dijadwalkan Gus Solah akan menjadi pembicara, namun karena ada tamu penting dari Malaysia, maka diwakilkan kepada salah satu guru Tebu Ireng.
Dua kali dibedah di Tebu Ireng, tidak ada satupun keberatan soal isi, terlebih cover Guru Sejati. Bahkan Gus Fahmi mengapresiasi positif terhadap buku ini.
Namun mengapa sekarang Mas Ipang ribut di Facebook?. Kenapa tidak mencari sumber lukisan tersebut?. 
Mengapa koq senengnya ngajak ribut orang, sangat jauh dari sifat Buyut-nya yang selalu santun dan murah senyum. 

Sekali lagi, saya hanya ingin menyampaikan fakta yang sebenarnya. Jangan mengotori akhlak beliau yang begitu luhur, apalagi mengundang orang untuk saling mencaci maki di facebook. Tolong diurut lagi, apa KH. Wahid Hasyim, KH. Kholik, KH. Karim, KH. Yusuf Hasyim (merupakan putra-putra Mbah Hasyim) memiliki jenggot?
 
Sumber: Status Facebook Masyamsul Huda


Selengkapnya : http://www.muslimoderat.com/2015/10/kh-hamid-baidlowi-mbah-hasyim-itu.html#ixzz42Bvt0O4A

Riwayat Hidup Syeikh Nawawi



Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd Al-Mu'ti Muhammad Nawawi Ibn Umar Al-Tanara Al-Jawi Al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten, pada tahun 1815M/1230H. Pada tanggal 25 Syawal 1314H/1897M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma'la dekat makam Siti Khodijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, umat Islam Di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum'at terakhir bulan Syawal selalu diadakan acara khoul untuk memperingati jejak peninggalan Syeikh Nawawi Banten.
Ayahnya bernama Syeikh Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon) yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyararas (Tajul 'Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad SAW melalui Imam Ja'far As-Shodiq, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah Az Zahra.

Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Disana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadits, tafsir, dan terutama ilmu fiqih. Setelah 3 tahun belajar di Mekkah ia kembali kedaerahnya pada tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri.

Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat. Kedatangannya  membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap disana.

Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Ahmad Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syeikh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim disana. Setelah itu belajar pada Sayyid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib Al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pernah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Salah satu guru utamanya pun berasal dari Mesir seperti Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syeikh Ahmad Nahrawi.

Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid Al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan pengalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai ulama disana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab.

Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali didaerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami.

Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah difahami dan padat isinya ini, nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14H/19M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A 'yan 'Ulama' Al-Qarn Al-Ra M' 'Asyar Li Al-Hijrah, Al-Imam Al-Muliaqqiq, dan Sayyid 'Ulama Al-Hijaz.

Karya-karyanya di bidang tasawuf cukup mempunyai kontribusi dalam melerai 2 arus tasawuf dan fiqih tersebut. Dalam hal ini, Nawawi ibarat Al-Ghazali telah mendamaikan 2 kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan  fiqih yang cenderung rasionalistik di sisi lain.