Saturday, March 5, 2016

Jenggot KH Hasyim Asy'ari 



Menurut para saksi memang KH Hasyim asy'ari selalu klimis dan tak punya jenggot ( Baca: KH Hamid Baidlowi: Mbah Hasyim itu Wajahnya Klimis Tidak Berjenggot)
Namun jika kita search di internet ternyata sebagian foto ada jenggotnya dan sebagian lagi tidak berjenggot.

Jadi mana yang benar? Wallahu a'lam
Menurut kami tidak penting mana yang benar, yang terpenting bagaimana kita bisa meneruskan perjuangan beliau dan mewujudkan cita-cita beliau slaha satunya menghidupkan Hari Santri ini dengan tekun belajar.

Berikut Foto dan Lukisan KH Hasyim Asyari


Jenggot KH Hasyim Asy'ari


Jenggot KH Hasyim Asy'ari


Jenggot KH Hasyim Asy'ari


Jenggot KH Hasyim Asy'ari


Jenggot KH Hasyim Asy'ari


Jenggot KH Hasyim Asy'ari
 


Ustadz Idrus Ramli: Memelihara Jenggot Adalah Adat, Bukan Murni Urusan Agama



Dalam Blog Ustadz Idrus Ramli yang beralamatkan pada www.idrusramli.com, beliau berpendapat secara ilmiyah tentang jenggot sebagai berikut: 


Nabi Muhammad SAW bersabda:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَه صحيح البخاري، 5442)
Dari Ibn Umar dari Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tampillah kalian berbeda dengan orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis”. Dan ketika Ibn Umar melaksanakan haji atau umrah, beliau memegang jenggotnya, dan ia pun memotong bagian yang melebihi genggamannya” (Shahih al-Bukhari, 5442)
Walaupun hadits ini menggunakan kata perintah, namun tidak serta merta, kata tersebut menunjukkan kewajiban memanjangkan jenggot serta kewajiban mencukur kumis. Kalangan Syafi’iyyah mengatakan bahwa perintah itu menunjukkan sunnah. Perintah itu tidak menunjukkan sesuatu yang pasti atau tegas (dengan bukti Ibnu Umar sebagai sahabat yang mendengar langsung sabda Nabi Muhammad Saw tersebut masih memotong jenggot yang melebihi genggamannya). Sementara perintah yang wajib itu hanya berlaku manakala perintahnya tegas.
Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari menyatakan mencukur jenggot adalah makruh khususnya jenggot yang tumbuh pertama kali. Karena jenggot itu dapat menambah ketampanan dan membuat wajah menjadi rupawan. (Asnal Mathalib, juz I hal 551)
Dari alasan ini sangat jelas bahwa alasan dari perintah Nabi Muhammad SAW itu tidak murni urusan agama, tetapi juga terkait dengan kebiasaan atau adat istiadat. Dan semua tahu bahwa jika suatu perintah memiliki keterkaitan dengan adat, maka itu tidak bisa diartikan dengan wajib. Hukum yang muncul dari perintah itu adalah sunnah atau bahkan mubah.
Jika dibaca secara utuh, terlihat jelas bahwa hadits tersebut berbicara dalam konteks perintah untuk tampil berbeda dengan orang-orang musyrik. Imam al-Ramli menyatakan, “Perintah itu bukan karena jenggotnya. Guru kami mengatakan bahwa mencukur jenggot itu menyerupai orang kafir dan Rasululullah SAW sangat mencela hal itu, bahkan Rasul SAW mencelanya sama seperti mencela orang kafir” (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz IV hal 162)
Atas dasar pertimbangan ini, maka ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa memelihara jenggot dan mencukur kumis adalah sunnah, tidak wajib. Oleh karena itu tidak ada dosa bagi orang yang mencukur jenggotnya. Apalagi bagi seorang yang malah hilang ketampanan dan kebersihan serta kewibawaannya ketika ada jenggot di wajahnya. Misalnya apabila seseorang memiliki bentuk wajah yang tidak sesuai jika ditumbuhi jenggot, atau jenggot yang tumbuh hanya sedikit.
Adapun pendapat yang mengarahkan perintah itu pada suatu kewajiban adalah tidak memiliki dasar yang kuat. Al-Halimi dalam kitab Manahij menyatakan bahwa pendapat yang mewajibkan memanjangkan jenggot dan haram mencukurnya adalah pendapat yang lemah. (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz V hal 551). Imam Ibn Qasim al-abbadi menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan keharaman mencukur jenggot menyalahi pendapat yang dipegangi (mu’tamad). 
(Hasyiah Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz IX hal 375-376)

Alasan NU Mempertahankan NKRI dan Tidak mendirikan Negara islam






Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf mengingatkan tetang pentingnya Nahdliyin mengetahui tujuan didirikannya Nahdlatul Ulama. Menurutnya, NU didirikan para ulama lebih dari semata untuk tujuan dakwah dan tarbiyah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja).

“Tapi NU juga beridiri untuk listishlâhi (membangun dan memperbaiki) Indonesia,” ujarnya di hadapan peserta Pelatihan dan Konsolidasi Media Online di Lingkungan PBNU yang digelar Lembaga Ta’lif wan Nasyr NU (LTNNU) di Jakarta, Sabtu (24/10).

Pria yang akrab disapa Gus Yahya ini lalu menceritakan tentang keluarnya NU dari partai Masyumi menjelang Pemilu 1955. Baginya, sikap NU untuk keluar dari partai afiliasi kelompok-kelompok Islam tersebut merupakan keputusan cerdas yang melampaui urusan NU sebagai golongan.

Sebab, katanya, bila NU tetap bergabung di Masyumi kemungkinan besar partai ini memperoleh suara separuh lebih warga Indonesia dan mendominasi keputusan sidang konstituante. Hal ini tidak positif untuk perkembangan Indonesia, karena Masyumi yang didominasi kalangan muslim modernis kala itu mengusung gagasan sektarian berdirinya negara Islam.

“Jika negara Islam berdiri, maka NKRI pasti bubar. Apalagi saat itu Papua belum berhasil direbut,” ujarnya. Menurut Gus Yahya, kiai-kiai NU mengambil keputusan visioner itu dengan logika syariat dan fiqih yang sangat kompleks dan kerap berusaha dipatahkan kelompok lain hanya dengan jargon sederhana “kembali ke al-Qur’an dan Hadits”.

Dengan demikian, lanjutnya, NU terdiri dari dua gagasan yang tak bisa saling dilepaskan, yakni  keaswajaan dan keindonesiaan. Hanya saja, untuk menyiarkan kedua hal tersebut NU butuh kendaraan konkret, seperti media dan lain-lain.

Ia mendorong para peserta pelatihan tersebut aktif dalam menyebarkan nilai-nilai Aswaja dan keindonesiaan untuk membangun bangsa Indonesia yang lebih beradab. Hadir dalam kesempatan itu ketua Pengurus Pusat LTNNU Juri Ardiantoro, serta para utusan dari lembaga dan badan otonom NU. (Mahbib/NU Online)



Bekas Sujud ialah Kekhusyu'an, Jidat Hitam Adalah Tanda Riya'



Perbanyaklah sujud (dg sholat) namun jagalah wajahmu supaya tetap tampak TAMPAN....

Abdullah bin Umar bin Khattab RA. salah seorang shahabat terkemuka membenci adanya bekas hitam di dahi seorang muslim.


عَنْ سَالِمٍ أَبِى النَّضْرِ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ قَالَ : مَنْ أَنْتَ؟ قَالَ : أَنَا حَاضِنُكَ فُلاَنٌ. وَرَأَى بَيْنَ عَيْنَيْهِ سَجْدَةً سَوْدَاءَ فَقَالَ : مَا هَذَا الأَثَرُ بَيْنَ عَيْنَيْكَ؟ فَقَدْ صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَهَلْ تَرَى هَا هُنَا مِنْ شَىْءٍ؟

Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut. Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّهُ رَأَى أَثَرًا فَقَالَ : يَا عَبْدَ اللَّهِ إِنَّ صُورَةَ الرَّجُلِ وَجْهُهُ ، فَلاَ تَشِنْ صُورَتَكَ.

Dari Ibnu Umar, beliau melihat ada seorang yang pada dahinya terdapat bekas sujud. Ibnu Umar berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada wajahnya. Janganlah kau jelekkan penampilanmu!” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3699).


عَنْ أَبِى عَوْنٍ قَالَ : رَأَى أَبُو الدَّرْدَاءِ امْرَأَةً بِوَجْهِهَا أَثَرٌ مِثْلُ ثَفِنَةِ الْعَنْزِ ، فَقَالَ : لَوْ لَمْ يَكُنْ هَذَا بِوَجْهِكِ كَانَ خَيْرًا لَكِ.

Dari Abi Aun, Abu Darda’ melihat seorang perempuan yang pada wajahnya terdapat ‘kapal’ semisal ‘kapal’ yang ada pada seekor kambing. Beliau lantas berkata, ‘Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik” (Riwayat Bahaqi dalam Sunan Kubro no 3700).


عَنْ حُمَيْدٍ هُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ إِذْ جَاءَهُ الزُّبَيْرُ بْنُ سُهَيْلِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَالَ : قَدْ أَفْسَدَ وَجْهَهُ ، وَاللَّهِ مَا هِىَ سِيمَاءُ ، وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ عَلَى وَجْهِى مُذْ كَذَا وَكَذَا ، مَا أَثَّرَ السُّجُودُ فِى وَجْهِى شَيْئًا.

Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701).


عَنْ مَنْصُورٍ قَالَ قُلْتُ لِمُجَاهِدٍ (سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ) أَهُوَ أَثَرُ السُّجُودِ فِى وَجْهِ الإِنْسَانِ؟ فَقَالَ : لاَ إِنَّ أَحَدَهُمْ يَكُونُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ مِثْلُ رُكْبَةِ الْعَنْزِ وَهُوَ كَمَا شَاءَ اللَّهُ يَعْنِى مِنَ الشَّرِّ وَلَكِنَّهُ الْخُشُوعُ.

Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari ATSARIS SUJUUD (bekas sujud)’ apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapalen’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapalen’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702).

Bahkan dalam kitab Hasiyah as-Showi,

وليس المراد به ما بصنعه بعض الجهلة المرائين من العلامة في الجبهة فانه من فعل الخوارج وفي الحديث اني لابغض الرجل واكرهه اذا رايت بين عينيه اثر السجود
“Bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat adalah sebagaimana perbuatan orang-orang bodoh dan TUKANG RIYA’ yaitu tanda hitam yang ada di dahi karena hal itu adalah ciri khas khawarij (baca: ahli bid’ah)” dalam sebuah hadits disebutkan sungguh saya benci seseorang yang saya lihat diantara kedua matanya terdapat bekas sujud (Hasyiah ash Shawi 4/134, Dar al Fikr).

Sumber : Ngaji.web.id


DALIL BAHAWA ALLAH WUJUD TANPA TEMPAT DARI QOUL IMAM 4 MAZHAB


***AL-IMAM ABU HANIFAH***


Al-Imam al-Mujtahid Abu Hanifah al-Nu`man Ibn Thabit radiyallahu`anhu (W. 150 H)berkata di dalam kitabnya al-Fiqh al-Absat:


"كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلا مَكَانَ قَبْلَ أَنْ يَـخْلُقَ الْـخَلْقَ وَكَانَ اللهُ تَعَالَىْ وَلَـمْ يَكُنْ أَيْنٌ وَلا خَلْقٌ وَلا شَيْءٌ وَهُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ".


Maksudnya:


"Allah ta`ala itu wujud pada azali [tidak ada permulaan bagi kewujudan-Nya dengan]tanpa bertempat sebelum Dia menciptakan makhluk. Dan Allah ta`ala itu wujud pada azali [tidak ada permulaan bagi kewujudan-Nya dengan] tanpa di mana tanpa makhluk dan tanpa sesuatupun dan Dia pencipta segala sesuatu".


*Abu Hanifah al-Nu`man Ibn Thabit, al-Fiqh al-Absat – h. 25 dan dikumpulkan juga di dalam Majmu` Rasa’il Abi Hanifah dengan tahqiq oleh al-Kawthari- , (t.p.), h. 6.


Al-Imam al-Mujtahid Abu Hanifah al-Nu`man ibn Thabit radhiyallahu`anhu (W. 150H) berkata dalam kitabnya al-Wasiyyah:


"فَلَوْ كَانَ مُـحْتَاجًا إِلَى الْـجُلُوْسِ وَالْقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ الْعَرْشِ أَيْنَ كَانَ اللهُ؟ تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوًّا كَبِيْرًا".


Maksudnya:


"Seandainya Allah berhajat kepada duduk dan bertempat, lalu di manakah Allah sebelum diciptakan `Arasy? Maha Suci Allah daripada DUDUK dan BERTEMPAT akan sebagai penyucian yang pasti."



***AL-IMAM MALIK***


Al-Imam al-Mujtahid Malik pernah ditanya tentang makna “Istawa” sepertimana yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Baihaqidi dalam kitabnya al-Asma’ Wa al--Sifat:


"يَا أَبَا عَبْد ِاللهِ: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىْ كَيْفَ اسْتِوَاؤُهُ؟ قَالَ: فَاطُرَقَ مَالِكٌ وَأَخَذَتْهُ الرَّحْضَاءَ ثُـمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىْ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ، وَلا يُقَالُ كَيْفَ وَكَيْفَ عَنْهَ مَرْفُوْعٌ وَأَنْتَ رَجُلٌ سُوْءٌ صَاحِبُ بِدْعَةٍ أَخَرَجُوْهُ. قَالَ فَأَخْرُجَ الرَّجُلَ".


Maksudnya:


"Wahai Abu Abdillah: “Ar-Rahman beristawa ke atas `Arasy”, bagaimana Dia istawa? Makaal-Imam Malik menundukkan kepalanya dan peluh membasahinya, kemudian beliau mengangkat mukanya lalu berkata: “Ar-Rahman beristawa ke atas `Arasy sepertimana Dia sifatkan diri-Nya dan tidak boleh dikatakan bagaimana (istawa-Nya) dan bagaimana istawa-Nya (kaif iaitu sifat makhluk) diangkat daripada-Nya (tiada bagi-Nya kaif iaitu tidak menyerupai sifat makhluk). Sesungguhnya engkau ahli bid`ah, usirlah dia. Maka lelaki itupun diusir pergi".


*Al-Imamal-Bayhaqi, al-Asma’ was-Sifat; Bab ma ja’ fi al-`Arsy wa al-Kursi, DarAl-Jail Beirut, hlm. 568 .


Al-Imam al-Qarafi mensyarahkan maksud perkataan al-Imam Malik yang menyebut : "al-Kaif tidak masuk akal" berkata:


"وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ" مَعْنَاهُ أَنَّ ذَاتَ اللهِ لا تُوْصَفُ بِـمَا وَضَعَتْ لَهُالْعَرَبُ لَفْظَ كَيْفَ، وَهُوَ الأَحْوَالُ الْمُتَنَقِّلَةُ وَالْـهَيْئَاتُ الْـجِسْمِيَّةُ...فَلا يُعْقَلُ ذَلِكَ فِيْ حَقِّهِ لاِسْتِحَالَتِهِ فِيْ جِهَةِ الرُّبُوْبِيَّةِ".


Maksudnya:


"Al-Kaif [sifat makhluk] tidak masuk akal" maknanya, zat Allah tidak disifati dengan apa yang diletakkan oleh kaedah bahasa Arab dengan lafaz Kaif iaitu (sifat makhluk yang terdiri daripada) suatu keadaan yang berpindah-pindah (terpisah-pisah) dan suatu keadaan (sifat) kejisiman...Maka tidak masuk akal (mustahil) ianya (Kaif iaitu sifat makhluk) dinisbahkan kepada Allah kerana ianya (kejisiman dan sifat makhluk) mustahil bagi sifat ketuhanan (Allah ta`ala)" .


*Al-Imam al-Qarafi di dalam kitabnya Az-Zakhirah,13/242.


***AL-IMAM ASY-SYAFI`E***


Al-Imam al-Mujtahid Muhammad ibn Idris al-Syafi`e radiyallhu`anhu (W. 203 H)telah berkata:


"إِنَّهُ تَعَالَى كَانَ وَلا مَكَان فَخَلَقَ الْمَكَانَ وَهُوَ عَلَى صِفَةِ الأَزَلِيَّةِ كَمَا كَانَ قَبْلَ خَلْقِهِ الْمَكَانَ لا يَـجُوْزُ عَلَيْهِ التَّغْيِيْرُ فِيْ ذَاتِهِ وَلا التَّبْدِيْلُ فِيْ صِفَاتِهِ".


Maksudnya:


"Sesungguhnya Dia ta`ala wujud pada azali [iaitu tidak ada permulaan bagi kewujudan-Nya dengan] tanpa bertempat, maka Dia mencipta tempat sedangkan Dia tetap diatas sifat keazalian-Nya sebagaimana Dia wujud pada azali sebelum Dia mencipta tempat [iaitu wujud-Nya dengan tanpa bertempat]. Perubahan tidak harus (pada akal) berlaku perubahan ke atas-Nya pada zat-Nya dan tidak juga berlaku penukaran pada sifat-Nya".


*Muhammad Murtada al-Zabidi(t.t), Ittihaf al-Sadat al-Muttaqin, Dar al-Fikr,Beirut, j. 2, h. 23.


Al-Imamal-Mujtahid Muhammad Ibn Idris al-Syafi`e radiyallhu`anhu (W. 203 H)berkata:


"مَنْ انْتَهَضَ لِمَعْرِفَةِ مُدَبِّرِهِ فَانْتَهَى إِلَى مَوْجُوْدٍ يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ فِكْرُهُ فَهُوَ مُشَبِّهٌ وَإِنِ اطْمَأَنَّ إِلَى الْعَدَمِ الصَّرْفِ فَهُوَ مُعَطِّلٌ وَإِن اطْمَأَنَّ إِلَى مَوْجُوْدٍ وَاعْتَرَفَ بِالْعَجْزِ عَنْ إِدْرَاكِهِ فَهُ وَمُوَحِّدٌ".


Maksudnya:


"Barangsiapa yang berusaha untuk mengetahui pentadbirnya (Allah) hingga menyakini bahawa yang ia bayangkan dalam benak fikirannya adalah Allah, maka dia adalah Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah kafir]. Danjika ia berhenti pada keyakinan bahawa Tuhan (yang mentadbirnya) maka diaadalah mu`aththil (orang yang meniadakan Tuhan/atheis, maka ia telah kafir). Dan jika ia berhenti pada keyakinan bahawa pasti ada pencipta yang menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahawa dia tidak akan dapat membayangkan-Nya [Allah], maka dia adalah muwahhid (orang yang mentauhidkan Allah)".


* Diriwayatkan oleh al-Imam al-Baihaqi dan lain-lain.


***AL-IMAM AHMAD BIN HANBAL***


Al-Imam al-Mujtahid al-Jalil Abu Abdullah Ahmad IbnHanbal radiyallahu`anhu (W. 231 H)berkata:


"وَأَمَّا الإِمَامُ الْـجَلِيْلُ أَبُوْ عَبْدُ اللهِ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ الشَيْبَانِيْ فَقَدْ ذَكَرَ الشَّيْخُ ابن حَجَرِ الْـهَيْثَمِيْ أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُنَزٍّ هِيْنَ اللهَ تَعَالَى عَنِ الْـجِهَةِ وَالْـجِسْمِيَّةِ، ثُـمَّ قَالَ ابْنُ حَجَرٍ مَا نَصَّهُ: وَمَا اشْتَهَرَ بَيْنَ جَهَلَةِ الْمَنْسُوْبِيْنَ إِلَى هَذَا الإِمَامِ الأَعْظَمِ مِنْ أَنَّهُ قَائِلٌ بِشَيْءٍ مِنَ الْـجِهَةِ أَوْ نَحْوِهَا فَكِذْبٌ وَبُهْتَانٌ وَافْتِرَاءٌ عَلَيْهِ".


Maksudnya:


"Dan adapun al-Imam Ahmad al-Jalil Abu `Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Syaibani,maka sungguh telah disebutkan oleh asy-Syeikh ibnu Hajar al-Haithami sesungguhnya beliau (Imam Ahmad) dalam kalangan mereka yang mensucikan Allah ta`ala daripada sebarang tempat dan jisim. Kemudian, Ibnu Hajar berkata: Adapun yang masyhur dalam kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan kepada Imam yang agung ini, bahawa beliau bercakap tentang (Allah ta`ala) bertempatdan sebagainya, maka ia merupakan sesuatu yang dusta, tipu daya dan rekaan keatas beliau".


*Syaikh al-Islam Ahmad bin Muhammad bin `Ali bin Hajar al-Haithamiy al-Makki al-Misri (t.t),al-Fatawa al-Hadithiyyah, (t.t.p): Dar Ihya’ al-Turath al-`Arabiy, h.144.


Al-Imam al-Mujtahid al-Jalil Abu Abdullah Ahmad Ibn Hanbal radiyallahu`anhu (W. 231 H)berkata:


"كَانَ يَقُوْلُ- أَيْ الإِمَامُ أَحْمَدُ- فِيْ مَعْنَى الاِسْتِوَاءِ هُوَ الْعَلُوُّ وَالاِرْتِفَاعُ وَلَـمْ يَزَلِ اللهُ عَالِيًا رَفِيْعًا قَبْلَ أَنْ يَـخْلُقَ عَرْشَهُ فَهُوَ فَوْقَ كُلِّ شَيْءٍ وَالْعَالِيْ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ...عَلا وَلا يَـجُوْزُ أَنْ يُقَالَ اسْتَوَى بِـمُمَاسَةٍ وَلا بِـمُلاقَاةٍ تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوًّا كَبِيْرًا وَاللهُ تَعَالَى لَـمْ يَلْحِقْهُ تَغْيِيْرٌ وَلا تَبْدِيْلٌ وَلا تَلْحَقُهُ الْـحُدُوْدُ قَبْلَ خَلْقِ الْعَرْشِ وَلا بَعْدَ خَلْقِ الْعَرْشِ".


Maksudnya:


"Telah berkata –iaitu al-Imam Ahmad- pada menjelaskan tentang makna istawa iaitu ketinggian darjat dan keagungan-Nya. Allah ta`ala sentiasa Maha Tinggi dan MahaTinggi (darjat-Nya) sebelum Dia menciptakan `Arasy. Dia di atas setiap sesuatu dan Maha Tinggi (kedudukan-Nya) daripada setiap sesuatu… Tidak boleh seseorang berkata bahawasanya, istawa itu zat Allah ta`ala menyentuh `Arasy atau menempatinya [Arasy]. Maha Suci Allah ta`ala daripadanya (bertempat) akan sebagai penyucian yang pasti. Dia tidak akan berubah-ubah, tidak dibatasi dengan sebarang batasan sebelum penciptaan `Arasy dan setelah kejadian (terciptanya) `Arasy tersebut".


فَقَدْ نَقَلَ أَبُو الفَضْلِ التَّمِيْمِيْ رَئِيْسُ الْـحَنَابِلَةِ

- Maka sesungguhnya Abu Fadhl al-Tamimi, penghulu ulama` Hanabilah


Berdasarkan perkataan Imam Abu al-Fadhl al-Tamimi ini, al-Imam Ahmad radiyallahu`anhu menafikan bagi Allah ta`ala sebarang makna-makna yang membawa kepada kelaziman-kelaziman jisim seperti beranggota, berukuran, mempunyai bentuk dan sebagainya.

Imam Ahmad bukan sekadar menolak fahaman Tajsim, tetapi diriwayatkan juga bahawasanya beliau mengkafirkan mereka yang berfahaman tajsim.
* abu al-Fadhl al-Tamimi(t.t), Risalah al-Tamimi, (t.tp): (t.p), j. 2, h.265/290.

 ALLAH ADA TANPA TEMPAT ARAH



ALLAH ADA TANPA TEMPAT ARAH..
الرحمن على العرش استوى
Ayat ini menunjukkan beberapa faidah :
Allah mengkhabarkan dirinya istawa atas arsy
Jika khabar itu datangnya dari selain Allah dan RosulNya, maka ada kalanya benar ada kalanya salah.

Adapun ayat diatas, nyata kebenaran nya.
jadi namanya bukan khabar, tapi insya.
Insya terbagi 2, ada tholabi dan ghoiru tholabi
Dalam ayat di atas tidak ada tholab, tapi kalau diteliti lebih dalam ada beberapa tholab didalam nya....

Contohnya begini
الرحمن على العرش استوى

1. Amar.... Allah mengkhabarkan bahwa diriNya istawa diatas arsy, karena itu isi ayat ini wallahu a'lam. suruhan percaya bahwa Allah istawa atas arsy.

2. Nahyun.... dalam zhahir ayat memang jelas istawa, dan kita harus percaya itu.
tetapi kita dilarang mempercayainya dgn takwil2 yg tidak cocok dgn Allah apalagi sampay menjadi mujassimah musyabbihah.

3. Istifham..... jgn sampai tergambar dihati kita pertanyaan seperti ini, apakah benar Allah itu istiwa ya....?

Pokoknya jgn sampay ada keraguan dgn ayat Alquran

Dalam ayat diatas juga ada takdim ta'khir

Ayat ini banyak sekali di ulang dalam Alquran, kebanyakan nya didahulu kan kalimat istawa nya.
seperti dalam syuroh Alfurqon.

Kenapa dalam thoha ini diakhirkan istawanya......?
Alasan paling utama adalah untuk menyamakan akhir ayat.
Ayat lain di furqon.

ثم استوى على العرش الرحمن

Ayat di thoha.
الرحمن على العرش استوى

Contoh lain
Di ayat lain smuanya didahulukan nama Nabi Musa dari Nabi Harun.

رب موسى وهارون
Adapun di thoha
رب هارون وموسى

Dari sini dapat kita fahami bahwa istawa itu di akhirkan untuk penyamaan akhir ayat saja, dan ini sesuai dgn ilmu BADII' yaitu pembagusan ibarat, Lil fashilah.

Mungkin saja ada faidah lain pada takdim ta'khirnya, misalnya ayat ini kan terulang2 didlm beberapa syuroh lain.
naaah mungkin si pendengar ini (orang2 kafir) mengingkari kekuasaan Allah dalam membangkitkan semua manusia nanti di hari kiamat, lalu Allah katakan kepada mereka dgn berulang2.
bahwa Dia kuasa menciptakan langit bumi dan arsy.
Artinya mudah banget untuk Allah mengembalikan semua makhluq nanti hari kiamat.

Atau mungkin juga takdim ta'khir disini untuk mentakhsish.
Dan kenapa disini dibawa ibarat dgn Arrahman yaitu sifat, bukan Allah yaitu dzat.
Artinya istawa Allah di arsy itu bukan haqiqat, tapi majaz.
Menurutku disini adalah MAJAZ MUROKKAB.

الرحمن على العرش استوى

Ayat ini adalah khabariah, tapi karna datangnya dari Allah maka menjadi insya'iyah, jadi disini maksudnya Allah bukan mengkhabarkan bahwa Dia bersemayam di arsy, tapi Dia mau menampakkan kekuasaaNya.

كما قال علي : إظهارا لقدرته لا مكانا لذاته

الرحمن على العرش استوى

Pada kaif dan kamm nya, ayat ini tidak bisa di nafikan dari beberapa sisi qadhiyah dan natijah, tidak bisa setengah2, harus secara keseluruhan di imani dan jgn ada keraguan untuk supaya keselamatan aja cukup dgn TAFWIDH.

Karna pada muqaddam dan taalinya hubungan nya sangat kuat.
Kalau tidak kita TAFWIDH maka akan bahaya. contohnya pada sebuah muqaddam dan taalinya,
Allah bersemayam di arsy, setiap yang bersemayam dibatasi oleh tempat dan ruang, setiap yg punya tempat dan ruang, maka itu baharu, natijah nya Allah itu baharu.

Lalu pada dalalah iltizam nya,setiap yg baharu itu melazimi mati, berhajat kepada sesuatu, berwarna2 dll yg tidak layak untuk Allah.
Ini adalah takwil sesat yg dilakukan para wahabi. mahluk menuhankan mahluk hehe...

Padahal dalalah yg cocok untuk Allah sdh diterangkan didalam Alquran
ليس كمثله شيء

Dalalah kandungan ayat ini melazimkan Allah tidak sama dgn makhluq dalam sifat, dzat dan af'al.

Jadi intinya ayat
الرحمن على العرش استوى

Jika untuk kalangan yg rasikh dalam ilmu, cukup di tafwidh saja.
karna mereka ini sdh tau faidah yg terkandung didalam khabar ini, untuk mereka di namakan lazimul faidah

Tapi jika menimbulkan tasyabbuh kepada orang awam, maka harus di takwilkan dgn yg sesuai untuk Allah.

Karena ayat ini untuk orang awam masih belum sampai kepada muqtadhol hal mereka untuk mendapatkan lazim faidah khabariah insya-iyahnya.

Firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’i rahimahullah menegaskan secara memberikan nasehat kepada kaum Muslimin dengan berkata berkata:

إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)

“Ini termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak --secara mendetail-- membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini --dan semua orang Islam-- adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h.13). Agil Adianda Putra
oke.... saya tidak da maslah dr perkataan imam syafi'i yg ust utarakan...

oke.... saya pun tidak pernah mngtakan klw Allah bertempat,,,

Imam Abu hanifah:

لايشبه شيئا من الأشياء من خلقه ولا يشبهه شيء من خلقه

Maknanya:: (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya, dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang menyerupaiNya.Kitab Fiqh al Akbar, karangan Imam Abu Hanifah, muka surat 1.

IMAM ABU HANIFAH TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT ATAS ARASY.

Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab asal sepertimana yang telah di scan di atas) :

“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat.

Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.

Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadat kembali kepada Islam

Imam Syafi'i

انه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لايجوز عليه التغيير

Maknanya: sesungguhnya Dia Ta’ala ada (dari azali) dan tempat belum dicipta lagi, kemudian Allah mencipta tempat dan Dia tetap dengan sifatnnya yang azali itu seperti mana sebelum terciptanya tempat, tidak harus ke atas Allah perubahan. Dinuqilkan oleh Imam Al-Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 muka surat 23

Imam Ahmad bin Hanbal :

-استوى كما اخبر لا كما يخطر للبشر

Maknanya: Dia (Allah) istawa sepertimana Dia khabarkan (di dalam al Quran), bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia. Dinuqilkan oleh Imam al-Rifae dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, dan juga al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa Tamarrad.

وما اشتهر بين جهلة المنسوبين الى هذا الامام المجتهد من أنه -قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه

Maknanya: dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini (Ahmad bin Hanbal) bahawa dia ada mengatakan tentang (Allah) berada di arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke atasnya(Imam Ahmad) Kitab Fatawa Hadisiah karangan Ibn Hajar al- Haitami

Imam Malik :

الاستواء غير المجهول والكيف غير المعقول والايمان به واجب و السؤال عنه بدعة

Maknannya: Kalimah istiwa’ tidak majhul (diketahui dalam al quran) dan kaif(bentuk) tidak diterima aqal, dan iman dengannya wajib, dan soal tentangnya bidaah.

lihat disini : imam malik hanya menulis kata istiwa (لاستواء) bukan memberikan makna dhahir jalasa atau duduk atau bersemayam atau bertempat (istiqrar).

1- Tafsir al Qurtubi

(ثم استوى على العرش ) dengan makna penjagaan dan penguasaan

2- Tafsir al-Jalalain

(ثم استوى على العرش ) istiwa yang layak bagi Nya

3- Tafsir an-Nasafi Maknanya:

makna ( ثم استوى على العرش) adalah menguasai Ini adalah sebahagian dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulamak Ahlu Sunnah yang lain…

4- Tafsir Ibnu Kathir , darussalam -riyadh, Jilid 2 , halaman 657, surat ara’ad ayat 2):

(ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf, sesungguhnya ia ditafsirkan sebagaimana lafadznya yang datang (tanpa memrincikan maknanya) tanpa kaifiat(bentuk) dan penyamaan, tanpa permisalan, maha tinggi

Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya.

II. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf

Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya:

1-masak (boleh di makan) contoh:

قد استوى الطعام—–قد استوى التفاح maknanya: makanan telah masak—buah epal telah masak

2- التمام: sempurna, lengkap

3- الاعتدال : lurus

4- جلس: duduk / bersemayam,

contoh: – استوى الطالب على الكرسي : pelajar duduk atas kerusi -استوى الملك على السرير : raja bersemayam di atas katil

5- استولى : menguasai,

contoh: قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق

Maknanya: Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan pedang dan penumpahan darah.

Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al-Buldan, dan banyak lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir?

sepertimana kata salah seorang ulama’ Salaf Imam at Tohawi (wafat 321 hijrah):

ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر

Maknanya: barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir. Kemudian ulama’-ulama’ Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran dengan makna menguasai arasy kerana arasy adalah makhluk yang paling besar, oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan Allah subhanahu wata’ala sepertimana kata-kata Saidina Ali yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh:

ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته

Maknanya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya.

Imam asy-Syafi’i Muhammad ibn Idris (w 204 H), seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Syafi’i, berkata:
ﺇﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻛﺎﻥ ﻭﻻ ﻣﻜﺎﻥ ﻓﺨﻠﻖ
ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻭﻫﻮ ﻋﻠﻰ ﺻﻔﺔ ﺍﻷﺯﻟﻴﺔ ﻛﻤﺎ
ﻛﺎﻥ ﻗﺒﻞ ﺧﻠﻘﻪ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻋﻠﻴﻪ
ﺍﻟﺘﻐﻴﺮ ﻓﻲ ﺫﺍﺗﻪ ﻭﻻ ﺍﻟﺘﺒﺪﻳﻞ ﻓﻲ ﺻﻔﺎﺗﻪ

(ﺇﺗﺤﺎﻑ ﺍﻟﺴﺎﺩﺓ ﺍﻟﻤﺘﻘﻴﻦ ﺑﺸﺮﺡ ﺇﺣﻴﺎﺀ
ﻋﻠﻮﻡ ﺍﻟﺪﻳﻦ, ﺝ 2، ﺹ 24 )

Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat.
Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat2Nya yang Azali.
sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat2Nya
(LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j.2, h.24).

Dalam salah satu kitab karnya, al-Fiqh al-Akbar
[selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga
menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar],

Sahabat Nabi yang bernama Sa’ad bin Mu’adz di lahirkan di madinah 32 tahun sebelum hijrah Nabi.
Yaitu perkiraan tahun 590 M.
Beliau memeluk agama islam pada usia 31 thn ditangan Mash’ab bin ‘umair pada tahun 1 H.
atau 622 M. dalam riwayat lain beliau masuk islam sebelum hijrah Nabi. Wallahu a’lam.
Dalam buku buku sejarah disebutkan bahwa beliau mempunyai postur tubuh tinggi, gemuk dan kekar dan berkulit putih.
Beliau adalah seorang pahlawan dalam perang Badar, Uhud dan Khandak.
Namun akhirnya1 bulan setelah perang khandak beliau tutup usia karena pendarahan yang dideritanya akibat luka anak panah yang mengenai pembuluh darahnya.
Beliau meninggal dunia di Madinah dalam usia 37 pada tahun 5H atau 627M.
Nabi Muhammad Saw memimpin sholatnya dan dikebumikan di area pemakaman suci madinah, yaitu Jannatul Baqi’ Al-Ghorqod.

Berikut hadits yang merekam beliau saat meninggal dunia:

1. Rafi` al-Zargi menceritakan bahwa salah seorang kaumnya memberitahu bahwa Jibril telah mendatangi Nabi Saw di tengah malam dengan mengenakan ikat kepala dari sutra tebal, lalu Jibril bertanya.
Jenazah siapa gerangan yang telah membuka pintu langit dan menggoncangkan Arsy?
Beliau segera berdiri menemui Sa'ad bin Mu'adz dan menemukannya telah gugur.

2. Dalam riwayat lain Hasan Al-Bashri berkata, Sa'ad bin Mu`adz telah menggoncangkan 'Arsy Zat Yang Maha Pengasih, karena gembira dengan kedatangan ruhnya.
(Kedua riwayat ini diceritakan oleh Al-Baihaqi).

3. Sayyidah Aisyah bercerita, bahwa Nabi pernah berkata. Seandainya ada orang yang selamat dari himpitan kubur, niscaya Sa’ad lah orangnya.

4. Dan juga mutawatir dari Nabi, yaitu.
Sesungguhnya Arsy bergetar dikarenakan kematian si Sa’ad, karna gembira menyambut kedatangan ruhnya.
(HR. Bukhari *manaqibul anshor*-Muslim *fadhoilus shohabah*-Tirmidzi *fi manaqib*-Ibnu majjah *moqddimah*).

5. Dalam riwayat lain diceritakan bahwa Jibril tiba-tiba menemui Nabi Saw lalu bertanya, "Siapakah hamba sholih yang meninggal sehingga pintu-pintu langit terbuka dan `Arsy terguncang?
Nabi kemudian keluar, ternyata Sa'ad bin Mu`adz telah wafat (saat itu). Kemudian nabi duduk disisi kuburannya.
(HR. Ahmad, Al hakim, Baihaqi, Nasa’i).

Imam asy-Syafi’i berkata:

ﻭﺍﻋﻠﻤﻮﺍ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻻ ﻣﻜﺎﻥ ﻟﻪ،
ﻭﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﻫﻮ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻛﺎﻥ
ﻭﻻ ﻣﻜﺎﻥ ﻟﻪ ﻓﺨﻠﻖ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻭﻫﻮ ﻋﻠﻰ
ﺻﻔﺘﻪ ﺍﻷﺯﻟﻴﺔ ﻛﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻗﺒﻞ ﺧﻠﻘﻪ
ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ، ﺇﺫ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺘﻐﻴﺮ ﻓﻲ
ﺫﺍﺗﻪ ﻭﻻ ﺍﻟﺘﺒﺪﻳﻞ ﻓﻲ ﺻﻔﺎﺗﻪ، ﻭﻷﻥ ﻣﻦ
ﻟﻪ ﻣﻜﺎﻥ ﻓﻠﻪ ﺗﺤﺖ، ﻭﻣﻦ ﻟﻪ ﺗﺤﺖ
ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺘﻨﺎﻫﻲ ﺍﻟﺬﺍﺕ ﻣﺤﺪﻭﺩﺍ ﻭﺍﻟﺤﺪﻭﺩ
ﻣﺨﻠﻮﻕ، ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ ﻋﻠﻮﺍ
ﻛﺒﻴﺮﺍ، ﻭﻟﻬﺬﺍ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﺍﺳﺘﺤﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ
ﺍﻟﺰﻭﺟﺔ ﻭﺍﻟﻮﻟﺪ ﻷﻥ ﺫﻟﻚ ﻻ ﻳﺘﻢ ﺇﻻ
ﺑﺎﻟﻤﺒﺎﺷﺮﺓ ﻭﺍﻻﺗﺼﺎﻝ ﻭﺍﻻﻧﻔﺼﺎﻝ

(ﺍﻟﻔﻘﻪ ﺍﻷﻛﺒﺮ، ﺹ13 )

Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat.
Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan
dan tanpa tempat.
Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali.
sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat2Nya.
Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian
maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah Dia merupakan makhluk.
Allah Maha Suci dari pada itu semua.
Karena itu pula mustahil atasNya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi2 dan terpisah2.
Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah.
Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang
mustahil.
(al-Fiqh al-Akbar, h.13).
Pada bagian lain dalam kitab
yang sama tentang firman Allah
QS. Thaha: 5
(ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa).

Imam asy-Syafi’i berkata:

ﺇﻥ ﻫﺬﻩ ﺍﻵﻳﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺘﺸﺎﺑﻬﺎﺕ، ﻭﺍﻟﺬﻱ
ﻧﺨﺘﺎﺭ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻮﺍﺏ ﻋﻨﻬﺎ ﻭﻋﻦ ﺃﻣﺜﺎﻟﻬﺎ
ﻟﻤﻦ ﻻ ﻳﺮﻳﺪ ﺍﻟﺘﺒﺤﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻥ ﻳﻤﺮ
ﺑﻬﺎ ﻛﻤﺎ ﺟﺎﺀﺕ ﻭﻻ ﻳﺒﺤﺚ ﻋﻨﻬﺎ ﻭﻻ
ﻳﺘﻜﻠﻢ ﻓﻴﻬﺎ ﻷﻧﻪ ﻻ ﻳﺄﻣﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻗﻮﻉ
ﻓﻲ ﻭﺭﻃﺔ ﺍﻟﺘﺸﺒﻴﻪ ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺭﺍﺳﺨﺎ
ﻓﻲ ﺍﻟﻌﻠﻢ، ﻭﻳﺠﺐ ﺃﻥ ﻳﻌﺘﻘﺪ ﻓﻲ
ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﺎ ﺫﻛﺮﻧﺎﻩ، ﻭﺃﻧﻪ
ﻻ ﻳﺤﻮﻳﻪ ﻣﻜﺎﻥ ﻭﻻ ﻳﺠﺮﻱ ﻋﻠﻴﻪ ﺯﻣﺎﻥ،
ﻣﻨﺰﻩ ﻋﻦ ﺍﻟﺤﺪﻭﺩ ﻭﺍﻟﻨﻬﺎﻳﺎﺕ ﻣﺴﺘﻐﻦ
ﻋﻦ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻭﺍﻟﺠﻬﺎﺕ، ﻭﻳﺘﺨﻠﺺ ﻣﻦ
ﺍﻟﻤﻬﺎﻟﻚ ﻭﺍﻟﺸﺒﻬﺎﺔ
(ﺍﻟﻔﻘﻪ ﺍﻷﻛﺒﺮ، ﺹ13)

Ini termasuk ayat mutasyâbihât.
Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan
ayat2 yang semacam dengannya bagi orang yang
tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar
mengimaninya dan tidak secara mendetail--
membahasnya dan membicarakannya.
Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini Dia tidak akan aman untuk jatuh dalam
kesesatan tasybîh.
Kewajiban atas orang ini dan semua orang Islam-- adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah
kami sebutkan di atas.
Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagiNya waktu.
Dia Maha Suci dari batasan2 (bentuk) dan segala
penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah.
Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan.
(al-Fiqh al-Akbar, h.13).
Secara panjang lebar dalam kitab yang sama, Imam asy-Syafi’i membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah.
Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya.
Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk.
Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu tersebut menerima tambahan dan pengurangan, juga dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya. Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga harus membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan batasan tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tanda makhluk yang nyata mustahil bagi Allah

Menurut Ibnu AlJauzy didlm kitab Daf`u Syubhatu AlTasybih, kesalahan kelompok musyabihhah mujassimah wahabi salafy dlm memahami sifat khabariyah.
Seperti tentang istiwa. disebabkan karena.

1. Mereka menamakan khabar-khabar dgn khabar sifat, padahal realitanya hanyalah sebagai idhafat (penyandaran).
Secara kaidah dijelaskan bahwa tidak semua idhafah bermakna sifat.
Perhatikanlah Allah berfirman :

ونفخت فيه من روحى

“Aku meniupkan kepadanya ruhKu”

Di sini jelas bahwa ada idhafah Allah dgn ruh.
Akan tetapi tidak ada yg mengatakan bahwa Allah memiliki sifat ruh.

2. Mereka menyatakan bahwa hadits-hadits yg diriwayatkan adalah hadits mutasyabihat, yg tidak diketahui makna dan maksudnya kecuali oleh Allah. Namun kemudian mereka menafsirkannya dgn makna yg dzhahir! Sangat mengherankan sekali, hal yg tidak diketahui kecuali oleh Allah, akan tetapi zhahir bagi mereka! Bukankah makna zhahir dari kalimat استواء (bersemayam) kecuali bermakna القعود (duduk) ?!
& kalimat النزول (turun) tidak dipahami,
kecuali bermakna الانتقال (perpindahan).

3. Mereka kemudian menetapkan pelbagai sifat bagi Allah, sedangkan sifat yg layak bagi Allah tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil yg layak untuk DZat Allah, yg bersifat qath`iy.

4. Di dalam masalah istbat (mentapkan sifat), mereka tidak bisa membedakan, bahwa khabar ada yg bersifat khabar masyhur seperti:

ينزل تعالى الى سماء الدنيا

Allah turun ke langit dunia

Dan ada khabar yg tidak sahih, seperti: hadits
رأيت ربى فى أحسن صورة .

Aku melihat Tuhanku pada sebaik-baik bentuk.

Akan tetapi mereka justru menetapkan sifat bagi Allah dgn hadits masyhur dan hadits yg tidak shohih ini!

5. Mereka tidak bisa membedakan antara hadits yg marfu` (bersambungan sanadz) kepada Nabi Muhammad SAW ., & hadits yg mauquf (terputus sanad hanya sampai) kepada sahabat dan tabi`in, namun mereka menetapkan sifat dgn kedua hadits tersebut.

6. Mereka mentakwil sebagian lafaz pada tempat-tempat tertentu, seperti hadits:

ومن أتانى يمشى اتيته هرولة

Dan barangsiapa yg mendatangi Ku dgn berjalan, Aku mendatanginya dgn berlari.

Mereka mengatakan bahwa hadits ini adalah untuk menunjukkan makna Allah memberikan nikmat. Anehnya mereka tidak melakukan takwil pada tempat yg lain?!

7. Mereka memahami hadits-hadits berdasarkan pemahaman indrawi, oleh karena itu mereka berani mengatakan.
Allah turun dgn zatNya & berpindah pindah dari suatu tempat ke tempat yg lain”, kemudian mereka mengatakan “bukan sebagaimana yg difikirkan!” Mereka justru sudah duluan memikirkan & membuat bingung orang2 yg mendengar pernyataan mereka serta melumpuhkan indra dan akal mereka.

PERBEDA'AN IMAM ABU YA'LA DAN ABU YA'LA MUJASSIMAH <WAHABI>

PERBEDAAN ABU YA'LA AHLUSSUNAH DAN ABU YA'LA MUJASSIMAH

Ada dua orang bernama Abu Ya'la, yang pertama Abu Ya'la ahli hadits dari golongan ahlussunah, dan kedua Abu Ya'la dari golongan mujassimah (wahabi)

Abu Ya'la Pertama (Ahlussunah):

Nama: Abu Ya’la ahli hadits bernama; Ahmad bin Ali bin al Mutsanni bin Yahya bin Isa al Maushiliy, penulis kitab Musnad (Dikenal dengan kitab Musnad Abi Ya’la al Maushili), lahir tahun 210 H, wafat tahun 307 H (satu pendapat mengatakan wafat tahun 306 H).

Guru-guru: Di antaranya Imam-imam Ahli hadits terkemuka berikut ini; Ali bin al Madini, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yahya bin Sa’id al Qaththan, Abu Bakr bin Abi Syaibah, dan lainnya.

Murid-murid: Di antaranya Imam-imam ahli hadits terkemuka berikut ini; an Nasa’i, Ibnu Adiy, Abu Hatim, Abu asy-Syaikh, Abu Bakr bin al Muqri’, ath-Thabarani, dan lainnya.

Abu Ya'la Ke Dua (Mujassimah/Wahabi):

Nama: Muhammad bin al Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmad al Baghdadi al Hanbali, dikenal dengan sebutan al Qadli Abu Ya’la al Hanbali. Lahir tahun 380 H, wafat 458 H.

Al Qadli Abu Ya’la ini dikenal sebagai orang yang menyebarkan faham tasybih, bahkan salah seorang yang paling bertanggungjawab atas kerusakan Madzhab Hanbali. Orang inilah yang telah “menyuntikan penyakit” akidah tasybih di dalam madzhab Hanbali, dia banyak menuliskan akidah tasybih lalu dengan BOHONG BESAR ia mengatakan bahwa itu semua adalah aqidah Imam Ahmad bin Hanbal.

Imam al Hafizh Ibn al Jawzi (w 597 H) berkata:

Aku melihat ada beberapa orang dalam madzhab Hanbali ini yang berbicara dalam masalah aqidah dengan pemahaman-pemahaman yang ngawur. Ada tiga orang yang menulis karya terkait dengan masalah ini, yaitu; Abu Abdillah bin Hamid, al-Qadli Abu Ya’la (murid Abu Abdillah bin Hamid), dan Ibn az Zaghuni. Mereka semua telah menulis kitab-kitab yang telah merusak madzhab Hanbali, bahkan karena itu aku melihat mereka telah turun ke derajat orang-orang yang sangat awam. Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan, mereka mendapati teks hadits “Innallah Khalaqa Adam ‘Ala Shuratih”, lalu mereka menetapkan adanya “Shurah” (bentuk) bagi Allah. Lalu mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata, mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki, (Daf’u Syubah at Tasybih Bi Akaff at-Tanzih, h. 7-8)
Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus.