PENGERTIAN BID’AH
Arti Bid’ah Menurut Bahasa (Etimologis)
Kata Bid’ah (Jama‘nya; Bida’) secara bahasa berarti ‘sesuatu yang
diadakan tanpa ada contoh terlebih dahulu’ sedangkan pelakunya disebut
“mubtadi’ “ atau „mubdi’“[1]
Dalam al-Qur’an, langit dan bumi
dikatakan bid’ah, karena Allah SWT menciptakannya tanpa ada contoh
terlebih dahulu. Allah SAW berfirman:
بَدِيْعُ السَّموَاتِ وَالأَرْضِ
“(Allah) Pencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh)..” (QS. Al-Baqarah :117)
Arti Bid’ah Dalam Istilah Agama (Terminologis)
Adapun mengenai Bid’ah dalam istilah agama, para ulama telah
menjelaskannya setelah melalui proses penelitian terhadap konteks
al-Qur’an dan Hadits. Marilah kita simak pendapat-pendapat ulama
berikut.
Ibnu Hajar al-Asqalani
Beliau berkata: "Yang
dimaksud sabda Nabi "Setiap bid'ah itu adalah sesat" adalah sesuatu yang
diada-adakan tanpa ada dalil syar'i, baik dalil khusus maupun umum."[2]
Ibnu Taimiyyah
Beliau berkata: Bid’ah adalah semua perkara agama yang tidak ada sandarannya berupa dalil syar'i.[3]
Muhammad Rasyid Ridha
Beliau berkata: Bid’ah adalah segala hal yang tidak ada dasarnya dari
ajaran Nabi SAW, yakni dalam hal aqidah, ibadah, halal dan haram.[4]
Penjelasan Definisi
Dari beberapa contoh definisi bid’ah diatas dapat diambil kesimpulan
bahwa yang dimaksud bid’ah secara istilah adalah suatu urusan agama yang
tidak memiliki landasan syar’i. Meskipun sebenarnya hampir mustahil
untuk memisahkan -dengan batasan yang jelas- antara perkara agama dan
perkara dunia, namun, untuk meringankan pembahasan, kita akan fokus dulu
pada pembahasan mengenai definisi diatas.
Jika dikatakan bahwa
Bid’ah (perkara baru) adalah sesuatu yang tidak berlandaskan syariat,
maka akan timbul pertanyaan “adakah Bid’ah yang memiliki landasan
syar’iat sehingga ia tidak termasuk Bid’ah yang tercela?
Jika kita
menggunakan logika berfikir yang lurus, jawabannya tentu “ada”. Coba
kita perhatikan baik-baik, jika kita mengakui adanya bid’ah yang tidak
sesuai dengan syariat, maka kita harus mengakui pula adanya Bid’ah yang
sesuai syariat. Dari sini kita ketahui, bahwa definisi diatas masih
belum jelas sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut, karena
definisi diatas tetap akan menimbulkan dua pertanyaan berikut.
- Dinamakan apa Bid’ah yang sesuai syariat itu ?
- Jika Bid’ah yang tidak sesuai syariat jelas statusnya. Lantas bagaimana status Bid’ah yang sesuai syariat itu ?
Untuk menjawabnya, kita lanjutkan dengan pembahasan di bab berikutnya.
MACAM-MACAM BID’AH
Setelah nyata bagi kita, bahwa isyarat agama dan realitas mengharuskan
kita memilah-milah bid’ah, maka sekarang kita simak perkataan
Salafus-halih yang memberikan keterangan tentang hal tersebut.
Imam Syafi’i RA berkata :
اَلبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ, بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ
فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ
مَذْمُومْ.
“Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang terpuji dan yang
tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah (syariat) adalah bid’ah yang
terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah tercela.”[5]
Atau penjelasan beliau dalam riwayat yang lain, Yaitu yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً
اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ وَمَا اُحْدِثَ
مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ
غَيْرُ مَذْمُوْمَة
‘Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama,
perkara-perkara baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadits, Atsar
atau Ijma’. Inilah Bid’ah Dhalalah (sesat). Kedua, perkara-perkara baru
yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari
yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.
Dari penjelasan Imam Syafi’i tersebut, kita bisa simpulkan bahwa Bid’ah
yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah sesat, sedangkan Bid’ah
yang sesuai syariat disebut Bid’ah tidak sesat. Atau, jika Bid’ah yang
tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah tercela, maka Bid’ah yang
sesuai dengan syariat disebut Bid’ah terpuji. Atau, jika bid’ah yang
tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang buruk (sayyiah), maka
bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang baik (Hasanah).
Begitu seterusnya
Demikian juga, sebagaimana Bid’ah yang pertama
(yang tidak sesuai dengan syariat) jelas statusnya, yaitu sesat dan
haram, maka dengan analogi berfikir yang sama, Bid’ah yang kedua (yang
sesuai dengan syariat) adalah halal bahkan wajib hukumnya. Jika bid’ah
yang pertama tidak boleh kita kerjakan maka Bid’ah yang kedua boleh kita
kerjakan. Begitu seterusnya.
Jika kita masih mau meluaskan
pembahasan, mari kita simak penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-Imam
an-Nawawi sebagai berikut:
“Pada dasarnya, bid’ah itu berarti
sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Dalam
istilah syari’at, Bid’ah itu dipergunakan untuk perkara yang
bertentangan dengan Sunnah, maka jadilah ia tercela. Namun lebih
tepatnya, apabila perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap baik
menurut syari’at maka iapun menjadi baik. Sebaliknya, jika perkara itu
termasuk hal-hal yang dianggap buruk oleh syari’at maka iapun menjadi
buruk. Jika tidak demikian maka ia termasuk bagian yang mubah. Dan
terkadang bid’ah itu terbagi berdasarkan hukum-hukum Islam yang
lima”.[6]
Al-Imam an-Nawawi juga membagi bid’ah menjadi lima macam:
1. Wajib. Contohnya, antara lain, mencantumkan dalil-dalil pada
ucapan-ucapan yang menentang kemunkaran, penyusunan al-Qur’an dalam
bentuk mush-haf demi menjaga kemurniannya, menulis ayat Al-Quran dengan
khat baru yang menggunakan titik dan baris agar tidak salah mengartikan
Al-Quran, membukukan kitab Hadits, khutbah dengan bahasa sistematis agar
dimengerti maknanya dan lain-lain.
2. Mandub (disukai). Contohnya,
Shalat Tarawih sebulan penuh, pengajian rutin, membuat Al-Qur’an dalam
program CD dan lain-lain.
3. Haram (sesat). Contoh, Naik haji selain
ke Makkah, melakukan ritual dengan melarung sesaji di pantai selatan,
turut merayakan dan memperingati Natal (untuk merayakan hari kelahiran
Nabi Isa) dan lain-lain.
4. Makruh. Contoh, berwudhu’ dengan membiasakan lebih dari tiga kali basuhan.
5. Mubah. Contohnya sangat banyak, meliputi segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum agama.
Demikianlah arti pengecualian dan kekhususan dari arti yang umum,
sebagaimana kata Sahabat Umar bin al-Khatthab RA mengenai jamaah tarawih
(yang menjadi satu jamaah dan satu imam), “inilah sebaik-baik
bid’ah”.[7]
Coba perhatikan, kedua ulama’ besar tersebut bahkan
membagi bid’ah menjadi beberapa klarifikasi. Jika kita perhatikan, dalam
hukum agama kita memang hanya menemukan dua hal; perintah dan larangan.
Akan tetapi sebuah perintah bisa berstatus wajib atau mungkin sekedar
anjuran. Demikian juga dengan larangan, bisa berupa haram atau sekedar
makruh. Maka perkara yang dianggap bid’ah akan lebih bijaksana apabila
dipandang dengan cara seperti ini. Semoga Allah merahmati Ibnu Hajar dan
an-Nawawi.
Dengan demikian, kami rasa tidaklah berlebihan bila
ada yang mengatakan bahwa orang yang menolak Bid’ah Hasanah adalah
termasuk golongan ahli Bid’ah Dhalalah.
Bid’ah Dhalalah
bermacam-macam, diantaranya adalah menafikan Sunnah, menolak ucapan
Sahabat Nabi dan menolak pendapat Khulafa’ur-rasyidin. Rasulullah SAW
telah memberitahukan bahwa akan muncul banyak perbedaan, beliaupun
menyuruh kita untuk berpegangan pada Sunnah beliau dan Sunnah
Khulafa’ur-rasyidin. Sunnah Rasul adalah membolehkan Bid’ah Hasanah,
sedangkan Sunnah Khulafa’urrasyidin adalah melakukan Bid’ah Hasanah.
Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah Hasanah, maka kita telah
menafikan dan membid’ahkan mush-haf Al-Quran dan Kitab Hadits yang
menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam, karena tidak ada perintah
Rasulullah SAW untuk membukukan keduanya. Pembukuan itu hanyalah
merupakan ijma’ (kesepakatan pendapat) para Sahabat Nabi dan dilakukan
setelah Rasulullah SAW wafat. Bahkan Rasulullah SAW justru pernah
melarang menulis Hadits karena hawatir dikira al-Qur’an.
Buku
Hadits, seperti Shahih al-Bukhari, shahih Muslim dan sebagainya muncul
pada zaman Tabi’in. Walaupun Nabi pernah melarang penulisan Hadits,
namun mereka tetap membukukannya, karena kehawatiran Nabi akan
bercampurnya ayat al-Qur’an dan Hadits pada akhirnya mudah dihindari
dengan hadirnya peralatan tulis yang semakin canggih. Sedangkan
pembukuan itu dianggap penting untuk menjaga rawiyat Hadits Nabi.
Demikian pula Ilmu Musthalahul-hadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain.
Semua iai adalah Bid’ah yang tidak diperintahkan atau dicontohkan oleh
Nabi. Namun ini termasuk Bid’ah Hasanah, karena ilmu-ilmu itu disusun
untuk kepentingan menjaga dan memahami al-Qur’an dan Hadits.
Demikian pula Taraddhi (ucapan Radhiyallahu’anhu yang artinya ‘semoga
Allah meridhainya’) untuk sahabat Nabi, hal itu tidak pernah diajarkan
oleh Rasulullah SAW, tidak pula oleh Sahabat. Walaupun Al-Quran
menyebutkan bahwa para sahabat Nabi diridhai oleh Allah, namun al-Qur’an
dan Hadits tidak memerintahkan Taraddhi untuk sahabat Nabi. Taraddhi
adalah Bid’ah Hasanah yang dibuat oleh Tabi’in karena kecintaan mereka
pada para Sahabat Nabi.
Demikian pula dengan Al-Quran yang kini
telah dikasetkan, di CD-kan dan diprogram pada hand phone. Al-Quran juga
diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ini semua adalah Bid’ah, namun Bid’ah
yang Hasanah, Bid’ah yang baik dan bermanfaat untuk kaum muslimin.
Tidak seorangpun memungkiri hal itu.
Coba kita tarik mundur
kebelakang tentang sejarah Islam, seandainya al-Quran tidak dibukukan,
apa kiranya yang terjadi pada perkembangan Islam? Jika al-Quran masih
bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat RA yang
hanya sebagian dituliskan, tentu akan muncul beribu-ribu versi
al-Quran, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya
berdasarkan riwayatnya sendiri.
Demikian pula dengan Hadits-hadits
Rasulullah SAW, seandainya ulama tidak menulis dan membukukannya karena
Nabi pernah melarang, seandainya tidak disusun pula ilmu Mushthalah
Hadits, niscaya kita akan sulit untuk mempercayai keshahihan sebuah
Hadits, karena semua orang bisa mengaku punya riwayat Hadits Shahih.
Rasulullah SAW tahu bahwa dalam kondisi tertentu harus ada pembaharuan,
makanya beliau menganjurkan Sunnah Hasanah (inisiatif baik). Beliau
juga tahu bahwa hal baru terkadang juga menimbulkan fitnah agama,
makanya beliau melarang Sunnah Sayyi’ah atau Bid’ah Dhalalah. Inilah
hubungan antara perintah berijtihad dalam urusan agama dan masalah
bid’ah.
PENJELASAN HADITS-HADITS TENTANG BID’AH
Ketika
sebagian orang menolak pembagian Bid’ah pada Bid’ah Hasanah dan Bid’ah
Sayyi’ah, maka itu berarti mereka menolak dan menyalahkan ulama’besar
seperti al-Imam asy-Syafi’i, Al Hafid Ibnu Hajar, al-Imam a-Nawawi dan
Salafus-shalih lainnya, seolah-olah Ulama besar itu hanya berpendapat
berdasarkan hawa nafsu dan mengesampingkan al-Qur’an dan Hadits.
Penah terjadi dialog menarik. Berikut kami kutib dengan tanda “A” untuk wakil mereka dan “B” untuk wakil kami.
A : Kami tidak menjelaskan pendapat kami berdasarkanpikiran kami, tetapi berdasarkan ulama’ salaf juga.
B : Ulama’ salaf yang mana yang Anda maksudkan ?
A : Ulama’ semisal Ibnu Taimiyah.
B : Bukankah telah jelas dalam pembahasan yang lalu, bahwa definisi
Bid’ah semisal Ibnu Taimiyah masih perlu penjelasan lebih lanjut? Dan
kemudian diperjelas oleh definisi yang dikemukakan oleh As-Syafi’i.
A : Saya rasa definisi dari Ibnu Taimiyah sudah jelas, tidak perlu penjelasan tambahan.
B : Berarti Anda menafikan adanya bid’ah yang baik. Kalau demikian, apa
pendapat Anda tentang hal-hal baru seperti mush-haf al-Qur’an,
pembukuan Hadits, fasilitas Haji, Sekolah dan Universitas Islam,
Murattal dalam kaset dan sebagainya yang tidak ada di zaman Nabi?
A : Itu bukan bid’ah
B : Lantas di sebut apa? Apakah hanya akan didiamkan setiap hal-hal
baru tanpa ada status hukum dari agama (boleh tidaknya). Ini berarti
Anda menganggap Islam itu jumud dan ketinggalan zaman.
A : (Diam)..
Baiklah, tetapi kami memiliki ulama’ yang memiliki penjelasan tidak
seperti apa yang Anda jelaskan, ulama’ kami membagi Bid’ah menjadi dua ;
Bid’ah agama dan Bid’ah Dunia.
B : Nah, memang seharusnya demikian. Lantas, siapa yangmembagi bid’ah menjadi demikian?
A : Ulama’ semisal Albani dan Bin Baz. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW, “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.”
B : Hadits tersebut bukan hanya ulama Anda yang mengetahui. Ulama’
salaf telah mengetahui Hadits tersebut, namun mereka tidak menyimpulkan
demikian, karena itu berarti seakan-akan Nabi ‘mempersilahkan’ manusia
untuk berkreasi dalam urusan dunia sesuka hati, dan Nabi ‘mengaku’ tidak
banyak tahu urusan dunia. Baiklah, tidak usah kita berbicara terlalu
jauh. Ketika ternyata Anda juga berdalih dengan pendapat ulama Anda,
berarti kita sama-sama bersandar pada ulama. Sebuah pertanyaan buat
Anda: Apakah Anda lebih percaya pada ulama Anda daripada ulama salaf
yang hidup di zaman yang lebih dekat kepada zaman Nabi SAW? Apakah Anda
mengira bahwa As-Syafi’i salah mendefinisikan Bid’ah -yang merupakan
pokok agama maha penting- kemudian didiamkan saja oleh ulama salaf
lainnya tanpa bantahan? Apakah Anda mengira Albani lebih banyak memahami
Hadits dari Ibnu Hajar dan an-Nawawi?
A : Terdiam tidak menjawab.
B : Kami rasa tidak mungkin ulama Anda, seperti Ibnu Taimiyah, Albani
dan Bin Baz sampai merasa lebih benar dari asy-Syafi’i, an-Nawawi, Ibnu
Hajar, Al-Baihaqi dan ulama salaf lainnya. Mungkin ulama Anda hanya
sekedar memiliki pemikiran berbeda, sebagaimana lazimnya ulama berbeda
pendapat tanpa menyalahkan pendapat lain. Kami rasa Anda saja yang
berlebihan dan kemudian menyalahkan ulama salaf demi membela pendapat
ulama Anda. Kalau benar demikian, maka berarti Anda justru telah
menistakan ulama Anda sendiri.
Orang yang gemar melontarkan kata
bid’ah biasanya akan berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan
dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya, tidak ada satupun
diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi’in dan
tabi’it-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, tentu mereka akan
mendahului kita.”
Mereka juga berkata: “Kita kaum muslimin
diperintahkan untuk mengikuti Nabi, yakni mengikuti segala perbuatan
Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang
melakukannya? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang
tidak pernah dilakukan Nabi SAW, para sahabat dan ulama-ulama salaf?
Melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah Bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti itulah yang sering mereka jadikan pegangan dan
mereka pakai sebagai perlindungan, juga sering mereka jadikan sebagai
dalil dan hujjah untuk melegitimasi tuduhan Bid’ah terhadap semua amalan
baru. Mereka menganggap setiap hal baru -meskipun ada maslahatnya dalam
agama- sebagai Sesat, haram, munkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau
mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap
hukum-hukum pokok (dasar) agama.
Ucapan seperti diatas adalah
ucapan yang awalnya haq namun akhirnya batil, atau awalnya shahih namun
akhirnya fasid (rusak). Pernyataan bahwa Nabi SAW atau para sahabat
tidak melakukan si anu adalah benar. Akan tetapi pernyataan bahwa semua
yang tidak dilakukan oleh Nabi dan sahabat itu sesat adalah sebuah
Istimbath (penyimpulan hukum) yang keliru.
Karena
tidak-melakukan-nya Nabi SAW atau salafus shalih bukanlah dalil
keharaman amalan tersebut. Untuk ‘mengecap’ sebuah amalan boleh atau
tidak itu membutuhkan perangkat dalil dan sejumlah kaidah yang tidak
sedikit.
Kaidah mereka yang menyatakan bahwa setiap amalan yang
tidak dikerjakan Nabi dan sahabat adalah Bid’ah hanya berdalih dengan
Hadits-hadits bid’ah dalam pengertian zhahir, tanpa merujuk pada
penjelasan yang mendalam dari ulama salaf.
Al-Imam Ibnu Hajar
berkata: “Hadits-hadits shahih mengenai suatu persoalan harus
dihubungkan antara satu dengan yang lain, untuk dapat diketahui dengan
jelas tentang pengertiannya yang mutlak (lepas) dan yang muqayyad
(terikat). Dengan demikian maka semua yang diisyaratkan oleh
Hadits-hadits itu dapat dilaksanakan (dengan benar).”
Ketika
kita mengemukakan pendapat ulama, sebagian orang membantah dengan
penyataan bahwa Hadits lebih utama untuk diikuti dari pendapat siapapun.
Itu berarti ia mengira bahwa pendapat ulama itu tidak berdasarkan
al-Qur’an atau Hadits, melainkan berdasarkan akal atau hawa nafsu. Maka
takutlah kepada Allah dan janganlah bersu’uzhon pada ulama shaleh.
Baiklah, mari kita telaah Hadits-hadits terkait dengan pembahasan ini,
kita lihat saja apakah mereka berpendapat berdasarkan Hadits sedangkan
ulama shaleh itu hanya berpendapat dengan akal atau hawa nafsu.
HADITS PERTAMA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Al-Imam An-Nawawi, didalam Syarah Sahih Muslim, mengomentari Hadits ini
dan berkata: “Ini adalah sebuah kaidah umum yang membawa maksud khusus
(‘Ammun makhsus). Apa yang dimaksudkan dengan ‘perkara yang baru’ adalah
yang bertentangan dengan Syari‘at. Itu dan itu saja yang dimaksudkan
dengan Bid‘ah”.[8]
Demikian juga ayat Allah juga menjelaskan, ada bid’ah yang terpuji, sebagaimana firman-Nya :
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا
ابْتِغَاء رِضْوَانِ اللهِ
“Dan kami jadikan di hati mereka
(Hawariyyun pengikut Isa) rasa kasih dan sayang serta Rahbaniyah yang
mereka buat, Kami tidak mewajibkan rahbaniyah itu, (mereka tidak
melakukan itu) kecuali untuk mencari keridhaan Allah”. (QS. Al-Hadid :
27)
Berkatalah KH. Ali Badri Azmatkhan:
Dalam ayat itu Allah
menjelaskan bahwa Ia telah mengkaruniai Hawariyyun dengan tiga perkata.
Pertama, rasa kasih, yakni berhati lembut sehingga tidak mudah emosi.
Kedua, rasa sayang, yakni mudah tergerak untuk membantu orang lain.
Ketiga, Rahbaniyah, yakni bersungguh-sungguh didalam mengharap ridha
Allah, mereka berupaya dengan banyak cara untuk menyenangkan Allah,
walaupun cara itu tidak diwajibkan oleh Allah.
Allah SWT memang
menyebut Rahbaniyah itu sebagai Bid’ah yang dibuat oleh Hawariyun, itu
bisa dipahami dari kalimat ibtada’uuhaa (mereka mengada-adakannya).
Namun Bid’ah yang dimaksud adalah Bid’ah Hasanah. Hal ini ditunjang
dengan dua alasan:
Pertama, Rahbaniyah disebut dalam rentetan
amal baik menyusul dua amal baik sebelumnya, yaitu ra’fatan (rasa kasih)
dan rahmatan (rasa sayang). Kalau memang Allah mau bercerita tentang
keburukan mereka akibat membuat Rahbaniyah, tentu susunan kalimatnya
akan memisahkan antara kasih sayang dan Rahbaniyah. Sedangkan kalimat
dalam ayat itu justru menggabungkan Rahbaniyah dengan kasih sayang
sebagai karunia yang Allah berikan pada Hawariyun.
Kedua, Allah
SWT berkata “Rahbaniyah itu tidak Kami wajibkan”. Tidak diwajibkan bukan
berarti dilarang, melainkan bisa jadi hanya dianjurkan atau dinilai
baik. Ini mengisyaratkan bahwa Rahbaniyah itu adalah cara atau bentuk
amalan yang tidak diperintah atau dicontohkan oleh Nabi Isa, akan tetapi
memiliki nilai baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Isa. Bukti
bahwa Allah SWT membenarkan Bid’ah mereka berupa Rahbaniyah adalah Allah
SWT mencela mereka karena mereka kemudian meninggalkan Rahbaniyah itu.
Ketika membuat Rahbaniyah menunjukkan upaya mereka untuk mendapat ridha
Allah, maka meninggalkan Rahbaniyah menunjukkan kemerosotan upaya mereka
untuk mendapat ridha Allah.[9]
Sebagian orang berkata: Ketika
Nabi SAW berkata ‘semua bid’ah adalah sesat’, bagaimana mungkin ada
orang yang berkata ‘tidak, tidak semua bid’ah sesat, tetapi ada yang
baik’. Apakah ia merasa lebih tahu dari Rasulullah? Apakah ia tidak
membaca ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَرْفَعُوْا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi..” (Al-Hujarat : 2)
Mereka menyalahkan orang yang bersandar pada pendapat ulama salaf dan
menganggap orang itu lebih mengutamakan ulama daripada Nabi. Hal ini
merupakan pemikiran yang sempit dan termasuk penistaan terhadap kaum
muslimin. Ada berapa juta muslimin shaleh yang meyakini keilmuan dan
ketaqwaan al-Imam asy-Syafi’i sang penolong Sunnah (Nashirus-sunnah),
Ibnu Hajar sang pakar yang hafal puluhan ribu Hadits beserta sanadnya,
an-Nawawi sang penghasil puluhan ribu lembar tulisan ilmiah dan
sebagainya? Sejarah bahkan mencatat bahwa islamisasi di belahan dunia
dilakukan oleh ulama yang sependapat dengan mereka, termasuk Walisongo
yang menyebarkan Islam di Nusantara. Tiba-tiba mereka dihujat oleh orang
yang belajar dan pengabdiannya bahkan tidak melebihi seperempat yang
dimiliki ulama salaf itu. Sungguh mereka tidak memiliki rasa hormat pada
para pejuang Islam. Seandainya mereka tahu seberapa besar peranan para
pejuang itu dalam perkembangan dunia Islam, jangankan para pejuang itu
hanya berbeda pendapat, seandainya jelas salah pun mereka tidak pantas
dihujat, karena kita yakin mereka tidak sengaja bersalah. Apalagi
pendapat mereka bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kalimat “Kullu” Tidak Berarti Semua Tanpa Kecuali
Dalam bahasa Arab, Kulluh berarti semua. Namun dalam penggunaan, tidak
semua kullu berarti semua tanpa kecuali. Ada banyak ayat al-Qur’an yang
menggunakan kalimat “kullu” akan tetapi tidak bermaksud semua tanpa
kecuali. Diantaranya:
1. Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا
نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ
حَتَّى إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا
هُمْ مُبْلِسُوْنَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang
telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan pintu-pintu dari
segala sesuatu untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan
apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan
sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS.
al-An’am : 44)
Meskipun Allah SWT menyatakan abwaba kulli syai’
(pintu-pintu segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya,
yaitu pintu rahmat, hidayah dan ketenangan jiwa yang tidak pernah
dibukakan untuk orang-orang kafir itu. Kalimat “kulli syai” (segala
sesuatu) adalah umum, tetapi kalimat itu bermakna khusus.
2. Allah SWT berfirman:
أَمَّا السَّفِيْنَةُ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ
فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُدُ كُلَّ
سَفِيْنَةٍ غَصْباً
“Adapun perahu itu adalah milik orang-orang
miskin yang bekerja di laut, aku bermaksud merusak perahu itu, karena di
hadapan mereka ada seorang Raja yang mengambil semua perahu dengan
paksa.” (QS. al-Kahfi : 79)
Meskipun Allah SWT mengunakan kalimat
kulla ssafinatin (semua perahu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya,
yaitu perahu yang bocor, karena Raja yang diceritakan dalam ayat itu
tidak merampas kapal yang bocor, bahkan Nabi Khidhir sengaja membocorkan
perahu itu agar tidak dirampas oleh Raja.
3. Allah berfirman :
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوْا لاَ يُرَى إِلاَّ مَسَاكِنُهُمْ كَذلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِيْنَ
“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka
jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas)
tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang
berdosa.” (ََQS. Al-Ahqaf : 25)
Meskipun Allah SWT menyatakan kulla
syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu
gunung-gunung, langit dan bumi yang tidak ikut hancur.
Allah berfirman :
إِنِّيْ وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan
dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.”
(QS. An-Naml:23)
Meskipun Allah SWT menyatakan kulli syai’
(segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, karena Ratu
Balqis tidak diberi segala sesuatu tak terkecuali, sebanyak apapun
kekayaan Balqis tetap saja terbatas.
Ayat-ayat diatas membuktikan
bahwa, dalam konteks al-Qur’an, kalimat “kullu” juga bisa berarti
“semua dengan pengecualian”, sebagaimana lazimnya dalam penggunaan
bahasa Arab dan bahasa lainnya. Masihkah Ada yang menyalahkan ulama
salaf semisal asy-Syafi’i karena menafsirkan kalimat “kullu” dalam
Hadits “Kullu bid’atin” dengan metode berfikir yang jernih dan ditunjang
dengan perangkat pendukung dan dalil-dalil yang jelas.
Selain
itu, banyak pula ungkapan dalam al-Qur’an atau Hadits yang sepintas
nampak bermakna umum namun sebenarnya bermakna khusus. Perlu dipahami
bahwa hal ini adalah bisa dalam penggunaan bahasa pada umumnya, sehingga
kita tidak boleh kaku karena terpaku dengan sebuah kalimat tanpa
memperhatikan istilah dan susunan bahasa. Bahkan kita harus
memperhatikan ayat dan Hadits lain barang kali ada maksud tkhshish
(membatasi) dalam kalimat umum atau sebaliknya.
Mari kita simak contoh-contoh berikut ini.
1. Allah berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعِزَّةَ فَلِلّهِ الْعِزَّةُ جَمِيْعاً
“Barang siapa yang menginginkan kekuatan maka hanya milik Allah-lah kekuatan itu semuanya.” (QS. Fathir: 10)
Dari pernyataan ayat diatas, sepintas kita memahami bahwa kita tidak
boleh mengatakan bahwa kekuatan itu milik Allah dan Rasul-Nya, karena
dalam ayat itu disebutkan bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah,
semuanya dan berarti tidak ada sedikitpun kekuatan yang boleh dikatakan
milik selain Allah. Namun coba perhatikan ayat berikut ini:
وَللهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلكِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ
“.. padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi
orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.”
(QS. al-Munafiqun : 8)
Ternyata ayat ini menyatakan bahwa
kekuatan adalah milik Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin.
Memang, izzah (kekuatan) Allah dan izzah Rasul adalah dua hal berbeda.
Namun yang kita maksud di sini adalah penggunaan kalimat izzah untuk
disebut milik Allah dan selain Allah. Kalau membaca ayat yang pertama,
nampaknya kita tidak boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul”,
akan tetapi kalau membaca ayat yang kedua maka kita bahkan boleh
mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul serta orang-orang mukmin”,
karena Allah sendiri yang mengatakan demikian.
2. Allah SWT berfirman:
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُوْن
“Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah
umpan (bahan bakar) neraka jahannam, kalian pasti masuk kedalamnya.”
(QS. al-Anbiya : 98)
Ayat ini menyatakan bahwa orang yang
menyembah selain Allah akan masuk neraka bersama sesembahannya. Kalau
ayat itu dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat yang lain,
maka akan dipahami bahwa Nabi Isa dan bundanya juga akan masuk neraka,
karena mereka disembah dan dipertuhankan oleh orang Nasrani. Begitu juga
para malaikat yang oleh kaum sebagian musyrikin disembah dan dianggap
sebagai tuhan-tuhan mereka.
3. Rasulullah SAW. bersabda:
“Orang yang menunaikan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. (HR. Muslim)
Hadits ini menyatakan bahwa orang yang shalat shubur dan ashar akan
selamat dari neraka. Kalau Hadits ini dipahami begitu saja tanpa
mempertimbangkan ayat dan Hadits yang lain, maka akan dipahami bahwa
kita akan selamat dari neraka walaupun tidak shalat zhuhur, maghrib dan
isya’ asalkan shalat shubuh dan ashar.
4. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya biji hitam ini (habbatus-sauda') adalah obat bagi semua penyakit, kecuali mati”[10].
Para mufassirin telah menegaskan bahawa kalimat ‘umum’ yang digunakan
dalam Hadits ini merujuk kepada sesuatu yang ‘khusus’. Maksud Hadits ini
sebenarnya ialah “banyak penyakit” (bukan semua penyakit) bisa
disembuhkan dengan habbatus-sauda’, walaupun kalimat yang dipakai adalah
kaliamat ‘umum’ (kullu yang berarti semua).
HADITS KEDUA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini,
yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Mari kita telaah makna Hadits diatas, benarkah Hadits
diatas bisa menjadi justifikasi membid’ahkan setiap amalan baru dalam
agama?
Coba anda perhatikan pada kalimat “yang tidak bersumber
darinya” pada Hadits tersebut, kira-kira apa makna dari kalimat
tersebut. Agar menjadi jelas, bandingkan dua kalimat berikut ini:
1. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.”
2. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, maka ia tertolak.”
KH. Ali Badri Azmatkhan berkata:
“Apabila kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ dibuang, maka sepintas
akan dipahami bahwa hal baru apapun akan disebut Bid’ah, walaupun hal
baru itu masih berisikan nilai syari’at. Dan kalaupun misalnya kalimat
‘yang tidak bersumber darinya’ itu benar-benar tidak disebutkan dalam
Hadits ini, tentu kita juga tidak bisa memfonis semuanya Bid’ah
berdasarkan Hadits ini, karena, untuk memahami sebuah Hadits, kita juga
harus mempertimbangkan Hadits lain, baik Hadits Qauli (perkataan Nabi)
maupun Hadits Iqrari (pembenaran Nabi terhadap tindakan Sahabat).
Kemudian, ketika Nabi katakan ‘yang tidak bersumber darinya’, itu
berarti ada hal baru yang bersumber dari syari’at dan ada hal baru yang
tidak bersumber dari syari’at. Kalau yang dilarang adalah hal baru yang
tidak bersumber dari syari’at, maka hal baru yang bersumber dari
syari’at tidak dilarang.
Lantas apa yang dimaksud dengan hal baru
yang bersumber dari syari’at? Kalau hal baru yang bersumber dari
syari’at itu dicontohkan dengan shalat malam, maka semua orang tahu
bahwa shalat malam itu bukan hal baru. Kalau hal baru yang bersumber
dari syari’at itu diartikan ihya’ussunnah (menghidupkan Sunnah yang
sudah lama ditinggalkan orang), maka secara bahasa itu juga tidak benar,
karena memulai kebiasaan lama itu bukan termasuk hal baru.
Maka
tidak ada lain hal baru yang dimaksud kecuali cara baru yang tidak
dicontohkan Nabi, namun tidak bertentangan dengan syari’at dan bahkan
memiliki nilai syari’at. Hal ini diperkuat dengan banyaknya hal baru
yang dilakukan para shabat Nabi, misalnya menyusun atau menambah doa
selain susunan doa yang dicontohkan Nabi, Ta’rif (memperingati hari
Arafah) yang dilakukan oleh Abdullah bin Abbas dengan menggelar kemah
dan dzikir bersama pada tanggal 9 Dzulhijjah (ketika tidak sedang
berhaji), shalat tarawih dengan satu imam di Masjidil-haram oleh para
sahabat di zaman Umar bin al-Khatthab (sedangkan pada zaman Nabi
tarawihnya berkelompok-kelompok di sudut-sudut Masjidil-haram), dan
banyak lagi misal yang bisa kita temui dalam kitab-kitab Tafsir, kitab
Hadits dan Syuruh (kitab syarah/tafsir Hadits).
Kepada siapapun
yang belum pernah membaca tuntas kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan
Syuruh, bila ia mau mentahqiq sebuah permasalahan, saya sarankan untuk
membaca semuanya dengan tuntas, agar terbuka baginya cakrawala berfikir
sebagaimana ulama salaf. Logikanya, bagaimana mungkin pemikiran seorang
sarjana atau doktor yang hanya pernah membaca tuntas beberapa judul buku
bisa lebih tajam dari pemikiran asy-Syafi’i, an-Nawawi, al-Ghazali,
Ibnu Hajar al-Asqalani dan sebagainya. Mereka adalah ulama besar yang
berhasil mengisi khazanah keilmuan Islam dengan karya-karya besar yang
bukan hanya dikagumi umat Islam saja. Dan satu hal yang harus kita
sadari, yaitu bahwa karya-karya itu tidak lahir dari upaya yang ringan,
mereka tidak belajar hanya sepuluh tahun, mereka tidak meneliti hanya
sepuluh tahun, mereka tidak hanya membaca seribu Hadits, tapi meneliti
puluhan tahun dan puluhan ribu Hadits. Tidak mudah bagi mereka untuk
memutuskan sebuah kesimpulan, tapi sebagian akademisi zaman sekarang
begitu mudahnya menyalahkan ulama salaf, padahal target belajarnya tidak
seserius ulama salaf, targetnya hanya gelar ‘Lc’, ‘MA’, ‘Doktor’ dan
sebagainya”.[11]
Agar lebih jelas lagi, mari kita lihat contoh
amalan yang memiliki sumber agama atau dalil baik umum maupun khusus dan
amalan yang tidak memiliki sumber bahkan bertentangan dengan agama
berikut ini.
Amalan Baru Yang Memiliki Sumber/dalil
AMALAN BARU (Tidak Ada Di Zaman Nabi ) SUMBERNYA *
Mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf Hadits, “Barangsiapa
memudahkan urusan kaum muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”
Memberi titik dan harakat pada mush-haf Al-Qur’an
Ibid
Membaca doa-doa bervariasi dalam sujud dan Qunut (misalnya berdoa untuk
mujahidin Palestina) Hadits “Sedekat-dekatnya makhluk dengan Tuhannya
adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa.”
Menyusun Ilmu fiqih dalam sistem madzhab atau per bab agar mudah dipelajari dan khutbah dalam bahasa setempat
Hadits, “berkatalah kepada seseorang berdasarkan kemampuan akalnya.”
Mengumpulkan muslimin pada suatu momen dengan diisi tilawah Qur’an atau shalawat Nabi dsb.
Jelas banyak dalilnya.
Membuat Al-Qur’an dalam bentuk VCD Hadits, “Barang siapa yang
memudahkan urusan kaum muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”
Memberi gelar pada tokoh agama dengan sebutan Syaikh, Ustadz, Kiai,
Ajengan dsb. Perintah agama untuk memanggil orang dengan penghormatan
dan panggilan yang disukai
*Diantaranya saja
Amalan Baru Yang Tidak Memiliki Dalil
Atau Bertentangan Dengan Syari’at
>>>Melakukan shalat karena adanya bulan purnama
Tidak ada sumbernya
>>>Adzan dan Iqamat ketika akan mandi, makan dll
Tidak ada sumbernya
>>>Shalat dengan mengangkat kaki sebelah Bertentangan dengan Hadits-Hadits shalat
>>Shalat dengan berbahasa selain bahasa arab Tidak ada sumbernya bahkan bertentangan dengan Hadits-hadits shalat
HADITS KETIGA
Rasulullah SAW bersabda:
وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِيْ اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا ...
“.. Dan barangsiapa mengadakan Bid’ah yang sesat yang tidak diridhoi
oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia mendapat (dosanya) dan sebanyak
dosa orang lain yang ikut mengerjakannya.“ (HR. Tirmidzi)
Dalam
Hadits diatas terdapat kalimat “Bid’ah yang sesat”. Dalam Hadits
tersebut kata ‘Bid’ah’ dan ‘sesat’ adalah mudhaf dan mudhaf ‘ilaih
(gramer Arab). Bila merujuk pada ilmu gramer bahasa Arab, bab “Mudhaf”
dan “Na’at-man’ut”, susunan kalimat itu memberi arti adanya Bid’ah yang
tidak sesat. Bahkan dalam bahasa Indonesiapun demikian. Kalau Anda
berkata “Saya tidak suka tali yang panjang”, itu berarti menurut Anda
ada tali yang pendek.
Sebagai penutup bab ini, mari kita renungkan firman Allah SWT berikut ini :
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َ فَانْتَهُوا ۚ
‘Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja
yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya). (QS.
Al-Hasyr : 7)
Coba perhatikan, ayat diatas dengan jelas
menyebutkan bahwa perintah agama adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah
SAW, dan yang dinamakan larangan agama adalah apa yang memang dilarang
oleh Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan:
وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
“Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah (mengerjakannya).”
Juga dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari:
اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَاجْتَنِبُوْهُ
“Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu maka lakukanlah semampumu, dan
jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah ia.”
Perhatikan, dalam Hadits ini Rasulullah SAW tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
“Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan maka jauhilah ia!’
Jadi, pemahaman melarang semua hal baru (Bid’ah) dengan dalil Hadits
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah Bid’ah” dan Hadits “Barang
siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ..“ adalah
pemahaman yang tidak benar, karena banyak pernyataan atau ikrar dari
Rasulullah SAW dalam Hadits-hadits yang lain yang menyimpulkan adanya
restu beliau terhadap banyak hal baru atas inisiatif para sahabat. Dari
itu, para ulama menarik kesimpulan bahwa Bid’ah (prakarsa) sesat ialah
yang bersifat men-syari’atkan hal baru dan menjadikannya sebagai bagian
dari agama tanda seizin Allah Allah SWT (QS Asy-Syura : 21), serta
prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh
syari’at Islam, misalnya sengaja shalat tidak menghadap kearah kiblat,
shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir, melakukan shalat
dengan satu sujud saja, melakukan shalat shubuh dengan sengaja sebanyak
tiga raka’at dan sebagainya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena
bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna
Hadits yang mengatakan “mengada-adakan sesuatu” adalah masalah
pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah
yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Misalnya ada orang mengatakan
bahwa shalat wajib itu dua kaili sehari, padahal agama menetapkan lima
kali sehari. Misalnya juga, orang yang sanggup -tidak berhalangan-
berpuasa wajib pada bulan Ramadhan boleh tidak perlu puasa pada bulan
tersebut, tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apa saja. Inilah
yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama, bukan masalah-masalah
nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
SUMBER
_______________________________________
[1] “Al-Munjid fil Lughah wal-A’lam“, alpabet ب
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XIII : 253.
[3] Iqthidho Shirath al-Mustaqim hal. 272
[4] Tafsir al-Manar, IX: 60.
[5] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XV : 179, Dar al-Fikr, Beirut
[6] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari, IV : 318.
[7] Syarh an-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, VI : 154-155, Dar Ihya Turats al-Arab, Beirut.
[8] An-Nawawi, Syarah Sahih Muslim, VI : 154.
[9] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah.
[10] Diriwayatkan dari 'Aiysah dan Abu Hurairah oleh al-Bukhari,
Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad melalui sembilan belas
periwayatan.
[11] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah
No comments:
Post a Comment