Inilah Fatwa PKS Tentang Pengangkatan Pemimpin Non-Muslim
Solo, Muslimedianews ~ Beberapa hari ini umat Islam
dihebohkan dengan polemik tentang boleh tidaknya memilih pemimpin
non-muslim. Pro dan kontra pun tak terelakan, apalagi polemik tersebut
dibumbui dengan Pemilihan Kepalada Daerah (Pilkada) DKI Jakarta yang
membuatnya semakin menjadi buah bibir. Masing-masing kubu baik yang
setuju maupun yang menolak kepemimpinan non-muslim saling beradu hujjah,
termasuk umat Islam. Alhasil, sesama umat Islam saling menghina,
mencaci maki, merendahkan satu dengan yang lainnya. Bahkan sampai
berbangga diri mempertontonkan dan menyebarkan keburukan saudara sesama
muslim dan melakukan fitnah yang keji.
KH Said Aqil Siradj adalah satu diantara korban yang difitnah oleh
kelompok-kelompok yang tidak menyukai perdamaian dan persatuan di
Indonesia. Berbagai dalil agama dibawa untuk mendukung berbagai fitnah
keji terhadap Kiai Said Aqil. Sebut saja kelompok Gerombolan Gagal Lurus
(GGL), kader atau simpatisan PKS Jonru, website-website radikal, dan
lain sebagainya.
Terkait pemimpin non-muslim, salah satu ormas Islam ahlussunnah wal
jamaah terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama sebenarnya sudah lama
membahasnya dalam Muktamar ke-30 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren
Lirboyo Kediri Jawa Timur pada 1999. Dalam keputusan hasil bahtsul
masail itu dinyatakan kebolehan memilih pemimpin non-muslim tetapi
dengan syarat. Selengkapnya silahkan lihat: KEPUTUSAN
BAHTSUL MASA'IL AL-DINIYAH AL-WAQI'IYYAH MUKTAMAR XXX NU DI PP. LIRBOYO
KEDIRI JAWA TIMUR TANGGAL 21 s/d 27 NOPEMBER 1999.
Bagi warga NU, polemik boleh tidaknya memilih pemimpin non-muslim
bukanlah hal yang baru sehingga tak perlu ikut-ikutan "Islam Kagetan"
dan membuat "Kaget Islam". Warga NU itu harus cerdas agar tidak mudah
terprovokasi apalagi termakan fitnah murahan kelompok seperti GGL yang
bukan dari NU. Keputusan para ulama di Lirboyo sudah jelas, NU harus
bersatu.
Selain NU, coba tengok ke belakang kepada Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) yang sangat getol menolak pemimpin non-muslim sekarang ini. Saat
ini partai yang merasa paling "Islami" itu begitu keras menentang
pemimpin non-muslim dalam sistem pemerintahan atau negara. Namun,
benarkah demikian?
Mari kita #MelawanLupa, kembali ke era tahun 2010-an saat Pilkada
Surakarta dimana saat itu Dewan Syariah PKS dengan tegas mengeluarkan
fatwa surat edaran bolehnya mengangkat non-muslim sebagai pemimpin
sepanjang bukan untuk menjadi pemimpin dalam urusan agama dan keagamaan.
Pada waktu itu, PKS dengan berbagai dalil agama, Quran dan Hadits,
secara terang-terangan mendukung kepemimpinan FX Rudi Hadi (sekarang
Walikota Solo) yang merupakan kader non-muslim dari PDI Perjuangan. Hal
ini tertulis dalam fatwa surat edaran yang dikeluarkan oleh Dewan
Syariah PKS Surakarta.
"Pengangkatan non muslim dalam kepemimpinan strategis sebagaimana
disebutkan dalam tingkatan kedua adalah boleh, dengan melihat secara
jelas maslahat yang akan didapat oleh kaum muslimin, serta terpenuhi
syarat-syarat secara khusus. Begitu pula, kebolehan tersebut semakin
terbuka jika yang diangkat bukan non muslim seorang, tetapi bersamanya
atau didampingin dengan seorang muslim, sebagaimana disebutkan oleh imam
Fahrudin Ar-Rozi dalam tafsirnya", demikian bunyi salah satu kesimpulan
fatwa PKS tahun 2010..
Namun, menjelang Pilkada DKI 2017 ini, kader maupun simpatisan PKS
banyak menggelorakan bahwa mengangkat non-muslim sebagai pemimpin itu
Haram, baik pemimpin dalam keagamaan maupun pemerintahan negara. Dan
lagi-lagi, mereka menggunakan dalil-dalil agama dan banyak menyitir
ayat-ayat Al Quran dan Hadits. Ini sungguh aneh tapi fakta. Sepertinya
bagi PKS, kepentingan bisa disesuaikan dengan menukil-nukil ayat-ayat Al
Qur’an dan Hadits. Lagi-lagi ini kembali kepada kepetingan politik dan
kekuasaan.
Selain menggunakan dalil hujjah agama, PKS juga mencontohkan beberapa pemimpin non-muslim di masa sekarang ini. PKS menyatakan:
Ketika kita masih berbicara pengangkatan non muslim untuk jabatan
Walikota dan wakil walikota, sesungguhnya di luar sana hal ini sudah
merupakan realitas kekinian yang dihadapi dunia Islam bahkan juga
harakah Islam. Bukan hanya dalam konteks pemimpin lokal tetapi dalam
konteks negara Islam dan mayoritas muslim. Dua diantaranya layak
mendapatkan perhatian :
1. Negara Sudan, yang sejak dua dasawarsa memberlakukan syariat Islam
dalam seluruh perundang-undangannya. Jelas-jelas memiliki wakil presiden
non Muslim berasal dari minoritas kristen di daerah Selatan.
2. Negara Suriah, pernah mempunyai seorang PM yang berasal dari
minoritas Kristen, bernama Faris Al-Khuury. Uniknya -sebagaimana
dikatakan Qardhawi- termasuk PM yang paling sukses, berhasil bekerja
saja dengan mentri-mentri dari kaum muslimin, bahkan sebagian besar kaum
muslimin Suriah puas dengannya. Dan ia dikenal sebagai PM kristen yang
paling yakin dengan syariat Islam sebagai solusi.
Jika kita pandang dari sudut syariah, ini membuktikan adanya
ijtihad-ijtihad kontemporer dalam masalah ini, dimana tidak setiap
dukungan dan pengangkatan non muslim selalu dihubungkan dengan
pelanggaran syar’i dan doktrin ideologi.
Dan berikut adalah fatwa surat edaran lengkap dari PKS tentang
diperbolehkannya mengangkat non -uslim sebagai pemimpin karena pemimpin
sebuah daerah atau pun negara bukanlah pemimpin Agama:
 |
Img: http://www.fakta.web.id/ |
DEWAN SYARIAH DAERAH PKS SURAKARTA, JANUARI 2010
الحمد لله و كفى و الصلاة و السلام على النبي المصطفى و على آله و أصحابه و من اهتدى،
اللهم لا سهل إلا ما حعلته سهلا و أنت تجعل الحزن سهلا إذا شئت
PENDAHULUAN :
Segala puji hanyalah bagi Allah SWT, Tuhan seru sekalian Alam. Sholawat
dan salam semoga senantiasa tercurah pada Rasulullah SAW, para keluarga,
sahabat dan penerus risalahnya hingga hari akhir nanti.
Kepemimpinan dalam Islam mempunyai urgensi dan fungsi yang begitu mulia.
Bahkan dalam jumlah yang sedikit pun, sekelompok orang haruslah memilih
seorang di antara mereka untuk menjadi pemimpinnya. Rasulullah SAW
bersabda:
إذا كنتم ثلاثة فأمروا أحدكم
“Jika engkau bertiga, maka hendaklah seorang menjadi pemimpinnya” (HR Thobroni dari Ibnu Mas’ud dengan sanad hasan)
Bukan hanya menegaskan tentang urgensinya, Syariah Islam pun mempunyai
sejumlah aturan dan syarat-syarat tertentu dalam menentukan seorang
pemimpin. Dalam bahasan fiqh, hal tersebut biasa dimasukkan dalam bab
“al-imamah” dan ” al-wilayah”. Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa
ulama secara khusus menuliskan tentang kepemimpinan dan pemerintahan
dalam Islam. Seperti Ibnu Taimiyah dalam Siyasah Syariyah dan Al-Mawardi
dalam Ahkam Sulthoniyah. Banyak permasalahan ijtihad fikih dalam
masalah politik dan pemerintahan yang dibahas dalam buku tersebut. Tentu
saja ini menunjukkan keluasan dan keluwesan syanat Islam dalam
menghadapi perkembangan zaman. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan
oleh ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam Kitabnya I’laamul Muwaqqin, dimana
beliau menulis begitu gamblang dalam sebuah bab khusus berjudul :
تغير الفتوى و اختلافها بحسب تغير الأزمنة و الأمكنة و الأحوال و النيات و العوائد
“Perubahan Fatwa dan Perbedaannya sesuai dengan Perubahan Zaman, Tempat, Kondisi, Niat dan Adat kebiasaaan”.
Di dalam bahasan tersebut, Ibnul Qoyyim banyak memberikan contoh hal-hal
yang begitu luwes berubah dalam fatwa, sebagaimana beliau juga
menekankan tentang prinsip-prinsip pokok dalam masalah ijtihad dan
fatwa. Hal ini tentu sesuai dengan yang disabdakan Rasulullah SAW dalam
haditsnya :
بعثت بالحنيفية السمحة
“Aku diutus dengan (agama) yang lurus dan moderat” (HR Ahmad dari Abu Umamah)
Pada perkembangan kontemporer, kepemimpinan dalam masyarakat kita
menjadi begitu beragam baik dari segi tingkataan maupun bidangnya.
Bentuk kepemimpinan yang paling tinggi yaitu Imamatul Udzhma telah
hilang paska runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani pada tahun 1942.
Selanjutnya umat Islam terkotak-kotak dalam bentuk negara yang berdiri
sendiri. Dalam sebuah negarapun terdapat kepemimpinan-kepemimpinan
cabang dengan karakteristik dan tugasnya masing-masing. Di Indonesia
misalnya, kita mengenal adanya Presiden, Mentri, Gubernur dan Bupati.
Semua jenis kepemimpinan tersebut tentu mempunyai karakteristik
tersendiri, dan dengan sendirinya membutuhkan pengkajian lebih khusus
tentang posisi kepemimpinan tersebut dalam aturan syariat kita,
khususnya berkaitan dengan siapa saja yang berhak dan boleh menjabatnya.
Diantara yang paling banyak disorot dalam masyarakat kita, khususnya
terkait dengan pemilihan pemimpin baik Pilpres, Pileg maupun Pilkada,
adalah keberadaan calon-calon non muslim di dalamnya. Tentu saja ini
adalah sebuah bentuk realitas dalam masyarakat kita, dimana tidak semua
tempat dan kondisi umat Islam di sebuah daerah bisa menghadirkan
pemimpin ideal dari golongan muslim yang komitmen. Inilah kemudian yang
menjadi ganjalan sekaligus pertanyaan dari umat, tentang sejauh mana
syarat dan kriteria dalam menentukan pemimpin, khususnya dalam konteks
kedaerahan? Bagaimana sebenarnya status dan hukum pengangkatan non
muslim dalam sebuah pemerintahan? Sementara kenyataan di lapangan begitu
banyak dan berserak calon-calon non muslim yang siap maju menjadi
pemimpin?
Atas dasar itulah, Partai Keadilan Sejahtera sebagai Partai Dakwah
sekaligus bagian dari umat Islam merasa perlu untuk ikut mengkaji lebih
jauh tentang bahasan pemilihan pemimpin dalam Islam dan secara khusus
seputar pengangkatan non muslim dalam pemerintahan. Kajian tersebut kami
tuangkan dalam Tulisan Rukyah Syamilah ini, yang tidak lain dan tidak
bukan adalah kepanjangan tangan dan apa yang telah dibahas oleh para
ulama dan mufassirin dalam kitab-kitab mereka terdahulu.!!!!!!!!
Tulisan ini kami bagi menjadi lima bagian utama, masing-masing adalah :
1- Masalah Pengangkatan Non Muslim (Tauliyati Ahli Dzimmah)
2- Masalah Kerja sama & Minta Bantuan kepada Non Muslim (Isti’anah bil Kufri)
3- Realitas Dunia Islam & Ijtihad Kontemporer
4- Masalah Ihsan dalam Musyarokah Siyasiyah
5- Menimbang antara Maslahat dan Madhorot
Hal-hal yang kami tuangkan dalam tulisan ini, adalah sebuah upaya
sekaligus harapan untuk memberikan penjelasan sekaligus solusi bagi umat
agar bisa keluar dari keraguan dan kegelisahan, seputar memilih dan
mendukung pemimpin mereka. Semoga Allah SWT memberi taufiq, hidayah dan
keberkahan atas niatan dan amal kami.
PERTAMA : TENTANG PENGANGKATAN NON MUSLIM
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 51:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ
أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم
مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِمِينَ
“Wahai orang-orang beriman, janganlah engkau menjadikan orang-orang
Yahudi dan Nasrani sebagai wali-wali, sesungguhnya sebagian mereka
menjadi penolong bagi sebagian yang lain…. ” (QS Al Maidah 51)
Ayat di atas secara dhohir berbicara tentang keumuman pelarangan
mengangkat pemimpin dari golongan non muslim. Selanjutnya dalam bahasan
fiqh -sebagaimana disebutkan oleh Dr. Ibrahim Abdus Shodiq dalam Fiqh
Sholahiyah lil Wilayah- hal tersebut masuk dalam bab tauliyatul ahlu
dzimmah ( pengangkatan ahlu dzimmah / non muslim), dimana terkait dengan
kepemimpinan dan hak non muslim di dalamnya, dibagi menjadi tiga
tingkatan, masing-masing adalah :
1. Pengangkatan dalam Kepemimpinan Umum (Wilayatul ‘Aamah) & Posisi yang mempunyai Nilai Keagamaan Strategis
2. Pengangkatan dalam Posisi Kepemimpinan Strategis Lainnya (Wazho’if Qiyadiyah)
3. Pengangkatan dalam Kepemimpinan Teknis dan Skill Umum tertentu (Wilayat Madaniyah)
Di dalam setiap tingkatan di atas, ada bahasan tersendiri seputar status pengangkatan non muslim di dalamnya.
Pertama : Pengangkatan dalam Wilayatul ‘Aman & Posisi yang mempunyai nilai keagamaan Strategis
Yang dimaksud dengan wilayatul ‘aamah adalah kepeminan umum yang
bersifat mutlak, yang dalam syariat islam sering disebut dengan khilafah
atau imamatul udzma. Pada masa ini, banyak ulama yang mengqiyaskannya
dengan ria’satu daulah atau kepala negara / pemerintahan. Sementara itu,
yang setara dengan hal tersebut ada juga yang disebut dengan wilayat
dzu shibgoh diiniyah yaitu kepemimpinan atau jabatan yang mempunyai
nilai keagamaan strategis, misalnya : panglima perang karena berkaitan
dengan jihad, urusan haji, zakat, pernikahan dan yang semacamnya.
Dalam tingkatan kepemimpinan di atas, para ulama bersepakat tentang
pengharaman non muslim menjadi pemimpin dalam posisi-posisi strategis
sebagaimana disebutkan di atas. Beberapa ulama menyebutkan ijmak ini
dalam kitab-kitabnya, diantaranya adalah :
Ibnu Mundzir yang menyatakan :
قال ابن المنذر: “أجمع كل من يحفظ عنه من أهل العلم أن الكافر لا ولاية له على مسلم بحال”
Telah bersepakat setiap yang dianggap sebagai ahlu ilmi bahwa seorang
kafir tidak mempunyai hak wilayah (penguasaan) atas seorang muslim.[i]
Qadhi fudhail bin Iyad juga menyatakan ijmak yang sama :
و قال القاضي عياش: “أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر، و على أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل
Para ulama bersepakat bahwa imamah tidak sah pada non muslim, dan jika
dalam kondisi tertentu seorang kafir bisa mendapatkannya, harus
dilengserkan”
Dr. Ibrahim Abdu Shodiq – Pakar Siyasah Syar’iyah dari Universitas Um Durman Sudan, juga menyebutkan :
علماء الشرعية مجمعون على عدم جواز ولاية غير المسلمين الوظائف ذات الصبغة
الدينية مثل (رئاسة الدولة، القضاء بين المسلمين، وزارة التفويض، الجهاد،
إمارة الحج، الحسبة…الخ
Ulama Syariah bersepakat atas tidak bolehnya mengangkat non muslim pada
jabatan-jabatan yang mempunyai nilai strategis keagamaan ( misal: kepala
negara, hakim, panglima perang, haji, zakat)
Dengan demikian, wilayah atau tingkatan pertama dalam kepemimpinan ini
secara ijmak tidak dibenarkan untuk dijabat oleh orang non muslim.
Mengingat posisi dan kekuasaannya yang begitu strategis dan bersentuhan
langsung dengan maslahat kaum muslimin. Hal ini sesuai dengan isyarat
Al-Quran yang mengingatkan kita dengan begitu jelas :
وَلَن يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
Artinya : dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada
orang-orang kafir untuk merugikan orang-orang yang beriman (An-Nisa’:
141)
TAHQIQ wa TAHLIL MAS’ALAH (Analisa Permasalahan )
Perlu diperhatikan bahwa pengharaman di atas berkutat pada kepemimpinan
atau penguasaan yang mutlak, bahkan dalam bahasa Qadhi Iyadh adalah
imamah (kekhalifahan). Jika kita hubungkan dengan realita kontemporer
saat ini, maka pengharaman di atas terjadi pada wilayah-wilayah tertentu
seperti Presiden, Panglima Perang, Hakim, serta Kementrian yang
mengurusi masalah strategis keagamaan.
Ini artinya, banyak wilayah kepemimpinan selain yang disebutkan di atas
tidak bisa diberlakukan hukum ijmak di atas. Hal ini meliputi posisi
menteri secara umum, gubernur, kepala daerah dan yang semacamnya. Karena
secara struktur, tugas dan wewenang berbeda dengan jabatan-jabatan yang
diharamkan dalam wilayah ijmak di atas. Seorang kepala daerah misalnya,
ia tidak memiliki wewenang strategis dalam masalah militer, kehakiman.
Begitu pula ia terikat dengan struktur birokrasi di atasnya yang kuat
mengatur dan mengikat, belum lagi dengan sistem dan aturan perundangan
yang ada. Sehingga, secara umum terbuka peluang untuk non muslim
menjabat posisi selain yang disebutkan di atas. Hal ini akan dibahas
lebih jauh dalam bahasan berikutnya.
KEDUA : PENGANGKATAN DALAM POSISI KEPEMIMPINAN STRATEGIS LAINNYA (WAZHOIF QIYADIYAH)
Yang dimaksud dengan wadhzoif qiyadiah disini adalah kepemimpinan
strategis lainnya, di luar kepemimpinan yang disebutkan dalam tingkatan
pertama. Seperti jabatan : menteri secara umum, gubernur, kepala daerah
dan kepala instansi tertentu misalnya.
Pada bahasan ini, terdapat perbedaan yang cukup tajam di antara Ulama. Disebutkan dalam Fiqh Sholahiyah Lil Imamah ungkapan :
و هكذا يشتد الخلاف في ولاية أهل الذمة لمنصب وزارة التنفيذ، وأضرابها من
الوظائف القيادية في الدولة الإسلامية، أما الولايات العلا و ذات الصفة
الدينية فلا خلاف بينهم في عدم جواز ولايتها لغير المسلمين
“Terjadi perbedaan yang tajam dalam kepemimpinan ahlu dzimmah untuk
posisi wizarotu tanfidz (kementrian pelaksana), dan juga jabatan
kepemimpinan yang setara lainnya ( wadzhoif wiyadiyah) dalam sebuah
daulah islamiyah. Sementara untuk kepemimpinan yang tertinggi (imamatul
udzma) dan kepemimpinan yang mempunyai nilai strategis keagamaan, maka
tidak ada khilaf di antara mereka tentang ketidakbolehannya di jabat
oleh non muslim”
Diantara ulama yang membolehkan pengangkatan non muslim dalam tingkatan
ini adalah Imam Al-Mawardi, sementara yang mengharamkan diantaranya
adalah Imam Haromain Al-Juwaeni.
Pendapat yang Mengharamkan
Mereka yang mengharamkan melandaskan dengan keumuman ayat di atas dan
beberapa ayat lainnya yang senada, juga dengan kisah Umar bin Khottob
yang memerintahkan dua gubernurnya (Abu Musa al-Asy’ari dan Kholid bin
Walid) untuk memecat asistennya di bidang administrasi dan keuangan yang
berasal dari non muslim. Riwayat lengkap tentang kisah tersebut dinukil
oleh Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad. Teksnya lengkapnya sebagai berikut:
عن أبي موسى رضي الله عنه قال: (قلت لعمر رضي الله عنه: إن لي كاتبا
نصرانيا، قال: ما لك قاتلك الله، أما سمعت الله يقول: (يا أيها الذين آمنوا
لا تتخذوا اليهود و النصارى أولياء بعضهم أولياء بعض)- ألا اتخذت حنيفا؟
قال: قلت يا أمير المؤمنين: لي كتابته و له دينه. قال: لا أكرمهم إذ أهانهم
الله، ولا أعزهم إذ أذلهم الله، و لا أدنيهم إذ أقصاهم الله.
Dari Abu Musa ra, ia berkata : Saya katakan pada Umar bahwa saya
mempunyai seorang sekretaris nashrani, maka Umar mengatakan : Ada apa
denganmu, semoga Allah SWT membunuhmu, apakah engkau tidak dengar Allah
SWT berfirman : “wahai orang-orang yang beriman janganlah menjadikan
orang yahudi dan nashroni sebagai pemimpin/kesayangan “?. Saya katakan
pada Umar: bagiku adalah tulisannya, dan bagi dia adalah agamanya “.
Umar mengatakan : ” Tidak akan aku muliakan mereka ketika Allah telah
menghinakan mereka ” … dst
فقد كتب خالد بن الوليد رضي الله عنه إلى عمر بن الخطاب رضي الله عنه يقول:
“إن بالشام كاتبا نصرانيا لا يقوم خراج الشام إلا به” فكتب إليه: “لا
تستعمله.” فكتب: “إنه لا غنى بنا” عنه، فكتب إليه عمر: “لا تيتعمله.” فكتب
إليه: “إذا لم نوله ضاع المال.” فكتب إليه عمر رضي الله عنه: “مات النصراني
و السلام”
Artinya : Kholid bin walid menulis kepada Umar bin Khottob : di Syam
(kami punya) juru tulis, yang penghitungan keuangan (khoroj) tidak akan
lancar tanpanya. Maka Umar menjawab : ” jangan gunakan dia “. Kholid
menjawab kembali : ” Kami sangat membutuhkannya”. Umar menulis kembali :
“Jangan gunakan dia !”. Kholid menulis kembali:” Kalau kami tidak
menggunakannya, akan hilang uang kami”. Umar mengakhiri dengan
mengatakan :” Semoga Nashrani itu mati. wassalam”
Munaqosyah Adillah:
Pendapat dengan sandaran dalil di atas bisa dibaca dan dua sisi:
1. Pertama : Umar bin Khotob melihat posisi juru tulis dan keuangan
sebuah pemerintahan gubernur adalah jabatan strategis dan prestise,
apalagi disebutkan pula oleh Kholid bin Walid tentang wewenang dan
tugasnya yang begitu penting. Karenanya Umar tidak ragu lagi untuk
memerintahkan pemecatannya, karena melihat itu sesuatu yang strategis
dan membahayakan jika dijabat kaum non muslim. Ini sangat bisa dipahami
mengingat keterbatasan pada saat itu, posisi juru tulis sangat
menentukan.
2. Kedua : Secara fiqh perdebatan di atas menunjukkan ada perbedaan
pendapat di kalangan sahabat. Hanya saja karena posisi Umar sebagai
khalifah, maka ia berhak memutuskan sikap akhirnya. Secara ushul Fiqh,
ini tidak termasuk dalam bagian ijmak sahabat, tetapi qaul atau pendapat
dan ijtihad sahabat, yang ternyata berbeda antara Umar dan kedua
gubernurnya.
Pendapat dan Dalil yang Membolehkan
Diantara dalil dan ungkapan yang mengisyaratkan kebolehan hal di atas antara lain :
Pertama : Sayyid Tantowi dalam Tafsir Al-Wasith, ketika menafsirkan ayat
Muwalah di atas, beliau menyebutkan: Al-Muwalah yang dilarang adalah
yang mengakibatkan kerugian kaum muslimin dan agama, bukan muwalah atau
kerja sama secara umum. Teks arabnya sebagai berikut:
و الموالاوة الممنوعة هي التي يكون فيها خذلان للدين أو إيذاء لأهله أو إضاعة لمصالحهم
Artinya :” Muwalaah (dukungan dan pengangkatan atas non muslim) yang
dilarang adalah : yang di dalamnya ada unsur tipuan dan penistaan agama,
atau mengganggu dan merugikan kaum muslimin, dan mengapus kemaslahatan
mereka ” (Tafsir Al-Wasith)
Sehingga, muwalah atau dukungan dengan syarat bermanfaat bagi umat dan
agama, tidak termasuk muwalah yang disebutkan dalam ayat di atas.
Kedua : Imam Fakhruddin – Arrozi dalam Tafsir Mafatihul Ghoib, ketika
menafsirkan ayat di atas mengungkapkan bahwa : Yang dilarang adalah
menjadikan Non Muslim pemimpin mutlak (sendiri) tanpa ada orang beriman
di sana. Beliau menyatakan :
لم لا يجوز أن يكون المراد من الآية النهي عن اتخاذ الكافرين أولياء بمعنى
أن يتولوهم دون المؤمنين، فأما إذا تولوهم و تولوا المؤمنين معهم فذلك ليس
بمنهي عنه
Mengapa tidak boleh jika yang dimaksudkan (pelarangan) dalam ayat adalah
menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, artinya : mengangkat
mereka tanpa mengangkat orang mungkin. Jika mengangkat non muslim dan
pada saat yang sama juga mengangkat orang mukmin bersamanya, maka hal
tersebut tidaklah dilarang.
Ungkapan di atas menunjukkan, sekiranya
seorang muslim mengangkat non muslim untuk jabatan tertentu tetapi
mereka juga mengangkat orang muslim bersamanya, maka hal itu tidak
termasuk yang dilarang dalam ayat.
Ketiga, Imam Al-Mawardy dalam Ahkam Sultoniyah[ii] menyebutkan :
و يجوز أن يكون هذا الوزير من أهل الذمة و إن لم يجز أن يكون وزير التفويض منهم
” dan boleh jika kementrian ini (tanfidz) dipegang oleh ahlu dzimmah
(non muslim), meskipun tidak boleh bagi mereka menduduki kementrian
tafwiidh.”
Di dalam ahkam sulthoniyah bab wizaroh (kementrian), Imam Mawardi
membagi pos kementrian menjadi dua bagian utama, yaitu wizarotu tanfidz
(kementrian pelaksana) dan wizarotu tafwidh (kementrian pendelegasi).
Dimana diantara keduanya terdapat sejumlah persamaan dan perbedaan.
Secara ringkas, kementrian tafwidh mempunyai wewenang lebih besar
khususnya dalam hal-hal yang sangat strategis seperti pengadilan,
peperangan dan baitul mal.
Keempat: Dr. Yusuf Qardhawi dalam dua bukunya[iii] menyebutkan secara
spesifik persoalan ini. Dalam kitab Ghoiril muslimin fi mujtamak muslim,
beliau mengatakan :
“و لأهل الذمة الحق في تولى وظائف الدولة كالمسلمين، إلا ما غلب عليه
الصبغة الدينية كالإمامة و رئاسة الدولة و القيادة في الجيش، و القضاء بين
المسلمين، و الولاية على الصدقات، و نحو ذلك.
“dan bagi ahli dzimmah (ada) hak dalam menjabat posisi-posisi dalam
negara sebagaimana halnya kaum muslimin, kecuali pada jabatan-jabatan
yang lebih dominan unsur keagamannya, seperti: imamah (khilafah), kepala
negara, panglima militer, hakim, dan yang mengurusi sedekah, dan yang
semacamnya”
Beliau melanjutkan :
و ما عدا ذلك من وظائف الدولة فيجوز إسناده إلى أهل الذمة، إذا تحققت فيهم
الشروط التي لا بد منها، من الكفاية و الأمانة و الإخلاص للدولة.
“dan jabatan selain itu (yang disebutkan tadi)
yang termasuk jabatan-jabatan dalam sebuah negara, maka boleh
disandarkan pada ahlu dzimmah, jika terpenuhi syarat-syaratnya pada diri
mereka, seperti: kemampuan, amanah, dan loyal pada negara”
Dalam tulisan yang lain, [iv] Dr. Qaradhawi menyebutkan :
و لا مانع من أن يكون أحد نائبي الرئيس، أو نوابه من غير المسلمين، و خصوصا
إذا كانت الأقلية غير المسلمة كبيرة، كما هو حاصل في السودان اليوم/
“Tidak ada larangan jika salah satu dari dua
wakil presiden atau dari beberapa wakilnya adalah berasal dari non
muslim, khususnya jika jumlah minoritas non muslimnya cukup besar.
Sebagaimana pula terjadi di Sudan.”
Kelima, Imam Syahid Hasan Al-Banna juga telah memprediksikan kemungkinan
pengangkatan non muslim dengan syarat-syarat tertentu. Dalam Majmuatur
Rosail, bab Risalatu Ta’alim[v], setelah berbicara tentang syarat-syarat
pemerintahan islam (hukumah islamiyah) yang terdiri dari kaum muslimin
yang komitmen dengan kewajiban agama, beliau menyatakan :
و لا بأس أن نستعين بغير المسلمين عند الضرورة، في غير مناصب الولاية العامة،
“Dan tidak mengapa meminta bantuan kepada non muslim dalam kondisi darurat, dalam jabatan-jabatan yang bukan kepemimpinan umum.”
Munaqosyah Adillah:
1- Para Ulama yang membolehkan pengangkatan
non muslim pada posisi tertentu senantiasa memberikan batasan dan
syarat tertentu, sebagaimana Imam Mawardi mengistilahkan ada wizarotu
tanfidz yang berbeda kewenangan dengan wizarotu tafwidh. Begitula pula
Qardhawi yang mensyaratkan tidak pada posisi-posisi strategis yang
berhubungan dengan keagaaman secara dekat, seperti: imamah sholat,
hakim, militer dan baitul maal. Maka jika kita lihat dengan lebih
objektif, sesungguhnya posisi kepala daerah, dengan sendirinya mempunyai
keterbatasan dan keterikatan tertentu.
2- Dengan logika yang sederhana,
sesungguhnya para ulama yang membolehkan pengangkatan non muslim
menduduki jabatan tertentu yang cukup strategis, mereka berbicara dalam
konteks menjalankan negara islam, pemerintahan islam, bahkan khilafah
islamiyah. Ini artinya, dalam kondisi ‘berkuasa penuh’ pun, masih begitu
fleksibel dengan membuka kesempatan dalam keterlibatan non muslim. Jika
dilihat dalam konteks kekinian, dimana pemerintahan islam belumlah
terbentuk, dimana bargaining kekuatan politik islam masih sangat rendah,
maka tentu opsi bekerja sama dan pengangkatan non muslim dalam jabatan
tertentu seharusnya lebih terbuka dan fleksibel.
Kesimpulan : Pengangkatan non muslim dalam
kepemimpinan strategis sebagaimana disebutkan dalam tingkatan kedua
adalah boleh, dengan melihat secara jelas maslahat yang akan di dapat
oleh kaum muslimin, serta terpenuhi syarat -syarat secara khusus. Begitu
pula, kebolehan tersebut semakin terbuka jika yang diangkat bukan non
muslim seorang, tetapi bersamanya atau didampingin dengan seorang
muslim, sebagaimana disebutkan oleh imam Fahrudin Ar-Rozi dalam
tafsirnya.
KEDUA : TENTANG KERJA SAMA dan MEMINTA BANTUAN dengan NON MUSLIM
Lebih mengerucut dalam konteks Pilkada Solo, untuk memahami hakekat
posisi kepala daerah dan wakilnya, bisa kita lihat dalam cuplikan berita
sebagai berikut:
Sambas – Para Wakil Kepala Daerah (Wakada) menggugat mereka tidak mau
lagi hanya menjadi ban serep ketika kepala daerah berhalangan. Gugatan
itu mengemuka pada acara Lokakarya dan Pertemuan Nasional (LPN) pra
wakil kepala daerah se-Indonesia di Bengkulu yang digelar selama tiga
hari, 15-17 Juni 2007, yang menghasilkan rekomendasi agar pemerintah
segera melakukan amandemen terhadap UU 32/2003 tentang Pemerintahan
Daerah. (HARIAN PELITA)
Begitu pula, jika dicermati lebih jauh sesuai ketentuan dan peraturan
yang berlaku, maka akan kita dapati bahwa TUGAS dan WEWENANG WAKIL
WALIKOTA itu diatur dalam sebuah PERATURAN WALIKOTA yang ditandatangani
oleh walikota. Ini artinya, dalam bahasa sederhana sesungguhnya yang
terjadi adalah Walikota sedang bekerja sama dengan WAKIL WALIKOTA atau
meminta bantuan kepada WAKIL WALIKOTA dalam menjalankan tugasnya.
Sehingga akan sangat berbeda secara efek ideologis dan syar’i, mendukung
non muslim menjadi pemimpin (walikota), dengan mendukung WALIKOTA
MUSLIM yang bekerja sama atau meminta bantuan kepada non muslim.
Dalam bahasan fiqh seputar istianah bil kufar (meminta bantuan pada
orang kafir) jumhur ulama selain Malikiyah mengatakan KEBOLEHANNYA,
sekalipun dalam kondisi berperang dengan dua syarat: kondisi yang
membutuhkan dan bisa dipercaya.
مذهب الجمهور (الشافعية و الحنابلة و الأحناف) : قالوا يجوز الاستعانة
بالكفر في الحرب بشرطين: أولا: الحاجة إليهم، و ثانيا: الوثوق من جهتهم.
Dalam bahasan siroh, akan kita temukan banyak lagi bentuk fiil Rasulullah SAW dalam beristi’anah dengan non muslim, misalnya :
• Peristiwa Hijrah, dengan Abdullah bin Uraiqith dan Suroqoh
• Bekerja sama dengan Yahudi bani Qainuqo di awal pemerintahan Madinah
• Bekerja sama dengan Sofwan dalam sebuah peperangan besar
KETIGA : REALITAS KEKINIAN DUNIA ISLAM.
PENGANGKATAN NON MUSLIM ADALAH SEBUAH HAL YANG SUDAH TERJADI DENGAN
IJTIHAD-IJTIHAD KONTEMPORER
Ketika kita masih berbicara pengangkatan non
muslim untuk jabatan Walikota dan wakil walikota, sesungguhnya di luar
sana hal ini sudah merupakan realitas kekinian yang dihadapi dunia Islam
bahkan juga harakah Islam. Bukan hanya dalam konteks pemimpin lokal
tetapi dalam konteks negara Islam dan mayoritas muslim. Dua diantaranya
layak mendapatkan perhatian :
1. Negara Sudan, yang sejak dua dasawarsa
memberlakukan syariat Islam dalam seluruh perundang-undangannya.
Jelas-jelas memiliki wakil presiden non Muslim berasal dari minoritas
kristen di daerah Selatan.
2. Negara Suriah, pernah mempunyai seorang PM
yang berasal dari minoritas Kristen, bernama Faris Al-Khuury. Uniknya
-sebagaimana dikatakan Qardhawi- termasuk PM yang paling sukses,
berhasil bekerja saja dengan mentri-mentri dari kaum muslimin, bahkan
sebagian besar kaum muslimin Suriah puas dengannya. Dan ia dikenal
sebagai PM kristen yang paling yakin dengan syariat Islam sebagai
solusi.
Jika kita pandang dari sudut syariah, ini
membuktikan adanya ijtihad-ijtihad kontemporer dalam masalah ini, dimana
tidak setiap dukungan dan pengangkatan non muslim selalu dihubungkan
dengan pelanggaran syar’i dan doktrin ideologi.
KEEMPAT : MENDUKUNG YANG BERPOTENSI UNGGUL ADALAH BENTUK IHSAN DALAM MEMENANGKAN AGENDA UMAT
Salah satu ajaran utama Islam adalah berlaku ihsan / optimal dalam segala sesuatunya.
Allah berfirman dalam surat Al-Mulk:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
“Yang menciptakan hidup dan mati untuk mengujimu yang mana diantara kalian yang paling ihsan amalnya”(QS Al-Mulk 2)
Begitupula Hadits Rasulullah SAW, beliau bersabda :
إن الله كتب الإحسان على كل شيئ
“Sesungguhnya Allah SWT mewajibkan berlaku ihsan dalam segala sesuatunya” (HR Muslim, Tirmidzi)
Dalam perspektif syar’i, salah satu tujuan musyarokah (partisipasi
politik) adalah amar makruf nahi munkar, atau sebagaimana disebutkan
oleh Imam Hasan Al-Banna , yaitu sebagai upaya sebagai islahul hukumah.
Tentu saja ini sejalan dengan hadits Rasul SAW yang menyatakan agama
adalah nasihat, dimana disebutkan salah satunya adalah nasihat bagi
pemimpin kaum muslimin.
Untuk membuka peluang yang efektif dalam
amar makruf nahi munkar dan menasehati pemimpin, atau mencegah kezaliman
yang telah dan akan dilakukan (unsur akhoka dzholiman au madzluman)
maka secara realitas politik itu dapat dipenuhi jika sejak awal kita
mendukung pasangan yang berpotensi menang. Tanpa adanya dukungan sejak
awal, maka kemungkinan nasehat dan amar makruf tetap ada, tetapi sangat
kecil atau bahkan tertutup. Sehingga pada titik ini, sesungguhnya
melakukan kalkulasi kekuatan, survei lapangan, dan pada akhirnya
mendukung yang paling berpotensi unggul, adalah bagian dari berbuat
ihsan dalam memenangkan agenda islahul hukumah. Wallahu a’lam
KELIMA : TENTANG KAIDAH MASLAHAT DAN MADHOROT
Dalam menentukan pilihan politik, senantiasa harus berlandaskan
pertimbangan yang jelas tentang kemanfaatan untuk umat yang bisa
diperoleh karenanya. Imam Qurthubi dalam penafsiran ayat ‘muwalah’,
beliau menyebutkan larangan memilih non muslim bersifat umum, lalu
beliau melanjurkan :
و أقول: إن كانت في ذلك فائدة محققة فلا بأس به.
“Seandainya di dalamnya ada manfaat yang jelas terealisasi, maka tidak
mengapa dengan itu (mengangkat non muslim) ” (Al-jami li ahkamil quran)
Karenanya, sebagai implementasi dari maqoshid syariah, dalam menimbang
segala sesuatunya tentu harus mempertimbangkan aspek maslahat dan
madhorot. Dalam syarat menentukan maslahat disebutkan oleh ulama Ushul
fiqh salah satunya adalah :
أن تكون مصلحة حقيقة و ليست مصلحة وهمية
“Hendaknya maslahat benar-benar bisa diperhitungkan terjadi bukan hanya menduga-duga ”
Begitu pula dalam madhorot, tidak bisa hanya diperkirakan dengan
asumsi-asumsi tanpa perhitungan yang jelas. Maka mungkin saja dalam
konteks PILKADA banyak asumsi dan perkiraan dimunculkan seputar maslahat
dan madhorot ketika mendukung salah seorang pasangan. Dalam hal ini
semua pihak bisa memakai kaidah yang sama seputar maslahat dan madhorot,
semua bisa mengasumsikan dan mengklaim ini adalah madhorot dan ini
adalah maslahat.
Karenanya, kembali pada syarat di atas MASLAHAT haruslah jelas dan
diperhitungkan terjadi. Untuk itulah dalam proses musyarokah dan
dukungan PILKADA, haruslah diupayakan adanya KONTRAK POLITIK yang bisa
menjadi sarana untuk mendekatkan pada MASLAHAT yang diperhitungkan,
serta pada saat yang sama menjauhkan dan mencegah dari MADHOROT. Tanpa
adanya kontrak politik yang jelas, pertimbangan maslahat dan madhorot
menjadi sangat debatable, atau dalam bahasa ushul fiqh :” wahmiyath” .
Wallahu Alam
PENUTUP:
Akhirnya, semua yang kami bahas di sini adalah tidak lebih dari analisa
syar’i sederhana yang -sesuai kemampuan kami- saat ini cukup kami yakini
kebenarannya. Tetapi, tentu saja tidak menutup kemungkinan adanya
pandangan lain, analisa lain yang lebih benar dan meluruskan apa yang
kami tulis ini. Hanya kepada Allah lah kami meminta ampunan atas
kesalahan dan kekeliruan kami dalam tulisan ini.
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ ۚ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ ۚ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama Aku masih
berkesanggupan. dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan
(pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah Aku bertawakkal dan Hanya
kepada-Nya-lah Aku kembali” (Hud 88).
Solo, 11 Shofar 1431 H
Dewan Syariah Daerah (DSD)
Partai Keadilan Sejahtera Kota Surakarta
[i] Ahkam Ahlu Dzimmah, Ibnul Qoyyim al-Jauzi (2/414)
[ii] Ahkam Sultoniyah, Imam Mawardi (1/45)
[iii] Ghoirul Muslimin fi Mujtama’ Muslim, dan Ahkam Aqolliyat
[iv] Makalah ” Ad-Din wa Siyasah” yang dipresentesaikan dalam Pertemuan ke 15 Majlis Fatwa Eropa tahun 2005
[v] Majmuatur Rosail, Imam Syahid Hasan Al-Banna, Risalatu Ta’alim
No comments:
Post a Comment