Monday, October 10, 2016

Inilah Fatwa PKS Tentang Pengangkatan Pemimpin Non-Muslim


Solo, Muslimedianews ~ Beberapa hari ini umat Islam dihebohkan dengan polemik tentang boleh tidaknya memilih pemimpin non-muslim. Pro dan kontra pun tak terelakan, apalagi polemik tersebut dibumbui dengan Pemilihan Kepalada Daerah (Pilkada) DKI Jakarta yang membuatnya semakin menjadi buah bibir. Masing-masing kubu baik yang setuju maupun yang menolak kepemimpinan non-muslim saling beradu hujjah, termasuk umat Islam. Alhasil, sesama umat Islam saling menghina, mencaci maki, merendahkan satu dengan yang lainnya. Bahkan sampai berbangga diri mempertontonkan dan menyebarkan keburukan saudara sesama muslim dan melakukan fitnah yang keji.
KH Said Aqil Siradj adalah satu diantara korban yang difitnah oleh kelompok-kelompok yang tidak menyukai perdamaian dan persatuan di Indonesia. Berbagai dalil agama dibawa untuk mendukung berbagai fitnah keji terhadap Kiai Said Aqil. Sebut saja kelompok Gerombolan Gagal Lurus (GGL), kader atau simpatisan PKS Jonru, website-website radikal, dan lain sebagainya.
Terkait pemimpin non-muslim, salah satu ormas Islam ahlussunnah wal jamaah terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama sebenarnya sudah lama membahasnya dalam Muktamar ke-30 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur pada 1999. Dalam keputusan hasil bahtsul masail itu dinyatakan kebolehan memilih pemimpin non-muslim tetapi dengan syarat. Selengkapnya silahkan lihat: KEPUTUSAN BAHTSUL MASA'IL AL-DINIYAH AL-WAQI'IYYAH MUKTAMAR XXX NU DI PP. LIRBOYO KEDIRI JAWA TIMUR TANGGAL 21 s/d 27 NOPEMBER 1999.
Bagi warga NU, polemik boleh tidaknya memilih pemimpin non-muslim bukanlah hal yang baru sehingga tak perlu ikut-ikutan "Islam Kagetan" dan membuat "Kaget Islam". Warga NU itu harus cerdas agar tidak mudah terprovokasi apalagi termakan fitnah murahan kelompok seperti GGL yang bukan dari NU. Keputusan para ulama di Lirboyo sudah jelas, NU harus bersatu.
Selain NU,  coba tengok ke belakang kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sangat getol menolak pemimpin non-muslim sekarang ini. Saat ini partai yang merasa paling "Islami" itu begitu keras menentang pemimpin non-muslim dalam sistem pemerintahan atau negara. Namun, benarkah demikian?
Mari kita #MelawanLupa, kembali ke era tahun 2010-an saat Pilkada Surakarta dimana saat itu Dewan Syariah PKS dengan tegas mengeluarkan fatwa surat edaran bolehnya mengangkat non-muslim sebagai pemimpin sepanjang bukan untuk menjadi pemimpin dalam urusan agama dan keagamaan. Pada waktu itu, PKS dengan berbagai dalil agama, Quran dan Hadits, secara terang-terangan mendukung kepemimpinan FX Rudi Hadi (sekarang Walikota Solo) yang merupakan kader non-muslim dari PDI Perjuangan. Hal ini tertulis dalam fatwa surat edaran yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah PKS Surakarta.
"Pengangkatan non muslim dalam kepemimpinan strategis sebagaimana disebutkan dalam tingkatan kedua adalah boleh, dengan melihat secara jelas maslahat yang akan didapat oleh kaum muslimin, serta terpenuhi syarat-syarat secara khusus. Begitu pula, kebolehan tersebut semakin terbuka jika yang diangkat bukan non muslim seorang, tetapi bersamanya atau didampingin dengan seorang muslim, sebagaimana disebutkan oleh imam Fahrudin Ar-Rozi dalam tafsirnya", demikian bunyi salah satu kesimpulan fatwa PKS tahun 2010..
Namun, menjelang Pilkada DKI 2017 ini, kader maupun simpatisan PKS banyak menggelorakan bahwa mengangkat non-muslim sebagai pemimpin itu Haram, baik pemimpin dalam keagamaan maupun pemerintahan negara. Dan lagi-lagi, mereka menggunakan dalil-dalil agama dan banyak menyitir ayat-ayat Al Quran dan Hadits. Ini sungguh aneh tapi fakta. Sepertinya bagi PKS, kepentingan bisa disesuaikan dengan menukil-nukil ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits. Lagi-lagi ini kembali kepada kepetingan politik dan kekuasaan.
Selain menggunakan dalil hujjah agama, PKS juga mencontohkan beberapa pemimpin non-muslim di masa sekarang ini. PKS menyatakan:
Ketika kita masih berbicara pengangkatan non muslim untuk jabatan Walikota dan wakil walikota, sesungguhnya di luar sana hal ini sudah merupakan realitas kekinian yang dihadapi dunia Islam bahkan juga harakah Islam. Bukan hanya dalam konteks pemimpin lokal tetapi dalam konteks negara Islam dan mayoritas muslim. Dua diantaranya layak mendapatkan perhatian : 
1. Negara Sudan, yang sejak dua dasawarsa memberlakukan syariat Islam dalam seluruh perundang-undangannya. Jelas-jelas memiliki wakil presiden non Muslim berasal dari minoritas kristen di daerah Selatan. 
2. Negara Suriah, pernah mempunyai seorang PM yang berasal dari minoritas Kristen, bernama Faris Al-Khuury. Uniknya -sebagaimana dikatakan Qardhawi- termasuk PM yang paling sukses, berhasil bekerja saja dengan mentri-mentri dari kaum muslimin, bahkan sebagian besar kaum muslimin Suriah puas dengannya. Dan ia dikenal sebagai PM kristen yang paling yakin dengan syariat Islam sebagai solusi. 
Jika kita pandang dari sudut syariah, ini membuktikan adanya ijtihad-ijtihad kontemporer dalam masalah ini, dimana tidak setiap dukungan dan pengangkatan non muslim selalu dihubungkan dengan pelanggaran syar’i dan doktrin ideologi.
Dan berikut adalah fatwa surat edaran lengkap dari PKS tentang diperbolehkannya mengangkat non -uslim sebagai pemimpin karena pemimpin sebuah daerah atau pun negara bukanlah pemimpin Agama:
Img: http://www.fakta.web.id/
DEWAN SYARIAH DAERAH PKS SURAKARTA, JANUARI 2010
الحمد لله و كفى و الصلاة و السلام على النبي المصطفى و على آله و أصحابه و من اهتدى،
اللهم لا سهل إلا ما حعلته سهلا و أنت تجعل الحزن سهلا إذا شئت
PENDAHULUAN :
Segala puji hanyalah bagi Allah SWT, Tuhan seru sekalian Alam. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah pada Rasulullah SAW, para keluarga, sahabat dan penerus risalahnya hingga hari akhir nanti.
Kepemimpinan dalam Islam mempunyai urgensi dan fungsi yang begitu mulia. Bahkan dalam jumlah yang sedikit pun, sekelompok orang haruslah memilih seorang di antara mereka untuk menjadi pemimpinnya. Rasulullah SAW bersabda:
إذا كنتم ثلاثة فأمروا أحدكم
“Jika engkau bertiga, maka hendaklah seorang menjadi pemimpinnya” (HR Thobroni dari Ibnu Mas’ud dengan sanad hasan)
Bukan hanya menegaskan tentang urgensinya, Syariah Islam pun mempunyai sejumlah aturan dan syarat-syarat tertentu dalam menentukan seorang pemimpin. Dalam bahasan fiqh, hal tersebut biasa dimasukkan dalam bab “al-imamah” dan ” al-wilayah”. Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa ulama secara khusus menuliskan tentang kepemimpinan dan pemerintahan dalam Islam. Seperti Ibnu Taimiyah dalam Siyasah Syariyah dan Al-Mawardi dalam Ahkam Sulthoniyah. Banyak permasalahan ijtihad fikih dalam masalah politik dan pemerintahan yang dibahas dalam buku tersebut. Tentu saja ini menunjukkan keluasan dan keluwesan syanat Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam Kitabnya I’laamul Muwaqqin, dimana beliau menulis begitu gamblang dalam sebuah bab khusus berjudul :
تغير الفتوى و اختلافها بحسب تغير الأزمنة و الأمكنة و الأحوال و النيات و العوائد
“Perubahan Fatwa dan Perbedaannya sesuai dengan Perubahan Zaman, Tempat, Kondisi, Niat dan Adat kebiasaaan”.
Di dalam bahasan tersebut, Ibnul Qoyyim banyak memberikan contoh hal-hal yang begitu luwes berubah dalam fatwa, sebagaimana beliau juga menekankan tentang prinsip-prinsip pokok dalam masalah ijtihad dan fatwa. Hal ini tentu sesuai dengan yang disabdakan Rasulullah SAW dalam haditsnya :
بعثت بالحنيفية السمحة
“Aku diutus dengan (agama) yang lurus dan moderat” (HR Ahmad dari Abu Umamah)
Pada perkembangan kontemporer, kepemimpinan dalam masyarakat kita menjadi begitu beragam baik dari segi tingkataan maupun bidangnya. Bentuk kepemimpinan yang paling tinggi yaitu Imamatul Udzhma telah hilang paska runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani pada tahun 1942. Selanjutnya umat Islam terkotak-kotak dalam bentuk negara yang berdiri sendiri. Dalam sebuah negarapun terdapat kepemimpinan-kepemimpinan cabang dengan karakteristik dan tugasnya masing-masing. Di Indonesia misalnya, kita mengenal adanya Presiden, Mentri, Gubernur dan Bupati. Semua jenis kepemimpinan tersebut tentu mempunyai karakteristik tersendiri, dan dengan sendirinya membutuhkan pengkajian lebih khusus tentang posisi kepemimpinan tersebut dalam aturan syariat kita, khususnya berkaitan dengan siapa saja yang berhak dan boleh menjabatnya.
Diantara yang paling banyak disorot dalam masyarakat kita, khususnya terkait dengan pemilihan pemimpin baik Pilpres, Pileg maupun Pilkada, adalah keberadaan calon-calon non muslim di dalamnya. Tentu saja ini adalah sebuah bentuk realitas dalam masyarakat kita, dimana tidak semua tempat dan kondisi umat Islam di sebuah daerah bisa menghadirkan pemimpin ideal dari golongan muslim yang komitmen. Inilah kemudian yang menjadi ganjalan sekaligus pertanyaan dari umat, tentang sejauh mana syarat dan kriteria dalam menentukan pemimpin, khususnya dalam konteks kedaerahan? Bagaimana sebenarnya status dan hukum pengangkatan non muslim dalam sebuah pemerintahan? Sementara kenyataan di lapangan begitu banyak dan berserak calon-calon non muslim yang siap maju menjadi pemimpin?
Atas dasar itulah, Partai Keadilan Sejahtera sebagai Partai Dakwah sekaligus bagian dari umat Islam merasa perlu untuk ikut mengkaji lebih jauh tentang bahasan pemilihan pemimpin dalam Islam dan secara khusus seputar pengangkatan non muslim dalam pemerintahan. Kajian tersebut kami tuangkan dalam Tulisan Rukyah Syamilah ini, yang tidak lain dan tidak bukan adalah kepanjangan tangan dan apa yang telah dibahas oleh para ulama dan mufassirin dalam kitab-kitab mereka terdahulu.!!!!!!!!
Tulisan ini kami bagi menjadi lima bagian utama, masing-masing adalah :
1- Masalah Pengangkatan Non Muslim (Tauliyati Ahli Dzimmah)
2- Masalah Kerja sama & Minta Bantuan kepada Non Muslim (Isti’anah bil Kufri)
3- Realitas Dunia Islam & Ijtihad Kontemporer
4- Masalah Ihsan dalam Musyarokah Siyasiyah
5- Menimbang antara Maslahat dan Madhorot
Hal-hal yang kami tuangkan dalam tulisan ini, adalah sebuah upaya sekaligus harapan untuk memberikan penjelasan sekaligus solusi bagi umat agar bisa keluar dari keraguan dan kegelisahan, seputar memilih dan mendukung pemimpin mereka. Semoga Allah SWT memberi taufiq, hidayah dan keberkahan atas niatan dan amal kami.
PERTAMA : TENTANG PENGANGKATAN NON MUSLIM
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 51:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Wahai orang-orang beriman, janganlah engkau menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali-wali, sesungguhnya sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain…. ” (QS Al Maidah 51)
Ayat di atas secara dhohir berbicara tentang keumuman pelarangan mengangkat pemimpin dari golongan non muslim. Selanjutnya dalam bahasan fiqh -sebagaimana disebutkan oleh Dr. Ibrahim Abdus Shodiq dalam Fiqh Sholahiyah lil Wilayah- hal tersebut masuk dalam bab tauliyatul ahlu dzimmah ( pengangkatan ahlu dzimmah / non muslim), dimana terkait dengan kepemimpinan dan hak non muslim di dalamnya, dibagi menjadi tiga tingkatan, masing-masing adalah :
1. Pengangkatan dalam Kepemimpinan Umum (Wilayatul ‘Aamah) & Posisi yang mempunyai Nilai Keagamaan Strategis
2. Pengangkatan dalam Posisi Kepemimpinan Strategis Lainnya (Wazho’if Qiyadiyah)
3. Pengangkatan dalam Kepemimpinan Teknis dan Skill Umum tertentu (Wilayat Madaniyah)
Di dalam setiap tingkatan di atas, ada bahasan tersendiri seputar status pengangkatan non muslim di dalamnya.
Pertama : Pengangkatan dalam Wilayatul ‘Aman & Posisi yang mempunyai nilai keagamaan Strategis
Yang dimaksud dengan wilayatul ‘aamah adalah kepeminan umum yang bersifat mutlak, yang dalam syariat islam sering disebut dengan khilafah atau imamatul udzma. Pada masa ini, banyak ulama yang mengqiyaskannya dengan ria’satu daulah atau kepala negara / pemerintahan. Sementara itu, yang setara dengan hal tersebut ada juga yang disebut dengan wilayat dzu shibgoh diiniyah yaitu kepemimpinan atau jabatan yang mempunyai nilai keagamaan strategis, misalnya : panglima perang karena berkaitan dengan jihad, urusan haji, zakat, pernikahan dan yang semacamnya.
Dalam tingkatan kepemimpinan di atas, para ulama bersepakat tentang pengharaman non muslim menjadi pemimpin dalam posisi-posisi strategis sebagaimana disebutkan di atas. Beberapa ulama menyebutkan ijmak ini dalam kitab-kitabnya, diantaranya adalah :
Ibnu Mundzir yang menyatakan :
قال ابن المنذر: “أجمع كل من يحفظ عنه من أهل العلم أن الكافر لا ولاية له على مسلم بحال”
Telah bersepakat setiap yang dianggap sebagai ahlu ilmi bahwa seorang kafir tidak mempunyai hak wilayah (penguasaan) atas seorang muslim.[i]
Qadhi fudhail bin Iyad juga menyatakan ijmak yang sama :
و قال القاضي عياش: “أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر، و على أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل
Para ulama bersepakat bahwa imamah tidak sah pada non muslim, dan jika dalam kondisi tertentu seorang kafir bisa mendapatkannya, harus dilengserkan”
Dr. Ibrahim Abdu Shodiq – Pakar Siyasah Syar’iyah dari Universitas Um Durman Sudan, juga menyebutkan :
علماء الشرعية مجمعون على عدم جواز ولاية غير المسلمين الوظائف ذات الصبغة الدينية مثل (رئاسة الدولة، القضاء بين المسلمين، وزارة التفويض، الجهاد، إمارة الحج، الحسبة…الخ
Ulama Syariah bersepakat atas tidak bolehnya mengangkat non muslim pada jabatan-jabatan yang mempunyai nilai strategis keagamaan ( misal: kepala negara, hakim, panglima perang, haji, zakat)
Dengan demikian, wilayah atau tingkatan pertama dalam kepemimpinan ini secara ijmak tidak dibenarkan untuk dijabat oleh orang non muslim. Mengingat posisi dan kekuasaannya yang begitu strategis dan bersentuhan langsung dengan maslahat kaum muslimin. Hal ini sesuai dengan isyarat Al-Quran yang mengingatkan kita dengan begitu jelas :
وَلَن يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
Artinya : dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk merugikan orang-orang yang beriman (An-Nisa’: 141)
TAHQIQ wa TAHLIL MAS’ALAH (Analisa Permasalahan )
Perlu diperhatikan bahwa pengharaman di atas berkutat pada kepemimpinan atau penguasaan yang mutlak, bahkan dalam bahasa Qadhi Iyadh adalah imamah (kekhalifahan). Jika kita hubungkan dengan realita kontemporer saat ini, maka pengharaman di atas terjadi pada wilayah-wilayah tertentu seperti Presiden, Panglima Perang, Hakim, serta Kementrian yang mengurusi masalah strategis keagamaan.
Ini artinya, banyak wilayah kepemimpinan selain yang disebutkan di atas tidak bisa diberlakukan hukum ijmak di atas. Hal ini meliputi posisi menteri secara umum, gubernur, kepala daerah dan yang semacamnya. Karena secara struktur, tugas dan wewenang berbeda dengan jabatan-jabatan yang diharamkan dalam wilayah ijmak di atas. Seorang kepala daerah misalnya, ia tidak memiliki wewenang strategis dalam masalah militer, kehakiman. Begitu pula ia terikat dengan struktur birokrasi di atasnya yang kuat mengatur dan mengikat, belum lagi dengan sistem dan aturan perundangan yang ada. Sehingga, secara umum terbuka peluang untuk non muslim menjabat posisi selain yang disebutkan di atas. Hal ini akan dibahas lebih jauh dalam bahasan berikutnya.
KEDUA : PENGANGKATAN DALAM POSISI KEPEMIMPINAN STRATEGIS LAINNYA (WAZHOIF QIYADIYAH)
Yang dimaksud dengan wadhzoif qiyadiah disini adalah kepemimpinan strategis lainnya, di luar kepemimpinan yang disebutkan dalam tingkatan pertama. Seperti jabatan : menteri secara umum, gubernur, kepala daerah dan kepala instansi tertentu misalnya.
Pada bahasan ini, terdapat perbedaan yang cukup tajam di antara Ulama. Disebutkan dalam Fiqh Sholahiyah Lil Imamah ungkapan :
و هكذا يشتد الخلاف في ولاية أهل الذمة لمنصب وزارة التنفيذ، وأضرابها من الوظائف القيادية في الدولة الإسلامية، أما الولايات العلا و ذات الصفة الدينية فلا خلاف بينهم في عدم جواز ولايتها لغير المسلمين
“Terjadi perbedaan yang tajam dalam kepemimpinan ahlu dzimmah untuk posisi wizarotu tanfidz (kementrian pelaksana), dan juga jabatan kepemimpinan yang setara lainnya ( wadzhoif wiyadiyah) dalam sebuah daulah islamiyah. Sementara untuk kepemimpinan yang tertinggi (imamatul udzma) dan kepemimpinan yang mempunyai nilai strategis keagamaan, maka tidak ada khilaf di antara mereka tentang ketidakbolehannya di jabat oleh non muslim”
Diantara ulama yang membolehkan pengangkatan non muslim dalam tingkatan ini adalah Imam Al-Mawardi, sementara yang mengharamkan diantaranya adalah Imam Haromain Al-Juwaeni.
Pendapat yang Mengharamkan
Mereka yang mengharamkan melandaskan dengan keumuman ayat di atas dan beberapa ayat lainnya yang senada, juga dengan kisah Umar bin Khottob yang memerintahkan dua gubernurnya (Abu Musa al-Asy’ari dan Kholid bin Walid) untuk memecat asistennya di bidang administrasi dan keuangan yang berasal dari non muslim. Riwayat lengkap tentang kisah tersebut dinukil oleh Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad. Teksnya lengkapnya sebagai berikut:
عن أبي موسى رضي الله عنه قال: (قلت لعمر رضي الله عنه: إن لي كاتبا نصرانيا، قال: ما لك قاتلك الله، أما سمعت الله يقول: (يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا اليهود و النصارى أولياء بعضهم أولياء بعض)- ألا اتخذت حنيفا؟ قال: قلت يا أمير المؤمنين: لي كتابته و له دينه. قال: لا أكرمهم إذ أهانهم الله، ولا أعزهم إذ أذلهم الله، و لا أدنيهم إذ أقصاهم الله.
Dari Abu Musa ra, ia berkata : Saya katakan pada Umar bahwa saya mempunyai seorang sekretaris nashrani, maka Umar mengatakan : Ada apa denganmu, semoga Allah SWT membunuhmu, apakah engkau tidak dengar Allah SWT berfirman : “wahai orang-orang yang beriman janganlah menjadikan orang yahudi dan nashroni sebagai pemimpin/kesayangan “?. Saya katakan pada Umar: bagiku adalah tulisannya, dan bagi dia adalah agamanya “. Umar mengatakan : ” Tidak akan aku muliakan mereka ketika Allah telah menghinakan mereka ” … dst
فقد كتب خالد بن الوليد رضي الله عنه إلى عمر بن الخطاب رضي الله عنه يقول: “إن بالشام كاتبا نصرانيا لا يقوم خراج الشام إلا به” فكتب إليه: “لا تستعمله.” فكتب: “إنه لا غنى بنا” عنه، فكتب إليه عمر: “لا تيتعمله.” فكتب إليه: “إذا لم نوله ضاع المال.” فكتب إليه عمر رضي الله عنه: “مات النصراني و السلام”
Artinya : Kholid bin walid menulis kepada Umar bin Khottob : di Syam (kami punya) juru tulis, yang penghitungan keuangan (khoroj) tidak akan lancar tanpanya. Maka Umar menjawab : ” jangan gunakan dia “. Kholid menjawab kembali : ” Kami sangat membutuhkannya”. Umar menulis kembali : “Jangan gunakan dia !”. Kholid menulis kembali:” Kalau kami tidak menggunakannya, akan hilang uang kami”. Umar mengakhiri dengan mengatakan :” Semoga Nashrani itu mati. wassalam”
Munaqosyah Adillah:
Pendapat dengan sandaran dalil di atas bisa dibaca dan dua sisi:
1. Pertama : Umar bin Khotob melihat posisi juru tulis dan keuangan sebuah pemerintahan gubernur adalah jabatan strategis dan prestise, apalagi disebutkan pula oleh Kholid bin Walid tentang wewenang dan tugasnya yang begitu penting. Karenanya Umar tidak ragu lagi untuk memerintahkan pemecatannya, karena melihat itu sesuatu yang strategis dan membahayakan jika dijabat kaum non muslim. Ini sangat bisa dipahami mengingat keterbatasan pada saat itu, posisi juru tulis sangat menentukan.
2. Kedua : Secara fiqh perdebatan di atas menunjukkan ada perbedaan pendapat di kalangan sahabat. Hanya saja karena posisi Umar sebagai khalifah, maka ia berhak memutuskan sikap akhirnya. Secara ushul Fiqh, ini tidak termasuk dalam bagian ijmak sahabat, tetapi qaul atau pendapat dan ijtihad sahabat, yang ternyata berbeda antara Umar dan kedua gubernurnya.
Pendapat dan Dalil yang Membolehkan
Diantara dalil dan ungkapan yang mengisyaratkan kebolehan hal di atas antara lain :
Pertama : Sayyid Tantowi dalam Tafsir Al-Wasith, ketika menafsirkan ayat Muwalah di atas, beliau menyebutkan: Al-Muwalah yang dilarang adalah yang mengakibatkan kerugian kaum muslimin dan agama, bukan muwalah atau kerja sama secara umum. Teks arabnya sebagai berikut:
و الموالاوة الممنوعة هي التي يكون فيها خذلان للدين أو إيذاء لأهله أو إضاعة لمصالحهم
Artinya :” Muwalaah (dukungan dan pengangkatan atas non muslim) yang dilarang adalah : yang di dalamnya ada unsur tipuan dan penistaan agama, atau mengganggu dan merugikan kaum muslimin, dan mengapus kemaslahatan mereka ” (Tafsir Al-Wasith)
Sehingga, muwalah atau dukungan dengan syarat bermanfaat bagi umat dan agama, tidak termasuk muwalah yang disebutkan dalam ayat di atas.
Kedua : Imam Fakhruddin – Arrozi dalam Tafsir Mafatihul Ghoib, ketika menafsirkan ayat di atas mengungkapkan bahwa : Yang dilarang adalah menjadikan Non Muslim pemimpin mutlak (sendiri) tanpa ada orang beriman di sana. Beliau menyatakan :
لم لا يجوز أن يكون المراد من الآية النهي عن اتخاذ الكافرين أولياء بمعنى أن يتولوهم دون المؤمنين، فأما إذا تولوهم و تولوا المؤمنين معهم فذلك ليس بمنهي عنه
Mengapa tidak boleh jika yang dimaksudkan (pelarangan) dalam ayat adalah menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, artinya : mengangkat mereka tanpa mengangkat orang mungkin. Jika mengangkat non muslim dan pada saat yang sama juga mengangkat orang mukmin bersamanya, maka hal tersebut tidaklah dilarang.
Ungkapan di atas menunjukkan, sekiranya seorang muslim mengangkat non muslim untuk jabatan tertentu tetapi mereka juga mengangkat orang muslim bersamanya, maka hal itu tidak termasuk yang dilarang dalam ayat.
Ketiga, Imam Al-Mawardy dalam Ahkam Sultoniyah[ii] menyebutkan :
و يجوز أن يكون هذا الوزير من أهل الذمة و إن لم يجز أن يكون وزير التفويض منهم
” dan boleh jika kementrian ini (tanfidz) dipegang oleh ahlu dzimmah (non muslim), meskipun tidak boleh bagi mereka menduduki kementrian tafwiidh.”
Di dalam ahkam sulthoniyah bab wizaroh (kementrian), Imam Mawardi membagi pos kementrian menjadi dua bagian utama, yaitu wizarotu tanfidz (kementrian pelaksana) dan wizarotu tafwidh (kementrian pendelegasi). Dimana diantara keduanya terdapat sejumlah persamaan dan perbedaan. Secara ringkas, kementrian tafwidh mempunyai wewenang lebih besar khususnya dalam hal-hal yang sangat strategis seperti pengadilan, peperangan dan baitul mal.
Keempat: Dr. Yusuf Qardhawi dalam dua bukunya[iii] menyebutkan secara spesifik persoalan ini. Dalam kitab Ghoiril muslimin fi mujtamak muslim, beliau mengatakan :
“و لأهل الذمة الحق في تولى وظائف الدولة كالمسلمين، إلا ما غلب عليه الصبغة الدينية كالإمامة و رئاسة الدولة و القيادة في الجيش، و القضاء بين المسلمين، و الولاية على الصدقات، و نحو ذلك.
“dan bagi ahli dzimmah (ada) hak dalam menjabat posisi-posisi dalam negara sebagaimana halnya kaum muslimin, kecuali pada jabatan-jabatan yang lebih dominan unsur keagamannya, seperti: imamah (khilafah), kepala negara, panglima militer, hakim, dan yang mengurusi sedekah, dan yang semacamnya”
Beliau melanjutkan :
و ما عدا ذلك من وظائف الدولة فيجوز إسناده إلى أهل الذمة، إذا تحققت فيهم الشروط التي لا بد منها، من الكفاية و الأمانة و الإخلاص للدولة.
“dan jabatan selain itu (yang disebutkan tadi) yang termasuk jabatan-jabatan dalam sebuah negara, maka boleh disandarkan pada ahlu dzimmah, jika terpenuhi syarat-syaratnya pada diri mereka, seperti: kemampuan, amanah, dan loyal pada negara”
Dalam tulisan yang lain, [iv] Dr. Qaradhawi menyebutkan :
و لا مانع من أن يكون أحد نائبي الرئيس، أو نوابه من غير المسلمين، و خصوصا إذا كانت الأقلية غير المسلمة كبيرة، كما هو حاصل في السودان اليوم/
“Tidak ada larangan jika salah satu dari dua wakil presiden atau dari beberapa wakilnya adalah berasal dari non muslim, khususnya jika jumlah minoritas non muslimnya cukup besar. Sebagaimana pula terjadi di Sudan.”
Kelima, Imam Syahid Hasan Al-Banna juga telah memprediksikan kemungkinan pengangkatan non muslim dengan syarat-syarat tertentu. Dalam Majmuatur Rosail, bab Risalatu Ta’alim[v], setelah berbicara tentang syarat-syarat pemerintahan islam (hukumah islamiyah) yang terdiri dari kaum muslimin yang komitmen dengan kewajiban agama, beliau menyatakan :
و لا بأس أن نستعين بغير المسلمين عند الضرورة، في غير مناصب الولاية العامة،
Dan tidak mengapa meminta bantuan kepada non muslim dalam kondisi darurat, dalam jabatan-jabatan yang bukan kepemimpinan umum.”
Munaqosyah Adillah:

1- Para Ulama yang membolehkan pengangkatan non muslim pada posisi tertentu senantiasa memberikan batasan dan syarat tertentu, sebagaimana Imam Mawardi mengistilahkan ada wizarotu tanfidz yang berbeda kewenangan dengan wizarotu tafwidh. Begitula pula Qardhawi yang mensyaratkan tidak pada posisi-posisi strategis yang berhubungan dengan keagaaman secara dekat, seperti: imamah sholat, hakim, militer dan baitul maal. Maka jika kita lihat dengan lebih objektif, sesungguhnya posisi kepala daerah, dengan sendirinya mempunyai keterbatasan dan keterikatan tertentu.

2- Dengan logika yang sederhana, sesungguhnya para ulama yang membolehkan pengangkatan non muslim menduduki jabatan tertentu yang cukup strategis, mereka berbicara dalam konteks menjalankan negara islam, pemerintahan islam, bahkan khilafah islamiyah. Ini artinya, dalam kondisi ‘berkuasa penuh’ pun, masih begitu fleksibel dengan membuka kesempatan dalam keterlibatan non muslim. Jika dilihat dalam konteks kekinian, dimana pemerintahan islam belumlah terbentuk, dimana bargaining kekuatan politik islam masih sangat rendah, maka tentu opsi bekerja sama dan pengangkatan non muslim dalam jabatan tertentu seharusnya lebih terbuka dan fleksibel.

Kesimpulan : Pengangkatan non muslim dalam kepemimpinan strategis sebagaimana disebutkan dalam tingkatan kedua adalah boleh, dengan melihat secara jelas maslahat yang akan di dapat oleh kaum muslimin, serta terpenuhi syarat -syarat secara khusus. Begitu pula, kebolehan tersebut semakin terbuka jika yang diangkat bukan non muslim seorang, tetapi bersamanya atau didampingin dengan seorang muslim, sebagaimana disebutkan oleh imam Fahrudin Ar-Rozi dalam tafsirnya.
KEDUA : TENTANG KERJA SAMA dan MEMINTA BANTUAN dengan NON MUSLIM
Lebih mengerucut dalam konteks Pilkada Solo, untuk memahami hakekat posisi kepala daerah dan wakilnya, bisa kita lihat dalam cuplikan berita sebagai berikut:
Sambas – Para Wakil Kepala Daerah (Wakada) menggugat mereka tidak mau lagi hanya menjadi ban serep ketika kepala daerah berhalangan. Gugatan itu mengemuka pada acara Lokakarya dan Pertemuan Nasional (LPN) pra wakil kepala daerah se-Indonesia di Bengkulu yang digelar selama tiga hari, 15-17 Juni 2007, yang menghasilkan rekomendasi agar pemerintah segera melakukan amandemen terhadap UU 32/2003 tentang Pemerintahan Daerah. (HARIAN PELITA)
Begitu pula, jika dicermati lebih jauh sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku, maka akan kita dapati bahwa TUGAS dan WEWENANG WAKIL WALIKOTA itu diatur dalam sebuah PERATURAN WALIKOTA yang ditandatangani oleh walikota. Ini artinya, dalam bahasa sederhana sesungguhnya yang terjadi adalah Walikota sedang bekerja sama dengan WAKIL WALIKOTA atau meminta bantuan kepada WAKIL WALIKOTA dalam menjalankan tugasnya.
Sehingga akan sangat berbeda secara efek ideologis dan syar’i, mendukung non muslim menjadi pemimpin (walikota), dengan mendukung WALIKOTA MUSLIM yang bekerja sama atau meminta bantuan kepada non muslim.
Dalam bahasan fiqh seputar istianah bil kufar (meminta bantuan pada orang kafir) jumhur ulama selain Malikiyah mengatakan KEBOLEHANNYA, sekalipun dalam kondisi berperang dengan dua syarat: kondisi yang membutuhkan dan bisa dipercaya.
مذهب الجمهور (الشافعية و الحنابلة و الأحناف) : قالوا يجوز الاستعانة بالكفر في الحرب بشرطين: أولا: الحاجة إليهم، و ثانيا: الوثوق من جهتهم.
Dalam bahasan siroh, akan kita temukan banyak lagi bentuk fiil Rasulullah SAW dalam beristi’anah dengan non muslim, misalnya :
• Peristiwa Hijrah, dengan Abdullah bin Uraiqith dan Suroqoh
• Bekerja sama dengan Yahudi bani Qainuqo di awal pemerintahan Madinah
• Bekerja sama dengan Sofwan dalam sebuah peperangan besar
KETIGA : REALITAS KEKINIAN DUNIA ISLAM. PENGANGKATAN NON MUSLIM ADALAH SEBUAH HAL YANG SUDAH TERJADI DENGAN IJTIHAD-IJTIHAD KONTEMPORER

Ketika kita masih berbicara pengangkatan non muslim untuk jabatan Walikota dan wakil walikota, sesungguhnya di luar sana hal ini sudah merupakan realitas kekinian yang dihadapi dunia Islam bahkan juga harakah Islam. Bukan hanya dalam konteks pemimpin lokal tetapi dalam konteks negara Islam dan mayoritas muslim. Dua diantaranya layak mendapatkan perhatian :

1. Negara Sudan, yang sejak dua dasawarsa memberlakukan syariat Islam dalam seluruh perundang-undangannya. Jelas-jelas memiliki wakil presiden non Muslim berasal dari minoritas kristen di daerah Selatan.

2. Negara Suriah, pernah mempunyai seorang PM yang berasal dari minoritas Kristen, bernama Faris Al-Khuury. Uniknya -sebagaimana dikatakan Qardhawi- termasuk PM yang paling sukses, berhasil bekerja saja dengan mentri-mentri dari kaum muslimin, bahkan sebagian besar kaum muslimin Suriah puas dengannya. Dan ia dikenal sebagai PM kristen yang paling yakin dengan syariat Islam sebagai solusi.

Jika kita pandang dari sudut syariah, ini membuktikan adanya ijtihad-ijtihad kontemporer dalam masalah ini, dimana tidak setiap dukungan dan pengangkatan non muslim selalu dihubungkan dengan pelanggaran syar’i dan doktrin ideologi.
KEEMPAT : MENDUKUNG YANG BERPOTENSI UNGGUL ADALAH BENTUK IHSAN DALAM MEMENANGKAN AGENDA UMAT
Salah satu ajaran utama Islam adalah berlaku ihsan / optimal dalam segala sesuatunya.
Allah berfirman dalam surat Al-Mulk:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
“Yang menciptakan hidup dan mati untuk mengujimu yang mana diantara kalian yang paling ihsan amalnya”(QS Al-Mulk 2)
Begitupula Hadits Rasulullah SAW, beliau bersabda :
إن الله كتب الإحسان على كل شيئ
“Sesungguhnya Allah SWT mewajibkan berlaku ihsan dalam segala sesuatunya” (HR Muslim, Tirmidzi)
Dalam perspektif syar’i, salah satu tujuan musyarokah (partisipasi politik) adalah amar makruf nahi munkar, atau sebagaimana disebutkan oleh Imam Hasan Al-Banna , yaitu sebagai upaya sebagai islahul hukumah. Tentu saja ini sejalan dengan hadits Rasul SAW yang menyatakan agama adalah nasihat, dimana disebutkan salah satunya adalah nasihat bagi pemimpin kaum muslimin.
Untuk membuka peluang yang efektif dalam amar makruf nahi munkar dan menasehati pemimpin, atau mencegah kezaliman yang telah dan akan dilakukan (unsur akhoka dzholiman au madzluman) maka secara realitas politik itu dapat dipenuhi jika sejak awal kita mendukung pasangan yang berpotensi menang. Tanpa adanya dukungan sejak awal, maka kemungkinan nasehat dan amar makruf tetap ada, tetapi sangat kecil atau bahkan tertutup. Sehingga pada titik ini, sesungguhnya melakukan kalkulasi kekuatan, survei lapangan, dan pada akhirnya mendukung yang paling berpotensi unggul, adalah bagian dari berbuat ihsan dalam memenangkan agenda islahul hukumah. Wallahu a’lam
KELIMA : TENTANG KAIDAH MASLAHAT DAN MADHOROT
Dalam menentukan pilihan politik, senantiasa harus berlandaskan pertimbangan yang jelas tentang kemanfaatan untuk umat yang bisa diperoleh karenanya. Imam Qurthubi dalam penafsiran ayat ‘muwalah’, beliau menyebutkan larangan memilih non muslim bersifat umum, lalu beliau melanjurkan :
و أقول: إن كانت في ذلك فائدة محققة فلا بأس به.
“Seandainya di dalamnya ada manfaat yang jelas terealisasi, maka tidak mengapa dengan itu (mengangkat non muslim) ” (Al-jami li ahkamil quran)
Karenanya, sebagai implementasi dari maqoshid syariah, dalam menimbang segala sesuatunya tentu harus mempertimbangkan aspek maslahat dan madhorot. Dalam syarat menentukan maslahat disebutkan oleh ulama Ushul fiqh salah satunya adalah :
أن تكون مصلحة حقيقة و ليست مصلحة وهمية
“Hendaknya maslahat benar-benar bisa diperhitungkan terjadi bukan hanya menduga-duga ”
Begitu pula dalam madhorot, tidak bisa hanya diperkirakan dengan asumsi-asumsi tanpa perhitungan yang jelas. Maka mungkin saja dalam konteks PILKADA banyak asumsi dan perkiraan dimunculkan seputar maslahat dan madhorot ketika mendukung salah seorang pasangan. Dalam hal ini semua pihak bisa memakai kaidah yang sama seputar maslahat dan madhorot, semua bisa mengasumsikan dan mengklaim ini adalah madhorot dan ini adalah maslahat.
Karenanya, kembali pada syarat di atas MASLAHAT haruslah jelas dan diperhitungkan terjadi. Untuk itulah dalam proses musyarokah dan dukungan PILKADA, haruslah diupayakan adanya KONTRAK POLITIK yang bisa menjadi sarana untuk mendekatkan pada MASLAHAT yang diperhitungkan, serta pada saat yang sama menjauhkan dan mencegah dari MADHOROT. Tanpa adanya kontrak politik yang jelas, pertimbangan maslahat dan madhorot menjadi sangat debatable, atau dalam bahasa ushul fiqh :” wahmiyath” . Wallahu Alam
PENUTUP:
Akhirnya, semua yang kami bahas di sini adalah tidak lebih dari analisa syar’i sederhana yang -sesuai kemampuan kami- saat ini cukup kami yakini kebenarannya. Tetapi, tentu saja tidak menutup kemungkinan adanya pandangan lain, analisa lain yang lebih benar dan meluruskan apa yang kami tulis ini. Hanya kepada Allah lah kami meminta ampunan atas kesalahan dan kekeliruan kami dalam tulisan ini.
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ ۚ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ ۚ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama Aku masih berkesanggupan. dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah Aku bertawakkal dan Hanya kepada-Nya-lah Aku kembali” (Hud 88).
Solo, 11 Shofar 1431 H
Dewan Syariah Daerah (DSD)
Partai Keadilan Sejahtera Kota Surakarta
[i] Ahkam Ahlu Dzimmah, Ibnul Qoyyim al-Jauzi (2/414)
[ii] Ahkam Sultoniyah, Imam Mawardi (1/45)
[iii] Ghoirul Muslimin fi Mujtama’ Muslim, dan Ahkam Aqolliyat
[iv] Makalah ” Ad-Din wa Siyasah” yang dipresentesaikan dalam Pertemuan ke 15 Majlis Fatwa Eropa tahun 2005
[v] Majmuatur Rosail, Imam Syahid Hasan Al-Banna, Risalatu Ta’alim

Tafsir Lain dari Al Maidah 51 PCINU Amerika-Kanada



Tafsir Lain dari Al Maidah 51

Oleh: Akhmad Sahal, Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika-Kanada

Benarkah memilih pemimpin non muslim haram? Setidaknya begitulah pendapat sebagian kalangan Islam seperti yang mengemuka dalam kisruh isu SARA di pemilukada DKI akhir-akhir ini. Dalil Al-Qur’an yang mereka pakai di antaranya adalah surah Ali Imran 28 dan Al Ma’idah 51. Dalam terjemahan Indonesia, ayat terakhir berbunyi: “Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Kata “pemimpin-pemimpin” pada ayat di atas adalah terjemahan dari kata auliya’. Pertanyaannya, tepatkah terjemahan tersebut? Coba kita telusuri terjemahan ayat ini dalam bahasa Inggris. Yusuf Ali dalam The Meaning of the Holy Qur’an menerjemahkan auliya’ dengan friends and protectors (teman dan pelindung). Muhammad Asad dalam The Message of the Qur’an dan M.A.S Abdel Haleem dalam The Qur’an sama-sama menerjemahkannya dengan allies (sekutu). Bagaimana dengan penerjemah Inggris yang lain? Muhammad Marmaduke Pickthal dalam The Glorious Qur’an mengalihbahasakan kata auliya’ menjadi friends. Begitu juga N.J. Dawood dalam The Koran dan MH. Shakir dalam The Qur’an. Sedangkan berdasar The Qur’an terjemahan T.B. Irving, auliya’ diartikan sebagai sponsors.

Walhasil, tak satupun terjemahan Inggris yang saya sebutkan tadi mengartikan auliya’ sebagai “pemimpin.” Dan secara bahasa Arab, versi terjemahan Inggris ini agaknya lebih akurat. Perlu diingat, kata auliya’, bentuk plural dari waliy, bertaut erat dengan konsep wala’ atau muwalah yang mengandung dua arti: satu, pertemanan dan aliansi; kedua proteksi atau patronase (dalam kerangka relasi patron-klien).

Karena itulah agak mengherankan ketika dalam terjemahan Indonesia pengertian auliya’ disempitkan, kalau bukan didistorsikan, menjadi “pemimpin”, yang maknanya mengarah pada pemimpin politik. Bisa jadi karena kata tersebut dianggap berasal dari akar kata wilayah, yang memang artinya kepemimpinan atau pemerintahan.

Selintas masuk akal. Tapi kalau kita perhatikan lebih teliti, akan kelihatan bahwa anggapan ini tidak tepat. Mengapa? Kalau memang kata auliya’ bertolak dari kata wilayah, mestinya kata itu disertai dengan preposisi ‘ala. Dengan begitu, kalau QS 5:51 berbunyi ba’dhuhum auliya’ ‘ala ba’dh, auliya’ pada ayat tersebut bermakna pemimpin.Tapi ternyata redaksi ayat tersebut berbunyi ba’dhuhum auliya’u ba’dh, tanpa kata ‘ala setelah auliya’. Jadi tidak pas kalau akar katanya wilayah. Yang tepat, seperti sudah saya sebut di atas, adalah wala.’ Singkat kata, penerjemahan auliya’ sebagai pemimpin terbukti tak berdasar.

Lantas bagaimana kita mesti memahami ayat wala’ seperti QS 5:51 dan QS 3:28 yang secara harfiah melarang kaum mu’min untuk menjalin pertemanan dan aliansi dengan kaum non muslim, apalagi minta perlindungan dari mereka? Apakah ini larangan yang berlaku mutlak atau situasional? Memahami ayat tersebut secara leterlek dan berlaku mutlak di manapun dan kapanpun akan sangat bermasalah. Ada tiga alasan.

Pertama, makna harfiah ayat itu bertentangan dengan ayat lain yang justru menyatakan kebalikannya. Misalnya ayat yang menghalalkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan Yahudi atau Kristen. Dalam ayat yang sama juga ditegaskan bolehnya kaum muslim untuk memakan makanan mereka, dan sebaliknya (Q 5:5) Selain itu, ada juga ayat lain yang menegaskan bahwa Allah tidak melarang umat Islam untuk “berbuat baik dan berlaku adil” terhadap pemeluk agama lain yang tidak memerangi mereka dan mengusir dari tanah kelahiran mereka (QS: 8).

Kedua, Nabi sendiri pernah menjalin aliansi dan meminta perlindungan dari kalangan non Muslim. Kita ingat cerita hijrah para Sahabat ke Abessina (Habasyah) yang saat itu diperintah oleh seorang raja Kristen. Kisah ini menunjukkan bahwa Nabi pernah meminta perlindungan kepada non muslim. Ketika di Madinah, Rasulullah memelopori pakta aliansi dengan komunitas Yahudi kota itu dalam bentuk Piagam Madinah. Bahkan pada level personal, Nabi bermertuakan orang Yahudi, yakni dari istrinya Sofiah binti Huyai.

Ketiga, kalau QS 3:28 dan QS 5:51 dipahami secara harfiah dan mutlak, lalu bagaimana dengan pendirian Republik Indonesia yang dalam arti tertentu merupakan hasil kerjasama antara kaum muslim dengan pemeluk agama lain? Kasus lain: bagaimana dengan keterlibatan negara-negara Islam di PBB yang nota bene terdiri dari banyak negara non muslim sedunia? Bagaimana pula dengan Saudi Arabia, negara yang tak mungkin berdiri tanpa sokongan dari imperialisme Inggris untuk menghancurkan Khilafah Utsmaniyah pada awal abad 20? Sampai sekarang pun kita tahu Saudi mendapat perlindungan dari Amerika Serikat. Bukankah semua itu termasuk dalam kategori menjadikan non muslim sebagai auliya’? Berarti haram? Oh alangkah absurdnya jalan pikiran semacam ini.

Karena itulah ayat tersebut mesti ditafsirkan secara kontekstual. Penerapannya pun tak bisa sembarangan. Di sini ada baiknya saya mengutip Rashid Rida. Menurutnya, ayat-ayat pengharaman aliansi dengan meminta proteksi dari non muslim sejatinya hanyalah berlaku untuk non muslim yang nyata-nyata memerangi kaum muslim. Aliansi yang dilarang juga yang nyata-nyata merugikan kepentingan umat Islam (Tafsir Al Manar, Vol.3, 277).

Pandangan Rida ini juga sejalan dengan pendapat Fahmi Huwaydi, pemikir Islam kontemporer dari Mesir. Dalam karyanya Muwathinun La Dimmiyyun (Warga Negara, Bukan Dzimmi) Huwaydi menyatakan bahwa Islam sejatinya tidak melarang umatnya untuk membangun solidaritas kebangsaan yang berprinsip kesetaraan dengan non muslim, khususnya Kristen Koptik di Mesir. Ayat wala’/muwalah, di mata Huwaydi, mestinya tidak dilihat sebagai larangan terhadap solidaritas semacam itu. Ayat 5: 51, misalnya, sebenarnya diarahkan kepada kaum munafiq yang ternyata membantu pihak non muslim yang kala itu berperang dengan umat Islam.

Dengan kata lain, dalam pandangan Rashid Rida dan Fahmi Huwaydi, QS 3:28 dan QS 5:51 tidak berlaku secara mutlak, melainkan situasional. Artinya, larangan menempatkan non muslim sebagai sekutu atau protektor hanya berlaku manakala pihak non muslimnya jelas-jelas memerangi umat Islam. Adapun jika mereka tidak seperti itu, maka berarti larangan tadi otomatis tidak berlaku.

Menarik untuk dicatat, argumen Rida dan Huwaydi ini sebenarnya bisa dipakai juga untuk membantah klaim sejumlah kalangan Islam yang bergeming untuk memaknai kata auliya’ dalam QS 3:28 dan 5:51 dengan bersandar pada terjemahan Indonesia yang saya kutip di awal tulisan, yakni sebagai “pemimpin.” Dengan demikian, mereka tetap ngotot untuk mengharamkan memilih pemimpin non-muslim. Terhadap mereka kita bisa katakan bahwa ayat tersebut tidaklah berlaku mutlak melainkan situasional. Artinya, larangan menjadikan non-muslim sebagai pemimpin berlaku manakala si non muslim tersebut nyata-nyata memerangi umat Islam. Di luar itu, larangan tersebut tidak berlaku.

Tapi lepas dari itu, kalaupun auliya’ tetap diartikan sebagai “pemimpin,” penerapan QS 3:28 dan 5:51 untuk konteks Indonesia modern juga salah sasaran. Perlu diingat, negara kita berbentuk republik yang menerapkan demokrasi langsung, sesuatu yang sama sekali tidak dikenal dalam sistem politik Islam klasik. Dalam sistem politik Islam klasik yang lazimnya berbentuk kerajaan, otoritas kepemimpinan yang dipegang khaliafah didasarkan pada legitimasi kuasa dari Tuhan, bukan dari rakyat. Pemimpin dianggap sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, dengan kekuasan yang absolut. Tidak ada yang namanya pembagian kekuasaan ala Trias Politica sehingga sang pemimpin memegang kekuasaan tertinggi dalam ranah legislatif, eksekutif, dan yudikatif sekaligus. Dengan kata lain, kepemimpinan dengan model “Daulat Tuanku.”

Ini secara diametral berbeda dengan sistem republik yang menganut asas kepemimpinan bersendi “Daulat Rakyat.” Di sini pemimpin bukanlah pemegang kedaulatan tertinggi, karena legitimasinya justru berasal dari rakyat yang memberinya mandat melalui pemilu. Kekuasaannya tidak tak terbatas, karena ia bekerja dalam sistem demokrasi yang menerapkan pembagian kekuasaan. Dalam sistem semacam ini, presiden atau gubernur hanyalah pemegang kuasa eksekutif saja alias “hanya” pelaksana. Sebagai pemimpin, ia hanya berkuasa sepertiga.

Dengan demikian, kalau memang pemimpin non-muslim hukumnya haram, mestinya penerapannya untuk konteks negara kita bukan hanya berlaku untuk lembaga eksekutif saja, melainkan juga legislatif dan yudikatif. Ini karena kepemimpinan dalam sistem republik modern bukanlah bersifat personal melaiankan kolektif dan sistemik. Tapi kalau itu dilakukan, maka sejatinya yang diharamkan bukan hanya memilih pemimpin non muslim, melainkan juga bisa mengarah pada pengharaman terhadap republik kita.

Hal lain, kalau memang dipimpin oleh non Muslim hukumnya haram, bagaimana dengan umat Islam yang menjadi warga negara di India, Amerika atau Eropa? Apakah mereka semuanya berdosa hanya karena jadi warga negara di negara-negara yang dipimpin oleh non muslim? Apakah para pemain bola seperti Zinedine Zidane, Mesut Oziel, Sami Khedira, Samir Nasri, Ibrahim Afellay, yang semuanya dipimpin oleh presiden atau perdana menteri non muslim, harus hijrah ke negara orang tuanya masing-masing di Timur Tengah?

Dengan paparan di atas, saya ingin menunjukkan bahwa wacana pengharaman pemimpin non-muslim bukan hanya berbahaya karena membawa kita berkubang dalam isu SARA yang berpotensi memecah belah Indonesia. Yang tak kalah problematis, wacana tersebut ternyata tidak punya pijakan yang kokoh dari kacamata Islam itu sendiri, karena pedomannya adalah terjemahan ayat secara tidak akurat, penafsiran yang sempit, dan penerapan yang salah alamat.

*Dimuat di Majalah TEMPO, Edisi 16 Agustus 2012

Saatnya Membaca Kitab Tafsir atas Al-Maidah Ayat 51


Hari-hari ini publik di Tanah Air dihadirkan dengan polemik tentang makna yang tersimpan di dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 51. Biasanya sebagian kelompok menggunakan ayat ini secara “politis” untuk mengharamkan kepemimpinan non-muslim. Apalagi di saat musim pemilihan kepala daerah, ayat ini makin populer digemakan di masjid-masjid dan forum-forum keagamaan lainnya. Apa sebenarnya makna yang terkandung di dalam ayat tersebut?

Saya melakukan penelusuran terhadap beberapa kitab tafsir yang otoritarif untuk memahami konteks dan menyerap makna yang terkandung di dalam ayat tersebut. Di antaranya Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran karya al-Thabari (w. 310 H.), Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Quran karya al-Qurthubi (w. 671 H.), Tafsir Mafatih al-Ghayb karya al-Razi (w. 606 H.), Tafsir al-Quran al-Karim karya Ibnu Katsir (w. 774 H.), Tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari (w. 538 H.), Tafsir al-Quran karya Ibn ‘Abd al-Salam (w. 660 H.), Tafsir al-Mizan fi Tafsir al-Quran karya al-Thabathabai (w. 1401 H), dan Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu ‘Ashur (w. 1393 H).
Seluruh kitab tafsir menjelaskan secara gamblang peristiwa-peristiwa yang dapat dikonfirmasi sebagai sebab-sebab turunnya ayat tersebut (asbab al-nuzul).
Ayat ini ditengarai turun sesudah Perang Badar, yaitu perang akbar yang dimenangkan oleh Rasulullah SAW dan pasukannya. ‘Ubadah bin al-Shamit mengisahkan pertemanannya dengan orang-orang Yahudi, namun ia memilih untuk setia kepada Rasulullah SAW. Sementara Abdullah Ubay bin Salul juga menceritakan pertemanannya dengan orang-orang Yahudi dan setia kepada mereka, karena khawatir akan datang musibah jika bersekutu dengan mereka. Kemudian Allah SWT menurunkan ayat 51 surat al-Maidah, yang secara eksplisit melarang pertemanan dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Ibnu ‘Abd al-Salam secara sederhana menjelaskan bahwa ‘Ubadah menolak berteman dan bersekutu dengan orang-orang Yahudi, karena mereka memusuhi umat Islam. Sedangkan Abdullah bin Ubay masih setia dengan orang-orang Yahudi, karena ia menghindari datangnya musibah yang lebih besar jika berpisah dengan mereka.
Di dalam kisah lain, disebutkan ayat tersebut turun saat Bani Qaynuqa’ memerangi Rasulullah SAW. Ada yang menyatakan ayat tersebut turun setelah peristiwa Perang Uhud, di mana umat Islam kalah dalam peperangan. Sebagian dari mereka meminta perlindungan kepada orang Yahudi dan sebagian lagi meminta perlindungan kepada orang-orang Nasrani. Ada pula yang menyatakan bahwa ayat ini diturunkan kepada Abu Lubabah yang diutus ke Bani Quraydzah.
Hampir tak ada perbedaan para ulama perihal penjelasan tentang peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Intinya, ayat ini turun dalam situasi perang.
Al-Thabari, al-Zamakhsyari, dan al-Qurthubi sebagai ulama tafsir paling awal cenderung bersikap keras dalam menafsirkan ayat ini dengan menyatakan larangan untuk berteman dan bersekutu dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Namun Imam al-Razi menafsirkan lain, bahwa yang dimaksud ayat tersebut yaitu larangan bagi umat Islam untuk meminta tolong kepada orang-orang Yahudi dan Kristen untuk meraih kemenangan dalam perang.
Ibnu Katsir mempunyai pandangan yang lain pula, bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani yang dilarang untuk dijadikan teman adalah mereka yang jelas-jelas sudah teridentifkasi sebagai musuh Islam.
Yang menarik dari sekian pandangan tersebut adalah tafsir al-Thabathabai yang secara panjang lebar menyelami makna yang tersurat dan tersirat di dalam surat al-Maidah ayat 51. Maklum, kitab tafsir ini tergolong kontemporer dan mengurai makna secara mendalam ayat tersebut.
Menurut al-Thabathabai, ayat ini diturunkan di Madinah sebelum Haji Perpisahan Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan “al-wilayah” dalam ayat ini yaitu persekutuan yang disertai dengan cinta (al-mahabbah). Ia berbeda dengan pandangan para ulama tafsir lain yang cenderung memahami “wilayah” dalam konteks persekutuan yang bersifat temporal (al-nushrah). Ayat ini sebenarnya lebih khusus turun dalam hal persekutuan dengan orang-orang Yahudi, bukan orang-orang Kristen.
Sementara Ibnu ‘Ashur menguraikan bahwa larangan berteman dan bersekutu dengan orang-orang Yahudi, karena mereka ingin memperdayakan orang-orang Islam. Adapun larangan berteman dengan orang-orang Kristen dalam ayat tersebut agar tidak ada pandangan yang memperbolehkan pertemanan dengan orang-orang Kristen jika mereka melakukan tipu daya terhadap orang-orang Islam.
Meskipun demikian, Ibnu ‘Ashur juga menggarisbawahi, di dalam ayat lain justru ditegaskan bahwa orang-orang Kristen mempunyai kedekatan orang-orang Islam. Allah SWT berfirman, Dan sungguh kamu mendapatkan orang-orang yang lebih dekat dengan orang-orang mukmin, yaitu mereka yang menyatakan sesungguhnya kami Kristen (QS. Al-Maidah: 82).

Beberapa penjelasan para mufassir di atas semakin nyata bahwa ayat 51 surat al-Maidah mesti dipahami dalam konteks perang pada zamannya. Dalam situasi perang berlaku hukum kehati-hatian agar bisa mengidentifikasi lawan. Karena itu, ayat tersebut berisi perintah larangan keras agar memutus persekutuan dengan orang-orang Yahudi dan Kristen. Sementara dalam situasi damai berlaku hukum toleransi dan harmoni, seperti yang kita lihat di tengah kebhinekaan agama, suku, dan bahasa di negeri ini.
Ayat tersebut juga tidak ada kaitannya dengan kepemimpinan. Yang dimaksud al-wilayah dalam ayat tersebut adalah pertemanan atau persekutuan, bukan kepemimpinan. Bahkan, kepemimpinan dalam konteks demokrasi modern sudah jauh lebih maju. Pemimpin dipilih oleh rakyat berdasarkan rekam jejak, ketegasan, kemampuan, dan kejujujuran. Rakyat adalah pemimpin yang sesungguhnya.
Dalam bidang kepemimpinan, saya mengikuti pandangan yang lazim dari para ulama al-Azhar. Di antaranya Dr. Gamal Farouq, Dekan Fakultas Dakwah Universitas al-Azhar, bahwa dalam urusan publik, pemimpin yang lebih mampu memberikan pelayanan publik yang baik dan menyejahterakan rakyat harus diutamakan, meski dia non-muslim.

Penulis Zuhairi Misrawi 
http://geotimes.co.id/membaca-kitab-tafsir-atas-al-maidah-ayat-51/

Tuesday, June 28, 2016

Ibnu Katsir Membungkam Wahhaby (I) : Tafsir ayat Mutasyabihat Yad (tangan)

Ibnu Katsir Membungkam Wahhaby (I)
TIK 4  COVER
– Ayat Mutaysabihat tentang Lafadz Tangan / yad (kata tunggal/ single)/ aidin (jamak/plural).
– Ahlusunnah Tidak Mengambil Makna Dhahir ayat mutasyabihat
I.  Wahhaby mengelirukan makna “tafsir”  dengan “ta’wil”
Ilmu- yang harus dimilki oleh orang yang ingin menjadi ahli tafsir alqur’an. Disamping harus mengusai 14 cabang ilmu lainnya seperti ilmu lughah, nahwu, saraf, balaghah, isytiqoqo, ilmu alma’ani, badi’, bayan, fiqh, aqidah, asbabunuzul, nasikh mansukh, ilmu qiraat, ilmu hadits, usul fiqah ( hukum-hukum furu’) dan ilmu mauhub ( fadhilah alqur’an, syaikh maulana zakariyya).
Kenapa perlu ilmu aqidah dalam hal ini tahu sifat-siafat Allah yang wajib, sifat yang mustahil dan sifat yang jaiz (boleh/harus) bagi Allah? Karena banyak ayat mutasyabihat yang tidak boleh mengambil makna dhahir (explisit) dari ayat itu, tapi menggunkan makna implisit dari lafadz tersebut. Jadi ta’wil adalah salah satu cara untuk mentafsir Al-qur’an.
apakah WAHABY  masih bersikeras menggunakan makna dhahir pada ayat/hadist mutasyabihat ini ?
coba lihat tafsir ayat berikut


– ”Nasuullaha fanasiahum” (QS Attaubah:67),
Artinya : Mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka (QS Attaubah:67),
– ”Innaa nasiinaakum” (QS Assajadah 14).
Artinya : (sungguh kami telah lupa pada kalian ( QS Assajadah 14)
Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman :
”Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul ’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits no.2569)
II. Ahlusunnah Tidak Mengambil Makna Dhahir ayat mutasyabihat
Ahlusunnah TIDAK MENERIMA MAKNA DHOHIR ayat atau hadits mutasyabihat (ta’wil) tapi juga TIDAK MERUBAH LAFADZ AYAT/HADIST (TASHRIF) , karena merubah lafadz ayat atau hadits adalah haram dan dilarang. Al Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H) dalam al Burhan al Muayyad berkata: “Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran”.
Ta’wil disni  berarti menjauhkan makna dari segi zahirnya kepada makna yang lebih layak bagi Allah, ini kerana zahir makna nas al-Mutasyabihat tersebut mempunyai unsur jelas persamaan Allah dengan makhluk. Dalil melakukan ta’wil ayat dan hadis  mutasyabihat:
Rasulullah berdoa kepada Ibnu Abbas dengan doa:
dalil ta'wil ibnu abbas
Maknanya: “Ya Allah alimkanlah dia hikmah dan takwil Al quran” H.R Ibnu Majah. (Sebahagian ulamak salaf termasuk Ibnu Abbas mentakwil ayat-ayat mutasyabihah)
Masalah ayat/hadist mutasyabihat  dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat dalam menafsirkannya.
1.Pendapat Tafwidh ma’a tanzih (Ta’wil ijtimaly)
2.Pendapat Ta’wil (Ta’wil Tafsilly)
Keterangan :
1. Madzhab tafwidh ma’a tanzih yaitu mengambil dhahir lafadz dan menyerahkan maknanya kpd
Allah swt, dg i’tiqad tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan).
Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu;minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dg hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yg juga di pegang oleh Imam Abu hanifah.
Pendapat ini dikenal juga dengan TA’WIL IJTIMALY iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya. Sebagai contoh perkataan istawa dikatakan istawa yang layak bagi Allah dan waktu yang sama dinafikan zahir makna istawa kerana zahirnya bererti duduk dan bertempat, Allah mahasuci dari bersifat duduk dan bertempat.
dan kini muncullah faham mujjassimah yaitu dhohirnya memegang madzhab tafwidh tapi menyerupakan Allah dg mahluk, bukan seperti para imam yg memegang madzhab tafwidh.
2. Madzhab takwil yaitu menakwilkan ayat/hadist tasybih sesuai dg keesaan dan keagungan Allah
swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari,Imam Nawawi dll. (syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri)
Pendapat ini juga terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh para sahabat, tabiin dan imam imam ahlussunnah waljamaah.
Ta’wilan Tafsiliyy iaitu ta’wilan yang menafikan makna zahir nas tersebut kemudian meletakkan makna yang layak bagi Allah. Seperti istawa bagi Allah bererti Maha Berkuasa kerana Allah sendiri sifatkan dirinya sebagai Maha Berkuasa.
Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah waljamaah yg berpegang pada pendapat Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat Daf’ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy).
Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah swt, sebagaimana firman Nya : ”Maha Suci Tuhan Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan dari apa apa yg mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para Rasul, dan segala puji atas tuhan sekalian alam” . (QS Asshaffat 180-182).
III. Ayat Mutaysabihat tentang Lafadz Tangan / yad (kata tunggal/ single)/ aidin (jamak/plural)
ini adalah untuk membantah mufassir sesat dan palsu yang bernama Syaikh AsySyinqithy  al wahaby (Guru syaikh Shalih  Fauzan Al wahaby).
Bisa kita lihat dalam kamus manapun bahwa yad adalah bernakna  tangan (untuk mufrad/tunggal). Sedangkan bentuk jamaknya (plural) adalah aidin. Lihat dalam kamus bahasa arab berikut :

Kemudian kita lihat lagi Tafsir Ibnu Katsir Surat AdzDzaariyaat ayat 47 (pada yang di line merah) :



وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuatan (Tangan) dan sesungguhnya Kami benar-benar memperluasnya” (Surat AdzDzaariyaat ayat 47)


tarjamah (Scan kitab tafsir Ibnu katsir yang di line merah) :
Makna Lafadz ا بِأَيْدٍ (dengan Tangan ) adalah  kekuatan. Yang mengatakan seperti ini adalah Ibnu abbas, mujahid, qatadah,  atsauri dan selainnya”


jadi Ibnu Abbas mengatakan: “Yang dimaksud lafadz د  (biaidin) adalah “dengan  kekuasaan“, bukan maksudnya tangan yang merupakan anggota badan (jarihah) kita, karena Allah maha suci darinya.
Lihat rujukan dalam kitab Tafsir mu’tabar :
Dalam Tafsir Qurtuby:
لَمَّا بَيَّنَ هَذِهِ الْآيَات قَالَ : وَفِي السَّمَاء آيَات وَعِبَر تَدُلّ عَلَى أَنَّ الصَّانِع قَادِر عَلَى الْكَمَال , فَعَطَفَ أَمْر السَّمَاء عَلَى قِصَّة قَوْم نُوح لِأَنَّهُمَا آيَتَانِ . وَمَعْنَى ” بِأَيْدٍ ” أَيْ بِقُوَّةٍ وَقُدْرَة . عَنْ اِبْن عَبَّاس وَغَيْره .
Dalam  Tafsir Thobary :
الْقَوْل فِي تَأْوِيل قَوْله تَعَالَى : { وَالسَّمَاء بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ } يَقُول تَعَالَى ذِكْرُهُ : وَالسَّمَاء رَفَعْنَاهَا سَقْفًا بِقُوَّةٍ . وَبِنَحْوِ الَّذِي قُلْنَا فِي ذَلِكَ قَالَ أَهْل التَّأْوِيل . ذِكْرُ مَنْ قَالَ ذَلِكَ : 24962 – حَدَّثَنِي عَلِيّ , قَالَ : ثنا أَبُو صَالِح , قَالَ : ثني مُعَاوِيَة , عَنْ عَلِيّ , عَنِ ابْن عَبَّاس , قَوْله : { وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ } يَقُول : بِقُوَّةٍ.
Dalam Tafsir Jalalain
Biquwati  (وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ)
Tarjamahannya : Lafadz BI AIDIN artinya DENGAN KEKUATAN-NYA
– kemudian dalam surat Al-Fath : 10


Lihat pada scan kitab yang di line merah :
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ……………
Tarjamahan firman Nya : ”Mereka yg berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS Al Fath 10).
Tidak ada yang menafsirkan “yad”dengan makna dhahir bahwa “tangan” . Disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yg turut berbai’at pada sahabat.
Dalam Tafsir Ibnu katsir (lihat scan kitab yang di line merah) , beliau tidak mengambil makana dhahir tangan sebagaimana yang difahami mujasimmah wahhaby dan yahudi :
makna yadullah (Tangan Allah) bermakna : Allah menyaksikan (hadhir) bersama mereka, Allah  mendengar percakapan mereka, allah melihat tempat mereka, Allah mengetahui kata Bathin (hati mereka) dan dhahir mereka maka dialah Allah Ta’ala Yang membai’at mereka dengan perantara Rasulullah SAW, seperti dalam firman Allah ta’ala:


[9:111] Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (SURAT AT TAUBAH (Pengampunan) ayat 111) )… (Tafsir Ibnu katsir, jilid 4, page 236).
Sedangkan dalam tafsir qurtubi :
Al-Qurthubi telah menukil pendapat Ibn Kisan sbb :
قِيلَ : يَده فِي الثَّوَاب فَوْق أَيْدِيهمْ فِي الْوَفَاء , وَيَده فِي الْمِنَّة عَلَيْهِمْ بِالْهِدَايَةِ فَوْق أَيْدِيهمْ فِي الطَّاعَة . وَقَالَ الْكَلْبِيّ : مَعْنَاهُ نِعْمَة اللَّه عَلَيْهِمْ فَوْق مَا صَنَعُوا مِنْ الْبَيْعَة . وَقَالَ اِبْن كَيْسَان : قُوَّة اللَّه وَنُصْرَته فَوْق قُوَّتهمْ وَنُصْرَتهمْ
Dalam Tafsir  At-Thobary
وَفِي قَوْله : { يَد اللَّه فَوْق أَيْدِيهمْ } وَجْهَانِ مِنْ التَّأْوِيل : أَحَدهمَا : يَد اللَّه فَوْق أَيْدِيهمْ عِنْد الْبَيْعَة , لِأَنَّهُمْ كَانُوا يُبَايِعُونَ اللَّه بِبَيْعَتِهِمْ نَبِيّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ; وَالْآخَر : قُوَّة اللَّه فَوْق قُوَّتهمْ فِي نُصْرَة رَسُوله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , لِأَنَّهُمْ إِنَّمَا بَايَعُوا رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى نُصْرَته عَلَى الْعَدُوّ.
Jadi tidak ada kitab tafsir mu’tabar yang menganbil makna dhahir dari ayat-ayat mutasyabihat!.
Jangan terkecoh  antara lafadz ayd (dengan huruf ya disukun artinya tangan (jamak)) dengan lafadz ayyad (karena artinya menguatkan), karena dalam bahasa arab  perbedaan satu huruf atau tanda baca satu bisa merusak makna, seperti dalam ayat :

[2:87] Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mu’jizat) kepada Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?
Ini bisa dilhat dalam kamus bahasa arab bahwa aid (tangan – jamak) berbeda dengan ayyad (mengatkan – fi’il/kata kerja)  (lihat yang diline merah) :

Kesimpulan :
– Ibnu katsir menta’wil ayat  bi aidin dengan makna kekuatan (padahal makna dhahirnya adalah dengan tangan, karena aid adalah jamak dari kata tangan).
– Bagi yang mengingkari lafadz “aid”  adalah jamak dari kata tangan, silahkan buka kamus bahasa arab manapun dan lihat pula ayat : ”
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ……………
Tarjamahan firman Nya : ”Mereka yg berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan  mereka” (QS Al Fath 10). Disini jelas bahwa “أَيْدِ” adalah jamak dari “yad”/tangan.

– Ibnu katsir menta’wil ayat “yadu llah fauqa aidihim ” = beliau tidak mngambil arti dhahir “tangan” sebagaimana aqidah tajsim wahhaby dan yahudi.