Islamnusantara.com,
JAKARTA – Sebagai sebuah corak keberagamaan yang bercita-cita untuk
menjadi role model kiblat Islam rahmatan lil’alamin di dunia, Islam
Nusantara tentu masih sangat memerlukan kritik. Kritik adalah salah
sebuah sarana untuk meneguhkan Islam Nusantara secara konseptual. Karena
tanpa kritik, kita tidak akan bisa mendeteksi sejauh mana penerimaan
masyarakat terhadap term yang mendadak nge-pop akhir-akhir ini.

Ironisnya, hal ini bukan hanya berasal
dari kalangan yang belum paham atau memang awam mengenal istilah ini.
Akan tetapi juga datang dari berbagai tokoh populis seperti Mamah Dedeh
–mamahnya ibu-ibu pengajian televisi, Habib Rizieq Shihab – Pucuk
Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) , Dokter Hamid Fahmi Zarkasyi–maha
guru yang menjadi referensi baku kawan-kawan kajian INSISTS, sampai
selebritas twitter Hafidz Ary yang mencitrakan diri sebagai murobbi-nya
gerakan Indonesia Tanpa JIL.
Tanpa tedeng aling-aling, di depan jamaah pengajian subuh dan disaksikan oleh seluruh pemirsa ANTV suatu pagi, Mamah Dedeh mengatakan “Coret Islam Nusantara” yang secara otomatis statemen beliau tersebut langsung dikutip dan disebar-luaskan oleh media-media yang notabene sempat masuk list BNPT sebagai media “radikal”. Lebih ekstrem lagi, Habib Rizieq tampak niat banget untuk menghantam Islam Nusantara ini hingga beliau meluangkan waktu untuk membuat propaganda di media bahwa JIN (Jemaat Islam Nusantara – istilah yang sesungguhnya beliau bikin sendiri) adalah sebuah gerakan yang harus ditumpas eksistensinya di negeri ini lantaran pahamnya sesat dan menyesatkan, lengkap dengan pointer-pointer yang beliau inventarisir sebagai dalil atau dalih bahwa Islam Nusantara ini memang sesat. Ah yang beneer?
Sebagai sebuah tulisan populer, saya
ingin mengajak segenap pembaca untuk terlebih dahulu merenggangkan urat
saraf masing-masing sebelum lebih jauh menyimak. Saya hanya ingin
menggaransi terlebih dahulu bahwa tulisan ini nantinya tidak akan
se-galak artis twitter bernama Hafidz Ary yang dengan serampangan
mengatakan bahwa corak Islam Nusantara yang dirintis para ulama dan
segenap awliyaa di negeri ini adalah produk rintisan kaum Islam
Liberalis. Hafidz semacam melakukan jurus mabuk hingga pura-pura lupa
bahwa liberalisme Islam di negeri ini adalah gerakan yang nge-pop
belakangan bahkan tergolong impor, atau bahasa kerennya biasa disebut
transnasional. Sedangkan Islam Nusantara adalah corak keberagamaan yang
telah lama menyatu dengan urat nadi bangsa Indonesia.
Saya juga akan berusaha untuk tidak
menjadi se-gegabah ustadz beken bernama Felix Siauw yang mengatakan
bahwa “Nasionalisme tidak ada dalam Islam”, lalu kemudian kepleset lidah
berfatwa menghalalkan VCD bajakan karena “segala sesuatu di dunia ini
milik Allah”, lalu mengharamkan akifitas selfie dan ternyata beliau juga
suka selfie, dan yang paling menggelikan adalah mengkampanyekan Hijab
Syar’ie ala beliau sendiri hingga kemudian diketahui ternyata beliau
juga jualan jilbab. ( Baca )
Bismillah. Akhi, don’t be amazed too
much, jangan latah!, Islam Nusantara bukan paham kok, bukan pula ajaran,
apalagi mazhab baru yang mencoba peruntungan untuk numpang tenar di
bumi Indonesia ini. Islam Nusantara adalah model keberagamaan yang sejak
lama menjadi model dakwahnya para Kyai di Jawa, para Buya di Sumatera,
para Tuan Guru di Kalimantan, dan para Gurutta di Sulawesi. Islam
Nusantara adalah Islam yang ketika harus berhadapan dengan The Old
Establishing Beliefs– seperti Hinduisme di Indonesia, maka dengan lentur
tidak menjadikan sapi sebagai hewan kurban karena sapi adalah hewan
yang mulia menurut kepercayaan masyarakat Hindu. Para awliyaa kala itu
paham bahwa Islam cukup selow dengan memperbolehkan kerbau dan kambing
sebagai substitute animal (baca; pemain cadangan) untuk dikurbankan. Dan
ini Islami banget, kok. Toh dulu juga al-Qur`an ketika melarang minum
khamr juga metodenya bertahap. Awalnya dengan menyatakan bahwa di dalam
khamr terdapatitsmun kabiir (dosa besar) dan jugamanaafi’
linnaas(manfaat untuk manusia), hanya saja dosanya lebih besar daripada
manfaatnya. Lalu kemudian memrintahkan jangan melaksanakan shalat dalam
keadaan mabuk, hingga pada akhirnya baru mengharamkan khamr secara
tegas. Metode semacam ini dalam istilah Arab disebut dengan
tadriijiyyan, atau step by step.
Islam Nusantara adalah Islam yang
mengerti lokalitas sehingga masyarakat Islam Banjar sangat akrab dengan
tradisi baaruhan, di Jawa ada tradisi slametan, bahkan muslim yang sudah
meninggal dunia pun diurus sampai seratus hariannya dan diperingati
setiap tahunnya. Islam Nusantara juga mengerti psikologis masyarakat
untuk berkesenian hingga dikenal tradisi maulidan, barzanjian, diba’an,
dan lain-lain.
Kesemua contoh di atas adalah ke-khasan
tersendiri bagi corak keberislaman di Indonesia, yang jika digali lebih
dalam adalah identitas kearifan lokal atau local wisdom itu sendiri.
Karena sejatinya identitas inilah yang mahal, identitas ke-Islaman dan
ke-Indonesiaan. Maka sudi lah kiranya kita belajar dari Kyai Haji Hasyim
Asy’ary yang bertahun-tahun mengaji di Mekkah tapi mind set-nya tidak
pernah ter-Arab-kan. Sudi pula lah kiranya kita menengok sejarah Wapres
legenda kita Mohammad Hatta yang belajar di Belanda tapi tidak
ter-barat-kan. Beliau bahkan masyhur dengan gagasan ekonomi koperasinya,
hingga gagasan politik luar negeri Mendayung di atas Dua Karang-nya
yang sampai hari ini menjadi khas kebijakan luar negeri Indonesia yang
nonblock dan nonafiliate. Dan sejarah menjadi saksi bagaimana beliau
tetap hidup Islami dengan sifat qana’ah-nya hingga sampai akhir hayatnya
tidak mampu membeli sepatu bermerek Bally.
Terakhir, Islam Nusantara tidak pernah
anti Arab seperti yang dituduhkan Habib Rizieq. Tapi Islam itu sendiri
bukanlah Arabisme karena memang spiritnya universal. Turun sebagai agama
langit (samawi), tapi eksistensinya membumi. Bahkan kalau mau jujur,
para ulama, Kyai, dan Tuan Guru itu kurang ngerti Arab apa coba? Dari
dulu juga buku-buku wajib di Pesantren adalah kitab-kitab berbahasa
Arab. Bukan sekadar gombal dan retoris untuk menjadi Arabissampai urusan
ngobrol dan ngopi saja harus menyapa dengan akhi dan ukhti.
Islam Nusantara juga tidak pernah
anti-barat, karena prinsip dasarnya adalah memungut hikmah darimana pun
sumbernya. Hikmah adalah milik orang Islam yang tercecer. Karenanya,
Islam Nusantara sangat menghargai tradisi dan sekaligus juga
terbukadengan modernitas. Kaidah fikih populernya; “al muhaafazhah alal
qadiim al shaalih, wal akhdzu bil jadiid al ashlah”. Pijakan historis
yang kokoh, dan kemampuan merespon masa depan dengan tangkas. Inilah
yang disebut dengan prinsip, identitas, dan jati diri. Tak heran kalau
kemudian mantan Presiden kita Baharuddin Jusuf habibi yang diketahuilama
tinggal di Barat, toh ternyata juga tidak serta merta sepakat dengan
tradisi Barat yang individualistis sampai nenek-nenek harus jauh dari
cucunya karena ibunya lebih suka menitipkan anaknya di penitipan bayi.
Di negara maju, kata Pak Habibi, tak pernah ada istilah ngemong cucu.
Dan sebagai Profesor Jenius di bidang teknologi, ternyata ketika beliau
ditanya lebih memilih makanan yang diolah oleh Food Processor atau
sambal yang di-ulek, dengan tegas beliau memilih yang kedua, karena
sambal yang di-ulek oleh wanita Indonesia sungguh tiada duanya.
Wallaahul Muwaffiq ilaa aqwatith tariieq.
Penulis : Oleh Khairi Fuady adalah kader
muda Nahdhatul Ulama dari Kalimantan Selatan, mahasiswa tingkat akhir
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
No comments:
Post a Comment