Tuesday, June 28, 2016

Ibnu Katsir Membungkam Wahhaby (I) : Tafsir ayat Mutasyabihat Yad (tangan)

Ibnu Katsir Membungkam Wahhaby (I)
TIK 4  COVER
– Ayat Mutaysabihat tentang Lafadz Tangan / yad (kata tunggal/ single)/ aidin (jamak/plural).
– Ahlusunnah Tidak Mengambil Makna Dhahir ayat mutasyabihat
I.  Wahhaby mengelirukan makna “tafsir”  dengan “ta’wil”
Ilmu- yang harus dimilki oleh orang yang ingin menjadi ahli tafsir alqur’an. Disamping harus mengusai 14 cabang ilmu lainnya seperti ilmu lughah, nahwu, saraf, balaghah, isytiqoqo, ilmu alma’ani, badi’, bayan, fiqh, aqidah, asbabunuzul, nasikh mansukh, ilmu qiraat, ilmu hadits, usul fiqah ( hukum-hukum furu’) dan ilmu mauhub ( fadhilah alqur’an, syaikh maulana zakariyya).
Kenapa perlu ilmu aqidah dalam hal ini tahu sifat-siafat Allah yang wajib, sifat yang mustahil dan sifat yang jaiz (boleh/harus) bagi Allah? Karena banyak ayat mutasyabihat yang tidak boleh mengambil makna dhahir (explisit) dari ayat itu, tapi menggunkan makna implisit dari lafadz tersebut. Jadi ta’wil adalah salah satu cara untuk mentafsir Al-qur’an.
apakah WAHABY  masih bersikeras menggunakan makna dhahir pada ayat/hadist mutasyabihat ini ?
coba lihat tafsir ayat berikut


– ”Nasuullaha fanasiahum” (QS Attaubah:67),
Artinya : Mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka (QS Attaubah:67),
– ”Innaa nasiinaakum” (QS Assajadah 14).
Artinya : (sungguh kami telah lupa pada kalian ( QS Assajadah 14)
Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman :
”Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul ’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits no.2569)
II. Ahlusunnah Tidak Mengambil Makna Dhahir ayat mutasyabihat
Ahlusunnah TIDAK MENERIMA MAKNA DHOHIR ayat atau hadits mutasyabihat (ta’wil) tapi juga TIDAK MERUBAH LAFADZ AYAT/HADIST (TASHRIF) , karena merubah lafadz ayat atau hadits adalah haram dan dilarang. Al Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H) dalam al Burhan al Muayyad berkata: “Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran”.
Ta’wil disni  berarti menjauhkan makna dari segi zahirnya kepada makna yang lebih layak bagi Allah, ini kerana zahir makna nas al-Mutasyabihat tersebut mempunyai unsur jelas persamaan Allah dengan makhluk. Dalil melakukan ta’wil ayat dan hadis  mutasyabihat:
Rasulullah berdoa kepada Ibnu Abbas dengan doa:
dalil ta'wil ibnu abbas
Maknanya: “Ya Allah alimkanlah dia hikmah dan takwil Al quran” H.R Ibnu Majah. (Sebahagian ulamak salaf termasuk Ibnu Abbas mentakwil ayat-ayat mutasyabihah)
Masalah ayat/hadist mutasyabihat  dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat dalam menafsirkannya.
1.Pendapat Tafwidh ma’a tanzih (Ta’wil ijtimaly)
2.Pendapat Ta’wil (Ta’wil Tafsilly)
Keterangan :
1. Madzhab tafwidh ma’a tanzih yaitu mengambil dhahir lafadz dan menyerahkan maknanya kpd
Allah swt, dg i’tiqad tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan).
Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu;minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dg hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yg juga di pegang oleh Imam Abu hanifah.
Pendapat ini dikenal juga dengan TA’WIL IJTIMALY iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya. Sebagai contoh perkataan istawa dikatakan istawa yang layak bagi Allah dan waktu yang sama dinafikan zahir makna istawa kerana zahirnya bererti duduk dan bertempat, Allah mahasuci dari bersifat duduk dan bertempat.
dan kini muncullah faham mujjassimah yaitu dhohirnya memegang madzhab tafwidh tapi menyerupakan Allah dg mahluk, bukan seperti para imam yg memegang madzhab tafwidh.
2. Madzhab takwil yaitu menakwilkan ayat/hadist tasybih sesuai dg keesaan dan keagungan Allah
swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari,Imam Nawawi dll. (syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri)
Pendapat ini juga terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh para sahabat, tabiin dan imam imam ahlussunnah waljamaah.
Ta’wilan Tafsiliyy iaitu ta’wilan yang menafikan makna zahir nas tersebut kemudian meletakkan makna yang layak bagi Allah. Seperti istawa bagi Allah bererti Maha Berkuasa kerana Allah sendiri sifatkan dirinya sebagai Maha Berkuasa.
Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah waljamaah yg berpegang pada pendapat Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat Daf’ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy).
Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah swt, sebagaimana firman Nya : ”Maha Suci Tuhan Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan dari apa apa yg mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para Rasul, dan segala puji atas tuhan sekalian alam” . (QS Asshaffat 180-182).
III. Ayat Mutaysabihat tentang Lafadz Tangan / yad (kata tunggal/ single)/ aidin (jamak/plural)
ini adalah untuk membantah mufassir sesat dan palsu yang bernama Syaikh AsySyinqithy  al wahaby (Guru syaikh Shalih  Fauzan Al wahaby).
Bisa kita lihat dalam kamus manapun bahwa yad adalah bernakna  tangan (untuk mufrad/tunggal). Sedangkan bentuk jamaknya (plural) adalah aidin. Lihat dalam kamus bahasa arab berikut :

Kemudian kita lihat lagi Tafsir Ibnu Katsir Surat AdzDzaariyaat ayat 47 (pada yang di line merah) :



وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuatan (Tangan) dan sesungguhnya Kami benar-benar memperluasnya” (Surat AdzDzaariyaat ayat 47)


tarjamah (Scan kitab tafsir Ibnu katsir yang di line merah) :
Makna Lafadz ا بِأَيْدٍ (dengan Tangan ) adalah  kekuatan. Yang mengatakan seperti ini adalah Ibnu abbas, mujahid, qatadah,  atsauri dan selainnya”


jadi Ibnu Abbas mengatakan: “Yang dimaksud lafadz د  (biaidin) adalah “dengan  kekuasaan“, bukan maksudnya tangan yang merupakan anggota badan (jarihah) kita, karena Allah maha suci darinya.
Lihat rujukan dalam kitab Tafsir mu’tabar :
Dalam Tafsir Qurtuby:
لَمَّا بَيَّنَ هَذِهِ الْآيَات قَالَ : وَفِي السَّمَاء آيَات وَعِبَر تَدُلّ عَلَى أَنَّ الصَّانِع قَادِر عَلَى الْكَمَال , فَعَطَفَ أَمْر السَّمَاء عَلَى قِصَّة قَوْم نُوح لِأَنَّهُمَا آيَتَانِ . وَمَعْنَى ” بِأَيْدٍ ” أَيْ بِقُوَّةٍ وَقُدْرَة . عَنْ اِبْن عَبَّاس وَغَيْره .
Dalam  Tafsir Thobary :
الْقَوْل فِي تَأْوِيل قَوْله تَعَالَى : { وَالسَّمَاء بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ } يَقُول تَعَالَى ذِكْرُهُ : وَالسَّمَاء رَفَعْنَاهَا سَقْفًا بِقُوَّةٍ . وَبِنَحْوِ الَّذِي قُلْنَا فِي ذَلِكَ قَالَ أَهْل التَّأْوِيل . ذِكْرُ مَنْ قَالَ ذَلِكَ : 24962 – حَدَّثَنِي عَلِيّ , قَالَ : ثنا أَبُو صَالِح , قَالَ : ثني مُعَاوِيَة , عَنْ عَلِيّ , عَنِ ابْن عَبَّاس , قَوْله : { وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ } يَقُول : بِقُوَّةٍ.
Dalam Tafsir Jalalain
Biquwati  (وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ)
Tarjamahannya : Lafadz BI AIDIN artinya DENGAN KEKUATAN-NYA
– kemudian dalam surat Al-Fath : 10


Lihat pada scan kitab yang di line merah :
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ……………
Tarjamahan firman Nya : ”Mereka yg berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS Al Fath 10).
Tidak ada yang menafsirkan “yad”dengan makna dhahir bahwa “tangan” . Disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yg turut berbai’at pada sahabat.
Dalam Tafsir Ibnu katsir (lihat scan kitab yang di line merah) , beliau tidak mengambil makana dhahir tangan sebagaimana yang difahami mujasimmah wahhaby dan yahudi :
makna yadullah (Tangan Allah) bermakna : Allah menyaksikan (hadhir) bersama mereka, Allah  mendengar percakapan mereka, allah melihat tempat mereka, Allah mengetahui kata Bathin (hati mereka) dan dhahir mereka maka dialah Allah Ta’ala Yang membai’at mereka dengan perantara Rasulullah SAW, seperti dalam firman Allah ta’ala:


[9:111] Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (SURAT AT TAUBAH (Pengampunan) ayat 111) )… (Tafsir Ibnu katsir, jilid 4, page 236).
Sedangkan dalam tafsir qurtubi :
Al-Qurthubi telah menukil pendapat Ibn Kisan sbb :
قِيلَ : يَده فِي الثَّوَاب فَوْق أَيْدِيهمْ فِي الْوَفَاء , وَيَده فِي الْمِنَّة عَلَيْهِمْ بِالْهِدَايَةِ فَوْق أَيْدِيهمْ فِي الطَّاعَة . وَقَالَ الْكَلْبِيّ : مَعْنَاهُ نِعْمَة اللَّه عَلَيْهِمْ فَوْق مَا صَنَعُوا مِنْ الْبَيْعَة . وَقَالَ اِبْن كَيْسَان : قُوَّة اللَّه وَنُصْرَته فَوْق قُوَّتهمْ وَنُصْرَتهمْ
Dalam Tafsir  At-Thobary
وَفِي قَوْله : { يَد اللَّه فَوْق أَيْدِيهمْ } وَجْهَانِ مِنْ التَّأْوِيل : أَحَدهمَا : يَد اللَّه فَوْق أَيْدِيهمْ عِنْد الْبَيْعَة , لِأَنَّهُمْ كَانُوا يُبَايِعُونَ اللَّه بِبَيْعَتِهِمْ نَبِيّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ; وَالْآخَر : قُوَّة اللَّه فَوْق قُوَّتهمْ فِي نُصْرَة رَسُوله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , لِأَنَّهُمْ إِنَّمَا بَايَعُوا رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى نُصْرَته عَلَى الْعَدُوّ.
Jadi tidak ada kitab tafsir mu’tabar yang menganbil makna dhahir dari ayat-ayat mutasyabihat!.
Jangan terkecoh  antara lafadz ayd (dengan huruf ya disukun artinya tangan (jamak)) dengan lafadz ayyad (karena artinya menguatkan), karena dalam bahasa arab  perbedaan satu huruf atau tanda baca satu bisa merusak makna, seperti dalam ayat :

[2:87] Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mu’jizat) kepada Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?
Ini bisa dilhat dalam kamus bahasa arab bahwa aid (tangan – jamak) berbeda dengan ayyad (mengatkan – fi’il/kata kerja)  (lihat yang diline merah) :

Kesimpulan :
– Ibnu katsir menta’wil ayat  bi aidin dengan makna kekuatan (padahal makna dhahirnya adalah dengan tangan, karena aid adalah jamak dari kata tangan).
– Bagi yang mengingkari lafadz “aid”  adalah jamak dari kata tangan, silahkan buka kamus bahasa arab manapun dan lihat pula ayat : ”
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ……………
Tarjamahan firman Nya : ”Mereka yg berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan  mereka” (QS Al Fath 10). Disini jelas bahwa “أَيْدِ” adalah jamak dari “yad”/tangan.

– Ibnu katsir menta’wil ayat “yadu llah fauqa aidihim ” = beliau tidak mngambil arti dhahir “tangan” sebagaimana aqidah tajsim wahhaby dan yahudi.

Imam Malik ibn Anas (W 179 H) : tak pernah mentafsirkan “istawa” dengan makna tempat atau duduk / bersemayam

Al-Hafizh al-Bayhaqi dalam karyanya berjudul al-Asma’ Wa ash-Shifat, dengan sanad yang baik (jayyid), -sebagaimana penilaian al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari-, meriwayatkan dari al-Imam Malik dari jalur Abdullah ibn Wahb, bahwa ia -Abdullah ibn Wahb-, berkata:
“Suatu ketika kami berada di majelis al-Imam Malik, tiba-tiba seseorang datang menghadap al-Imam, seraya berkata: Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimanakah Istawa Allah?. Abdullah ibn Wahab berkata: Ketika al-Imam Malik mendengar perkataan orang tersebut maka beliau menundukan kepala dengan badan bergetar dengan mengeluarkan keringat. Lalu beliau mengangkat kepala menjawab perkataan orang itu: “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa sebagaimana Dia mensifati diri-Nya sendiri, tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana, karena “bagaimana” (sifat benda) tidak ada bagi-Nya. Engkau ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari sini”. Lalu kemudian orang tersebut dikeluarkan dari majelis al-Imam Malik (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408)”.
Anda perhatikan; Perkataan al-Imam Malik: “Engkau ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari sini”, hal itu karena orang tersebut mempertanyakan makna Istawa dengan kata-kata “Bagaimana?”. Seandainya orang itu hanya bertanya apa makna ayat tersebut, sambil tetap meyakini bahwa ayat tersebut tidak boleh diambil makna zhahirnya, maka tentu al-Imam Malik tidak membantah dan tidak mengusirnya.
Adapun riwayat al-Lalika-i dari Ummu Salamah; Umm al-Mu’minin, dan riwayat Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman (salah seorang guru al-Imam Malik) yang mengatakan: “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul (al-Istiwa sudah jelas diketahui dan adanya al-Kayf (sifat benda) bagi Allah adalah sesuatu yang tidak masuk akal)”, yang dimaksud “Ghair Majhul” di sini ialah bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di dalam al-Qur’an. Ini dengan dalil riwayat lain dari al-Lalika-i sendiri yang mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur’an. Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al-Istiwa Ghair Majhul” artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata Istawa tersebut di dalam al-Qur’an.
Dari sini dapat dipahami bahwa al-Lali’ka’i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman mengatakan “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul”, sama sekali bukan untuk tujuan menetapkan makna duduk atau bersemayam bagi Allah. Juga sama sekali bukan untuk menetapkan makna duduk atau bersemayam yang Kayfiyyah duduk atau bersemayam-Nya tidak diketahui oleh kita. Hal ini berbeda dengan orang-orang Wahhabiyyah yang salah paham terhadap pernyataan al-Lalika’i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman tersebut. Mereka mengatakan bahwa Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy. Hanya saja, –menurut mereka–, Kayfiyyah-Nya tidak diketahui. A’udzu Billah.
Untuk membantah keyakinan kaum Wahhabiyyah tersebut, kita katakan kepada mereka:
Dalam perkataan al-Lalika-i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman terdapat kata “al-Kayf Ghair Ma’qul”, ini artinya bahwa Istawa tersebut bukan Kayfiyyah, sebab Kayfiyyah adalah sifat benda. Dengan demikian, oleh karena kata Istawa ini bukan Kayfiyyah maka jelas maknanya bukan dalam pengertian duduk atau bersemayam. Karena duduk atau bertempat itu hanya berlaku pada sesuatu yang memiliki anggota badan, seperti pantat, lutut dan lainnya. Sementara Allah maha suci dari pada anggota-anggota badan.
Yang mengherankan, kaum Musyabbihah seperti kaum Wahhabiyyah di atas seringkali memutarbalikan perkataan dua Imam di atas. Mereka sering mengubahnya dengan mengatakan “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah”. Perkataan semacam ini sama sekali bukan riwayat yang benar berasal dari al-Imam Malik atau lainnya. Tujuan kaum Musyabbihah mengucapkan kata tesebut tidak lain adalah untuk menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Istawa Allah, lalu mereka mengatakan Kayfiyyah-Nya tidak diketahui. Karena itu mereka seringkali mengatakan: “Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy, tapi cara bersemayam-Nya tidak diketahui”. Atau terkadang mereka juga berkata: “Allah duduk di atas arsy, tapi cara duduk-Nya tidak diketahui”. jadi, Perkataan kaum Musyabbihah “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” tidak lain hanyalah untuk mengelabui orang-orang awam bahwa semacam itulah yang telah dikatakan dan yang dimaksud oleh Al-Imam Malik. A’udzu Billah.
Al-Hafizh al-Bayhaqi dari jalur Yahya ibn Yahya telah meriwayatkan bahwa ia -Yahya ibn Yahya- berkata:
Suatu saat ketika kami berada di majelis al-Imam Malik ibn Anas, tiba-tiba datang seseorang menghadap beliau, seraya bekata: Wahai Abu Abdlillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimankah Istawa Allah? Lalu al-Imam Malik menundukan kepala hingga badanya bergetar dan mengeluarkan keringat. Kemudian beliau berkata: “al-Istiwa’ telah jelas -penyebutannya dalam al-Qur’an- (al-Istiwa Ghair Majhul), dan “Bagaimana (sifat benda)” tidak logis dinyatakan kepada Allah (al-Kayf Ghair Ma’qul), beriman kepada adanya sifat al-Istiwa adalah wajib, dan mempermasalahkan masalah al-Istiwa tersebut adalah perbuatan bid’ah. Dan bagiku, engkau tidak lain kecuali seorang ahli bid’ah”. Lalu al-Imam Malik menyuruh murid-muridnya untuk mengeluarkan orang tersebut dari majelisnya. Al-Imam al-Bayhaqi berkata: “Selain dari al-Imam Malik, pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman, guru dari al-Imam Malik sendiri” (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408).
Dalam mengomentari peristiwa ini, asy-Syaikh Salamah al-Uzami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka dalam bidang hadits, dalam karyanya berjudul Furqan al-Qur’an, mengatakan sebagai berikut:
“Penilaian al-Imam Malik terhadap orang tersebut sebagai ahli bid’ah tidak lain karena kesalahan orang itu mempertanyakan Kayfiyyah Istiwa bagi Allah. Hal ini menunjukan bahwa orang tersebut memahami ayat ini secara indrawi dan dalam makna zhahirnya. Tentu makna zhahir Istawa adalah duduk bertempat, atau menempelnya suatu benda di atas benda yan lain. Makna zhahir inilah yang dipahami oleh orang tersebut, namun ia meragukan tentang Kayfiyyah dari sifat duduk tersebut, karena itu ia bertanya kepada al-Imam Malik. Artinya, orang tersebut memang sudah menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah. Ini jelas merupakan keyakinan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), dan karena itu al-Imam Malik meyebut orang ini sebagai ahli bid’ah” (Furqan al-Qur’an Bain Shifat al-Khaliq Wa al-Akwan, h. 22).
Ada pelajaran penting yang dapat kita tarik dari peristiwa ini. Jika al-Imam Malik sangat marah terhadap orang tersebut hanya karena menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah, hingga mengklaimnya sebagai ahli bid’ah, maka tentunya beliau akan lebih marah lagi terhadap mereka yang dengan terang-terangan mengartikan Istawa dengan duduk, bertempat atau bersemayam! Dapat kita pastikan seorang yang berpendapat kedua semacam ini akan lebih dimurkai lagi oleh al-Imam Malik. Hal itu karena mengartikan Istawa dengan duduk atau bersemayam tidak hanya menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah, tapi jelas merupakan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya.
Dan sesungguhnya sangat tidak mungkin seorang alim sekaliber al-Imam Malik berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat dan arah. Al-Imam Malik adalah Imam kota Madinah (Imam Dar al-Hijrah), ahli hadits terkemuka, perintis fiqih madzhab Maliki, sudah barang tentu beliau adalah seorang ahli tauhid, berkeyakinan tanzih, mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk-Nya. Tentang kesucian tauhid al-Imam Malik ibn Anas, al-Imam al-‘Allamah al-Qadli Nashiruddin ibn al-Munayyir al-Maliki, salah seorang ulama terkemuka sekitar abad tujuh hijriyah, dalam karyanya berjudul al-Muqtafa Fi Syaraf al-Musthafa telah menuliskan pernyataan al-Imam Malik bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Dalam karyanya tersebut, al-Imam Ibn al-Munayyir mengutip sebuah hadits, riwayat al-Imam Malik bahwa Rasulullah bersabda: “La Tufadl-dliluni ‘Ala Yunus Ibn Matta” (Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta). Dalam penjelasan hadits ini al-Imam Malik berkata bahwa Rasulullah secara khusus menyebut nabi Yunus dalam hadits ini, tidak menyebut nabi lainya, adalah untuk memberikan pemahaman akidah tanzih, -bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah-. Hal ini karena Rasulullah diangkat ke atas ke arah arsy -ketika peristiwa Mi’raj-, sementara nabi Yunus dibawa ke bawah hingga ke dasar lautan yang sangat dalam -ketika beliau ditelan oleh ikan besar-, dan kedua arah tersebut, baik arah atas maupun arah bawah, keduanya bagi Allah sama saja. Artinya satu dari lainnya tidak lebih dekat kepada-Nya, karena Allah ada tanpa tempat. Karena seandainya kemuliaan itu diraih karena berada di arah atas, maka tentu Rasulullah tidak akan mengatakan “Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta”. Dengan demikian, hadits ini oleh al-Imam Malik dijadikan salah satu dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah (Lihat penjelasan ini dalam al-Muqtafa Fi syaraf al-Mustahafa. Perkataan Al-Imam Malik ini juga dikutip oleh Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya bantahannya atas Ibn al-Qayyim al-Jaiziyyah (murid Ibn Taimiyah); yang berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil. Demikian pula perkataan Al-Imam Malik ini dikutip oleh Al-Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam karyanya Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarah Ihya ‘Ulumiddin).
Adapun riwayat yang dikemukan oleh Suraij ibn an-Nu’man dari Abdullah ibn Nafi’ dari al-Imam Malik, bahwa ia -al-Imam Malik- berkata: “Allah berada di langit, dan ilmu-Nya di semua tempat”, adalah riwayat yang sama sekali tidak benar (Ghair Tsabit).
Abdullah ibn Nafi’ dinilai oleh para ahli hadits sebagai seorang yang dla’if. Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: “’Abdullah ibn Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”. Al-Imam Ibn Adi berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan ghara-ib (riwayat-riwayat asing) dari al-Imam Malik”. Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’- adalah seorang yang tidak membaca dan tidak menulis” (Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man dalam kitab-kitab adl-Dlu’afa’, seperti Kitab ald-Dlu’afa karya an-Nasa-i dan lainnya).
Dengan demikian pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam Malik di atas adalah riwayat yang sama sekali tidak benar. Dan kata-kata tersebut yang sering kali dikutip oleh kaum Musyabbihah dan dinisbatkan kepada al-Imam Malik tidak lain hanyalah kedustaan belaka.
kesimpulan, Aqidah Imam Malik, Imam AbuHanifah, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal adalah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.
Dalam banyak tempat dalam kitab ini “al Asma Wa as Shifat”; penulisnya, yaitu Imam Abu Bakr al Baihaqi menuliskan “ALLAH ADA TANPA TEMPAT”.

Buku Aqidah Sunni : Tafsir Istawa Studi Komprehensif Tafsir Istawa Allah ada tanpa TEMPAT

Judul : Tafsir Istawa Studi Komprehensif Tafsir Istawa Allah ada tanpa tempat
Penulis : Kholil Abou Fateh
Ukuran buku : 20 cm x 14 cm

Latar Belakang
Al-Hamdu Lillâh Rabb al-‘Âlamîn.
Wa ash-Shalât Wa As-Salâm ’Alâ Rasûlulillâh.
Ada beberapa poin ringkas yang hendak penulis ungkapkan dalam mukadimah buku ini, sebagai berikut:
• Bahwa kecenderungan timbulnya aqidah tasybîh (Penyerupaan Allah dengan makhluk-makhluk-Nya) belakangan ini semakin merebak di berbagai level masyarakat kita. Sebab utamanya adalah karena semakin menyusutnya pembelajaran terhadap ilmu-ilmu pokok agama, terutama masalah aqidah. Bencananya sangat besar, dan yang paling parah adalah adanya sebagian orang-orang Islam, baik yang dengan sadar atau tanpa sadar telah keluar dari agama Islam karena keyakinan rusaknya. Imam al-Qâdlî Iyadl al-Maliki dalam asy-Syifâ Bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ mengatakan bahwa ada dari orang-orang Islam yang keluar dari Islamnya (menjadi kafir) sekalipun ia tidak bertujuan keluar dari agama Islam tersebut. Ungkapan-ungkapan semacam; “Terserah Yang Di atas”, “Tuhan tertawa, tersenyum, menangis” atau “Mencari Tuhan yang hilang”, dan lain sebagainya adalah gejala tasybîh yang semakin merebak belakangan ini. Tentu saja kesesatan aqidah tasybîh adalah hal yang telah disepakati oleh para ulama kita, dari dahulu hingga sekarang. Terkait dengan masalah ini Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi (w 725 H) , dalam kitab Najm al-Muhtadî Wa Rajm al-Mu’tadî , meriwayatkan bahwa sahabat Ali ibn Abi Thalib berkata: “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”. Seseorang bertanya kepadanya: “Wahai Amîr al-Mu’minîn apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran? Sahabat Ali ibn Abi Thalib menjawab: “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan”.
• Ada seorang mahasiswa bercerita kepada penulis bahwa suatu ketika salah seorang dosen Ilmu Kalam mengajukan “pertanyaan” di hadapan para mahasiswanya, ia berkata: “Benarkah Allah maha kuasa? Jika benar, kuasakah Allah untuk menciptakan “Sesuatu” yang sama dengan Allah sendiri?”, atau “Benarkah Allah maha kuasa? Jika benar, maka mampukah Dia menciptakan sebongkah batu yang sangat besar, hingga Allah sendiri tidak sanggup untuk mengangkatnya?”, atau berkata: “Jika benar Allah maha Kuasa, maka kuasakah Dia menghilangkan Diri-Nya hanya dalam satu jam saja?”. Ungkapan-ungkapan buruk semacam ini seringkali dilontarkan di perguruan-perguruan tinggi Islam, terutama pada jurusan filsafat. Ironisnya, baik dosen maupun mahasiswanya tidak memiliki jawaban yang benar bagi pertanyaan sesat tersebut. Akhirnya, baik yang bertanya maupun yang ditanya sama-sama “bingung”, dan mereka semua tidak memiliki jalan keluar dari “bingung” tersebut. Hasbunallâh.
Entah dari mana pertanyaan buruk semacam itu mula-mula dimunculkan. Yang jelas, jika itu datang dari luar Islam maka dapat kita pastikan bahwa tujuannya adalah untuk menyesatkan orang-orang Islam. Namun jika yang menyebarkan pertanyaan tersebut orang Islam sendiri maka hal itu jelas menunjukan bahwa orang tersebut adalah orang yang sama sekali tidak memahami tauhid, dan tentunya pengakuan bahwa dirinya sebagai seorang muslim hanya sebatas di mulutnya saja. Ini adalah contoh kecil dari apa yang dalam istilah penulis bahwa Ilmu Kalam telah mengalami distorsi.
Padahal, jawaban bagi pertanyaan sesat tersebut adalah bahasan sederhana dalam Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam; ialah bahwa hukum akal terbagi kepada tiga bagian; Pertama; Wâjib ‘Aqly; yaitu sesuatu yang wajib adanya, artinya; akal tidak dapat menerima jika sesuatu tersebut tidak ada, yaitu; keberadaaan Allah dengan sifat-sifat-Nya. Kedua; Mustahîl ‘Aqly; yaitu sesuatu yang mustahil adanya, artinya akal tidak dapat menerima jika sesuatu tersebut ada, seperti adanya sekutu bagi Allah. Ketiga; Jâ-iz ‘Aqly atau Mumkin ‘Aqly; yaitu sesuatu yang keberadaan dan ketidakadaannya dapat diterima oleh akal, yaitu alam semesta atau segala sesuatu selain Allah.
Sifat Qudrah (kuasa) Allah hanya terkait dengan Jâ-iz atau Mumkim ‘Aqly saja. Artinya, bahwa Allah Maha Kuasa untuk menciptakan segala apapun yang secara akal dapat diterima keberadaan atau tidakadanya. Sifat Qudrah Allah tidak terkait dengan Wâjib ‘Aqly dan Mustahîl ‘Aqly. Dengan demikian tidak boleh dikatakan: “Apakah Allah kuasa untuk menciptakan sekutu bagi-Nya, atau menciptakan Allah-Allah yang lain?” Pertanyaan ini tidak boleh dijawab “Iya”, juga tidak boleh dijawab “Tidak”. Karena bila dijawab “Iya” maka berarti menetapkan adanya sekutu bagi Allah dan menetapkan keberadaan sesuatu yang mustahil adanya, dan bila dijawab “Tidak” maka berarti menetapkan kelemahan bagi Allah. Jawaban yang benar adalah bahwa sifat Qudrah Allah tidak terkait dengan Wâjib ‘Aqly dan tidak terkait dengan Mustahîl ‘Aqly.
• Contoh kasus lainnya yang pernah dialami penulis dan teman-teman, bahwa suatu ketika datang seorang mahasiswa yang mengaku sangat menyukai filasafat. Setelah ngobrol “basa-basi” dengannya, tiba-tiba pembicaraan masuk dalam masalah teologi; secara khusus membahas tentang kehidupan akhirat. Dan ternyata dalam “otak” mahasiswa tersebut, yang kemudian dengan sangat “ngotot” ia pertahankan ialah bahwa kehidupan akhirat pada akhirnya akan “punah”, dan segala sesuatu baik mereka yang ada di surga maupun yang ada di neraka akan kembali kepada Allah. “Mahasiswa” ini beralasan karena jika surga dan neraka serta segala sesuatu yang ada di dalam keduanya kekal maka berarti ada tiga yang kekal, yaitu; Allah, surga, dan neraka. Dan jika demikian maka menjadi batal-lah definisi tauhid, karena dengan begitu berarti menetapkan sifat ketuhanan kepada selain Allah; dalam hal ini sifat kekal (al-Baqâ’).
Kita jawab; Baqâ’ Allah disebut dengan Baqâ’ Dzâty; artinya bahwa Allah maha Kekal tanpa ada yang ada yang mengekalkan-Nya. Berbeda dengan kekalnya surga dan neraka; keduanya kekal karena dikekalkan oleh Allah (Bi Ibqâ-illâh Lahumâ). Benar, secara logika seandainya surga dan neraka punah dapat diterima, karena keduanya makhluk Allah; memiliki permulaan, akan tetapi oleh karena Allah menghendaki keduanya untuk menjadi kekal, maka keduanya tidak akan pernah punah selamanya. Dengan demikian jelas sangat berbeda antara Baqâ’ Allah dengan Baqâ’-nya surga dan neraka. Kemudian, dalam hampir lebih dari enam puluh ayat al-Qur’an, baik yang secara jelas (Sharîh) maupun tersirat, Allah mengatakan bahwa surga dan neraka serta seluruh apa yang ada di dalam keduanya kekal tanpa penghabisan. Dan oleh karenanya telah menjadi konsensus (Ijmâ’) semua ulama dalam menetapkan bahwa surga dan neraka ini kekal selamanya tanpa penghabisan, sebagaimana dikutip oleh Ibn Hazm dalam Marâtib al-Ijmâ’, Imam al-Hâfizh Taqiyyuddin as-Subki dalam al-I’tibâr Bi Baqâ’ al-Jannah Wa an-Nâr, dan oleh para ulama terkemuka lainnya.
Dalam pandangan penulis, sebenarnya mahasiswa seperti ini adalah murni sebagai korban distorsi Ilmu Kalam. Kemungkinan besarnya, ketika ia masuk ke Perguruan Tinggi, ia merasa bahwa dirinya telah berada di wilayah “elit” secara ilmiah, ia “demam panggung” dengan iklim wilayah tersebut, merasa dapat berfikir dan berpendapat sebebas mungkin, termasuk kebebasan berkenalan dengan berbagai faham teologis. Padahal ketika awal masuk ke Perguruan Tinggi tersebut ia adalah “botol kosong” yang tidak memiliki pijakan sama sekali. Akhirnya, karena ia botol kosong maka seluruh faham masuk di dalam otaknya, termasuk berbagai aliran faham teologis, tanpa sedikitpun ia tahu manakah di antara faham-faham tersebut yang seharusnya menjadi pijakan keyakinannya, padahal -dan ini yang sangat mengherankan-, mahasiswa tersebut kuliah di fakultas dan jurusan keagamaan. Tentunya lebih miris lagi, ketika faham-faham teologis yang beragam ini dijamah oleh otak-otak mahasiswa non-keagamaan. Dan yang penulis sebut terakhir ini adalah realitas yang benar-benar telah ada di depan mata kita. Karenanya, seringkali kita melihat mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari jurusan non-keagamaan mengusung faham-faham teologis yang sangat ekstrim, bahkan seringkali mereka mengafirkan kelompok apapun di luar kelompok mereka sendiri, padahal mereka tidak memahami atau bahkan tidak tahu sama sekali apa yang sedang mereka bicarakan.
• Penulis termasuk cukup aktif “berselancar” di dunia maya, dalam banyak blog, web, facebook, twitter, dan lainnya sering menuangkan materi-materi tauhid di atas dasar aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah; termasuk melakukan dialog dengan beberapa orang yang memiliki faham di luar keyakinan penulis. Teks-teks mutasyâbihât, baik dari al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi, yang seharusnya dapat dipahami dengan logika yang sederhana menjadi bahan yang sangat “hangat”, bahkan cenderung “panas”; yang dengan sebabnya seringkali terjadi tuduhan “kafir”, “sesat”, “zindik”, “ilhâd”, dan semacamnya terhadap mereka yang tidak sepaham. Akibatnya, nama “Ahlussunnah Wal Jama’ah” menjadi “kabur”; khususnya bagi orang-orang awam yang bukan Ahl at-Tamyîz, hingga mereka tidak dapat membedakan antara keyakinan tauhid yang suci dengan keyakinan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya) yang jelas menyesatkan.
Seringkali ketika “berselancar” di internet, penulis berdialog dengan beberapa orang yang “sangat ngotot” berkeyakinan bahwa Allah bertempat di atas arsy, lalu –dan ini yang sangat mengherankan– pada saat yang sama mereka juga ngotot mengatakan bahwa Allah bertempat di langit. Untuk ini kemudian mereka mengutip beberapa ayat dan hadits yang menurut mereka sebagai bukti kebenaran aqidah tersebut. Penulis mencoba menyederhanakan “problem mereka” dengan logika sederhana; “Bukankah arsy dan langit itu ciptaan Allah? Bila anda berkeyakinan arsy dan langit itu ciptaan Allah maka berarati menurut anda Allah berubah dari semula yang ada tanpa langit dan tanpa arsy menjadi bertempat pada kedua makhluk-Nya tersebut; lalu bukankah perubahan itu menunjukan kebaharuan? Bukankah pula arsy dan langit itu memiliki bentuk dan ukuran? Lalu anda sendiri mengatakan bahwa Allah berada di dua tempat; arsy dan langit?”. Logika-logika sederhana semacam inilah yang sengaja bahkan seringkali penulis ungkapkan untuk “menyehatkan” akal dan pikiran orang-orang yang memiliki problem di atas. Tapi alih-alih mereka mau berfikir, namun ternyata tuduhan “kafir”, “mu’ath-thil” (pengingkar sifat Allah) dan berbagai tuduhan lainnya yang diterima oleh penulis dari mereka, yang penulis sendiri tidak tahu persis apakah ungkapan-ungkapan semacam itu “senjata pamungkas” mereka? Nyatanya memang mereka mengutip beberapa ayat al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi untuk dijadikan dasar bagi keyakinan mereka, masalahnya ialah bahwa ayat-ayat tersebut tidak dipahami secara komprehensif, tidak dipahami secara kontekstual, dan bahkan pemahaman mereka jauh berseberangan dengan pemahaman para ulama terdahulu yang benar-benar kompeten dalam masalah tersebut. Inilah di antara yang mendorong penulis untuk membukukan buku ini.
• Benar, tulisan ini hanya menyentuh “setitik” persoalan saja dari lautan Ilmu Kalam, tetapi mudah-mudahan semua yang tertuang di dalamnya memiliki orientasi dan memberikan pencerahan, paling tidak dalam beberapa persoalan teologis. Hanya saja titik konsentrasi yang hendak penulis sampaikan kepada pembaca dari buku ini adalah esensi tauhid dengan aqidah tanzîh di dalamnya yang diintisarikan dari firman Allah dalam QS. Asy-Syura: 11; bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya. Benar, Ilmu Kalam ini sangat luas, namun bukan untuk mengabaikan bahasan-bahasan pokok lainnya, penulis memandang bahwa pembahasan “Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah” untuk saat ini sangat urgen, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Apa yang penulis ungkapkan pada poin nomor satu di atas tentang menyebarnya aqidah tasybîh benar-benar sudah sampai kepada batas yang sangat merisihkan dan mengkhawatirkan, bahkan –meminjam istilah guru-guru penulis– sebuah kondisi “yang tidak bisa membuat mata tertidur pulas”. Mudah-mudahan materi-materi lainnya menyangkut berbagai aspek Ilmu Kalam secara formulatif dapat segera dibukukan dalam bentuk bahasa Indonesia.
Pada dasarnya seluruh apa yang tertuang dalam buku ini bukan barang baru, dan setiap ungkapan yang tertuang di dalamnya secara orisinil penulis kutip dari tulisan para ulama dan referensi-referensi yang kompeten dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, setiap “klaim”, “kesimpulan”, maupun “serangan” terhadap faham-faham tertentu di dalam buku ini, semua itu bukan untuk tujuan apapun, kecuali untuk mendudukan segala persoalan secara proporsional sebagaimana yang telah dipahami oleh para ulama saleh terdahulu.
• Imam al-Hâfizh Abu Hafsh Ibn Syahin, salah seorang ulama terkemuka yang hidup sezaman dengan Imam al-Hâfizh ad-Daraquthni (w 385 H), berkata: “Ada dua orang saleh yang diberi cobaan berat dengan orang-orang yang sangat buruk dalam aqidahnya. Mereka menyandarkan aqidah buruk itu kepada keduanya, padahal keduanya terbebas dari aqidah buruk tersebut. Kedua orang itu adalah Ja’far ibn Muhammad dan Ahmad ibn Hanbal” .
Orang pertama, yaitu Imam Ja’far ash-Shadiq ibn Imam Muhammad al-Baqir ibn Imam Ali Zainal Abidin ibn Imam asy-Syahid al-Husain ibn Imam Ali ibn Abi Thalib, beliau adalah orang saleh yang dianggap oleh kaum Syi’ah Rafidlah sebagai Imam mereka. Seluruh keyakinan buruk yang ada di dalam ajaran Syi’ah Rafidlah ini mereka sandarkan kepadanya, padahal beliau sendiri sama sekali tidak pernah berkeyakinan seperti apa yang mereka yakini.
Orang ke dua adalah Imam Ahmad ibn Hanbal, salah seorang Imam madzhab yang empat, perintis madzhab Hanbali. Kesucian ajaran dan madzhab yang beliau rintis telah dikotori oleh orang-orang Musyabbihah yang mengaku sebagai pengikut madzhabnya. Mereka banyak melakukan kedustaan-kedustaan dan kebatilan-kebatilan atas nama Ahmad ibn Hanbal, seperti aqidah tajsîm, tasybîh, anti takwil, anti tawassul, anti tabarruk, dan lainnya, yang sama sekali itu semua tidak pernah diyakini oleh Imam Ahmad sendiri. Terlebih di zaman sekarang ini, madzhab Hanbali dapat dikatakan telah “hancur” karena dikotori oleh orang-orang yang secara dusta mengaku sebagai pengikutnya.
Akhirnya, dengan segala keterbatasan dan segala kekurangan yang terdapat dalam buku ini, penulis serahkan sepenuhnya kepada Allah. Segala kekurangan dan aib semoga Allah memperbaikinya, dan seluruh nilai-nilai yang baik dari buku ini semoga menjadi pelajaran yang bermanfaat bagi seluruh orang Islam. Amin.
Wa Shallallâh Wa Sallam ‘Alâ Rasûlillâh.
Wa al-Hamd Lillâh Rabb al-‘Âlamîn.
Prolog; Latar Belakang
Bab I Kata Istawâ Dalam Tinjauan Terminologis
a. Penyebutan Kata Istawâ,_
b. Definisi Arsy,_
c. Makna Istawâ Dalam Tinjauan Bahasa,_
d. Pembahasan Terminologis,_
e. Istawâ Dalam Makna Istawlâ Dan Qahara,_
f. Tidak Semua Makna Istawlâ atau Qahara Berindikasi Sabq al-Mughâlabah,_
g. Penggunaan Kata “Tsumma” Dalam Beberapa Ayat Tentang Istawâ,_
h. Di Atas Arsy Terdapat Tempat,_
i. Makna Nama Allah “al-‘Alyy” Dan Kata“Fawq” Pada Hak-Nya,_
j. Di antara Ulama Ahlussunnah Dari Kalangan Ulama Salaf Dan Khalaf Yang Mentakwil Istawâ Dengan Istawlâ dan Qahara,_
Bab II Penjelasan Imam Empat Madzhab Tentang Makna Istawa
a. Penjelasan Imam Malik ibn Anas,_
b. Penjelasan Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit,_
c. Penjelasan Imam asy-Syafi’i,_
d. Penjelasan Imam Ahmad ibn Hanbal,_
Bab III Jawaban Atas Kerancuan Faham Musyabbihah Dalam Pengingkaran Mereka Terhadap Tafsir Istawâ Dengan Istawlâ
a. Kerancuan Pertama; Pengingkaran Mereka Terhadap Ahli Bahasa,_
b. Kerancuan Kedua; Pemahaman Mereka Tentang Sabq al-Mughâlabah,_
c. Kerancuan ke Tiga; Pengingkaran Mereka Terhadap Sya’ir Tentang Basyr Ibn Marwan,_
d. Kerancuan Ke Empat; Pernyataan Mereka Bahwa Di Dalam Al-Qur’an Tidak Terdapat Penyebutan Kata Istawlâ (Menguasai),_
e. Kerancuan ke Lima; Faedah Penyebutan Arsy Secara Khusus Dalam Ayat-Ayat Tentang Istawâ,_
f. Kerancuan Ke enam; Pengingkaran Mereka Bahwa Tidak Ada Ulama Salaf Yang Mentakwil Istawâ Dengan Istawlâ,_
g. Kerancuan Ke tujuh; Mereka Menyerupakan Sifat Menguasai Basyr Ibn Marwan Dengan Sifat Menguasai (al-Qahr; al-Istîlâ) Pada Hak Allah,_
h. Kerancuan Ke Delapan; Pernyataan Mereka Bahwa Takwil Istawâ Dengan Istawlâ Adalah Faham Mu’tazilah,_
i. Kerancuan Ke Sembilan; Keyakinan Tasybih Utsaimin Dalam Menyerupakan Istawâ Pada Hak Allah Dengan Istawâ Pada Hak Makhluk,_
j. Kerancuan Ke Sepuluh; Mereka Mengatakan Bahwa Metodologi Takwil Sama Dengan Menafikan Sifat-Sifat Allah,_
Bab III Konsensus Akidah Tanzîh
a. Pernyataan Ulama Bahwa Allah Ada Tanpat Dan Tanpa Arah,_
b. Dalil Akal Kecusian Allah Dari Tempat Dan Arah,_
c. Pernyataan Ulama Ahlussunnah Bahwa Allah Tidak Boleh Dikatakan Berada Di Semua Tempat Atau Ada Di Mana-Mana,_
d. Langit Adalah Kiblat Doa,_
e. Pernyataan Ulama Ahlussunnah Tentang Kekufuran Orang Yang Menetapkan Tempat Bagi Allah,_
Penutup; Epilog_
Daftar Pustaka_
DAFTAR PUSTAKA
al-Qur-ân al-Karîm.
Abbas, Sirajuddin, I’tiqad Ahlusuunah Wal Jama’ah, 2002, Pustaka Tarbiyah, Jakarta
Abadi, al-Fairuz, al-Qâmûs al-Muhîth, Cet. Mu’assasah ar-Risalah, Bairut.
Abidin, Ibn, Radd al-Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-Mukhtâr, Cet. Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, Bairut.
Amidi, al, Saifuddin, Abkâr al-Afkâr,
Ashbahani, al, Abu Nu’aim Ahmad Ibn Abdullah (w 430 H), Hilyah al-Awliyâ’ Wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Dar al-Fikr, Bairut
Ashbahani, al, ar-Raghib al-Ashbahani, Mu’jam Mufradât Gharîb Alfâzh al-Qur-ân, tahqîq Nadim Mar’asyli, Bairut, Dar al-Fikr,
Asqalani, al, Ahmad Ibn Ibn Ali Ibn Hajar, Fath al-Bâri Bi Syarh Shahîh al-Bukhâri, tahqîq Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, Cairo: Dar al-Hadits, 1998 M
_________, ad-Durar al-Kâminah Fî al-Ayân al-Mi-ah ats-Tsâminah, Haidarabad, Majlis Da-irah al-Ma’arif al-Utsmaniyyah, cet. 2, 1972.
¬¬¬¬_________, al-Ishâbah Fî Tamyîz ash-Shahâbah, tahqîq Ali Muhammad Bujawi, Bairut, Dar al-Jail, cet. 1, 1992 M
_________, Tahdzîb at-Tahdzîb, Bairut, Dar al-Fikr, 1984 M.
_________, Lisân al-Mîzân, Bairut, Mu’assasah al-Alami Li al-Mathbu’at, 1986 M.
Asakir, Ibn; Abu al-Qasim Ali ibn al-Hasan ibn Hibatillah (w 571 H) Tabyîn Kadzib al-Muftarî Fîmâ Nusiba Ilâ Imam Abî al-Hasan al-Asy’ari, Dar al-Fikr, Damaskus.
Asy’ari, al, Ali ibn Isma’il al-Asy’ari asy-Syafi’i (w 324 H), Risâlah Istihsân al-Khaudl Fî ‘Ilm al-Kalâm, Dar al-Masyari’, cet. 1, 1415 H-1995 M, Bairut
Asy’ari, Hasyim, KH, ‘Aqîdah Ahl as-Sunnah Wa al-Jamâ’ah, Tebuireng, Jombang.
Azdi, al, Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats ibn Ishaq as-Sijistani (w 275 H), Sunan Abî Dâwûd, tahqîq Shidqi Muhammad Jamil, Bairut, Dar al-Fikr, 1414 H-1994 M
Azhari, Isma’il al-Azhari, Mir-ât an-Najdiyyah, India
Baghdadi, al, Abu Manshur Abd al-Qahir ibn Thahir (W 429 H), al-Farq Bayn al-Firaq, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. Tth.
_________, Kitâb Ushûl ad-Dîn, cet. 3, 1401-1981, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.
¬¬_________, Tafsîr al-Asmâ’ Wa ash-Shifât, Turki.
Balabban, Ibn; Muhammad ibn Badruddin ibn Balabban ad-Damasyqi al-Hanbali (w 1083 H), al-Ihsân Bi Tartîb Shahîh Ibn Hibbân, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut
_________, Mukhtashar al-Ifâdât Fî Rub’i al-‘Ibâdât Wa al-Âdâb Wa Ziyâdât. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Bairut
Baghdadi, al, Abu Bakar Ahmad ibn Ali, al-Khathib, Târîkh Baghdâd, Bairut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t. th.
_________, al-Faqîh Wa al-Mutafaqqih, Cet. Dar al-Kutug al-‘Ilmiyyah, Bairut.
Bayjuri, al, Tuhfah al-Murîd Syarh Jawhar at-Tawhîd, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Indonesia
Bayhaqi, al, Abu Bakar ibn al-Husain ibn ‘Ali (w 458 H), al-Asmâ’ Wa ash-Shifât, tahqîq Abdullah ibn ‘Amir, 1423-2002, Dar al-Hadits, Cairo.
_________, Syu’ab al-Îmân, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.
_________, as-Sunan al-Kubrâ, Dar al-Ma’rifah, Bairut. t. th.
Bantani, al, Umar ibn Nawawi al-Jawi, Kâsyifah as-Sajâ Syarh Safînah an-Najâ, Maktabah Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, Indonesia, th.
_________, Salâlim al-Fudalâ Syarh Manzhûmah Kifâyah al-Atqiyâ’ Ilâ Thariq al-Awliyâ’, Syarikat al-Ma’arif Bandung, t. th.
Bakri, al, As-Sayyid Abu Bakar ibn as-Sayyid Ibn Syatha al-Dimyathi, Kifâyah al-Atqiyâ’ Wa Minhâj al-Ashfiyâ’ Syarh Hidâyah al-Adzkiyâ’. Syarikat Ma’arif, Bandung, t. th.
_________, Hâsyiyah I’ânah ath-Thâlibîn ‘Alâ Hall Alfâzh Fath al-Mu’in Li Syarh Qurrah al-‘Ayn Li Muhimmah ad-Dîn, cet. 1, 1418, 1997, Dar al-Fikr, Bairut.
Bayyadli, al, Kamaluddin Ahmad al-Hanafi, Isyârât al-Marâm Min ‘Ibârât Imam, tahqîq Yusuf Abd al-Razzaq, cet. 1, 1368-1949, Syarikah Maktabah Musthafa al-Halabi Wa Auladuh, Cairo.
Bukhari, al, Muhammad ibn Isma’il, Shahîh al-Bukhâri, Bairut, Dar Ibn Katsir al-Yamamah, 1987 M
Dahlan, Ahmad Zaini Dahlan, al-Futûhât al-Islâmiyyah, Cairo, Mesir, th. 1354 H
_________, ad-Durar as-Saniyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, Cet. Musthafa al-Babi al-Halabi, Cairo, Mesir
Dawud, Abu; as-Sijistani, Sunan Abî Dâwûd, Dar al-Janan, Bairut.
Dawud, Abu; ath-Thayalisi, Musnad ath-Thayâlisiy, Cet. Dar al-Ma’rifah, Bairut
Dzahabi, adz-, Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman, Abu Abdillah, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, tahqîq Syua’ib al-Arna’uth dan Muhammad Nu’im al-Arqusysyi, Bairut, Mu’assasah ar-Risalah, 1413 H.
_________, Mîzân al-I’tidâl Fî Naqd al-Rijâl, tahqîq Muhammad Mu’awwid dan Adil Ahmad Abd al-Maujud, Bairut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. 1, 1995 M
_________, an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah, Bairut: Dar al-Masyari’, 1419 H-1998 M.
Dimyathi, ad, Abu Bakar as-Sayyid Bakri ibn as-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Kifâyah al-Atqiyâ’ Wa Minhâj al-Ashfiyâ’ Syarh Hidâyah al-Adzkiyâ’, Bungkul Indah, Surabaya, t. th.
Fayyumi, al, al-Mishbâh al-Munîr, Cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.
Ghazali, al, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ath-Thusi (w 505 H), Kitâb al-Arba’în Fî Ushûl ad-Dîn, cet. 1408-1988, Dar al-Jail, Bairut
_________, al-Maqshad al-Asnâ Syarh Asmâ’ Allâh al-Husnâ, t. th, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cairo
_________, Minhâj al-Âbidîn, t. th. Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, Indonesia
_________, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, Dar al-Fikr, Bairut.
Ghumari, al, as-Sayyid Ahmad ibn Muhammad ash-Shiddiq al-Hasani al-Maghribi, Abu al-Faidl, al-Mughîr ‘Alâ al-Ahâdîts al-Mawdlû’ah Fî al-Jâmi’ ash-Shaghîr, cet. 1, t. th. Dar al-‘Ahd al-Jadid
Hanbal, Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Dar al-Fikr, Bairut
Haytami, al, Ahmad Ibn Hajar al-Makki, Syihabuddin, al-Fatâwâ al-Hadîtsiyyah, t. th. Dar al-Fikr
_________, al-I’lâm Bi Qawâthi’ al-Islâm, cet. Dar al-Fikr, Bairut
Hakim, al, al-Mustadrak ‘Alâ al-Shahîhayn, Bairut, Dar al-Ma’rifah, t. th.
Habasyi, al, Abdullah ibn Muhammad ibn Yusuf, Abu Abdirrahman, al-Maqâlât as-Sunniyah Fî Kasyf Dlalâlât Ahmad Ibn Taimiyah, Bairut: Dar al-Masyari’, cet. IV, 1419 H-1998 M.
_________, asy-Syarh al-Qawîm Fî Hall Alfâzh ash-Shirât al-Mustaqîm, cet. 3, 1421-2000, Dar al-Masyari’, Bairut.
_________, ad-Dalîl al-Qawîm ‘Alâ ash-Shirâth al-Mustaqîm, Thubi’ ‘Ala Nafaqat Ahl al-Khair, cet. 2, 1397 H. Bairut
_________, ad-Durrah al-Bahiyyah Fî Hall Alfâzh al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah, cet. 2, 1419-1999, Dar al-Masyari’, Bairut.
_________, Sharîh al-Bayân Fî ar-Radd ‘Alâ Man Khâlaf al-Qur-ân, cet. 4, 1423-2002, Dar al-Masyari’, Bairut.
_________, Izh-hâr al-‘Aqîdah as-Sunniyyah Fî Syarh al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah, cet. 3, 1417-1997, Dar al-Masyari’, Bairut
_________, al-Mathâlib al-Wafiyyah Bi Syarh al-’Aqîdah an-Nasafiyyah, cet. 2, 1418-1998, Dar al-Masyari’, Bairut
_________, at-Tahdzîr asy-Syar’iyy al-Wâjib, cet. 1, 1422-2001, Dar al-Masyari’, Bairut.
Haddad, al, Abdullah ibn Alawi ibn Muhammad, Risâlah al-Mu’âwanah Wa al-Muzhâharah Wa al-Ma’âzarah, Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, Indonesia.
Haramain, al, Imam, Abu al-Ma’ali Abd al-Malik al-Juwaini, al-‘Aqîdah an-Nizhâmiyyah, ta’lîq Muhammad Zahid al-Kautsari, Mathba’ah al-Anwar, 1367 H-1948 M.
Hayyan, Abu Hayyan al-Andalusi, an-Nahr al-Mâdd Min al-Bahr al-Muhîth, Dar al-Jinan, Bairut.
Hibban, Ibn, ats-Tsiqât, Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqafiyyah, Bairut
Hushni, al, Taqiyyuddin Abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini ad-Dimasyqi ( w 829 H), Kifâyah al-Akhyâr Fî Hall Ghâyah al-Ikhtishâr, Dar al-Fikr, Bairut. t. th.
_________, Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad Wa Nasab Dzâlik Ilâ Imam al-Jalîl Ahmad, al-Maktabah al-Azhariyyah Li at-Turats, t. th.
Imad, al, Ibn; Abu al-Falah ibn Abd al-Hayy al-Hanbali, Syadzarât adz-Dzahab Fî Akhbâr Man Dzahab, tahqîq Lajnah Ihya al-Turats al-‘Arabi, Bairut, Dar al-Afaq al-Jadidah, t. th.
Iraqi, al, Zaynuddin Abd ar-Rahim ibn al-Husain, Tharh at-Tatsrîb Fî Syarh at-Taqrîb, cet. Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Bairut.
Iyadl, Abu al-Fadl Iyyadl ibn Musa ibn ‘Iyadl al-Yahshubi, asy-Syifâ Bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ, tahqîq Kamal Basyuni Zaghlul al-Mishri, Isyrâf Maktab al-Buhuts Wa al-Dirasat, cet. 1421-2000, Dar al-Fikr, Bairut.
Isfirayini, al, Abu al-Mudzaffar (w 471 H), at-Tabshîr Fî ad-Dîn Fî Tamyîz al-Firqah al-Nâjiyah Min al-Firaq al-Hâlikîn, ta’liq Muhammad Zahid al-Kautsari, Mathba’ah al-Anwar, cet. 1, th.1359 H, Cairo.
Jailani-al, Abd al-Qadir ibn Musa ibn Abdullah, Abu Shalih al-Jailani, al-Gunyah, Dar al-Fikr, Bairut
Jama’ah, Ibn, Muhammad ibn Ibrahim ibn Sa’adullah ibn Jama’ah dikenal dengan Badruddin ibn Jama’ah (w 727 H), Idlâh ad-Dalîl Fi Qath’i Hujaj Ahl al-Ta’thîl, tahqîq Wahbi Sulaiman Ghawaji, Dar al-Salam, 1410 H-1990 M, Cairo
Jawzi, al, Ibn; Abu al-Faraj Abd ar-Rahman ibn al-Jawzi (w 597 H), Talbîs Iblîs, tahqîq Aiman Shalih Sya’ban, Cairo: Dar al-Hadits, 1424 H-2003 M
¬¬_________, Daf’u Syubah at-Tasybîh Bi Akaff at-Tanzîh, tahqîq Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari, Muraja’ah DR. Ahmad Hijazi as-Saqa, Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1412-1991
_________, Zad al-Masîr Fî ‘Ilm at-Tafsîr, Cet. Zuhair asy-Syawisy, Bairut.
Jawziyyah, al; Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Hâdî al-Arwâh Ilâ Bilâd al-Afrâh, Ramadi Li an-Nasyr, Bairut.
Kalabadzi-al, Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub al-Bukhari, Abu Bakar (w 380 H), at-Ta’arruf Li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, tahqîq Mahmud Amin an-Nawawi, cet. 1, 1388-1969, Maktabah al-Kuliyyat al-Azhariyyah Husain Muhammad Anbabi al-Musawi, Cairo
Katsir, Ibn; Isma’il ibn Umar, Abu al-Fida, al-Bidâyah Wa an-Nihâyah, Bairut, Maktabah al-Ma’arif, t. th.
Kautsari, al, Muhammad Zahid ibn al-Hasan al-Kautsari, Takmilah ar-Radd ‘Alâ Nûniyyah Ibn al-Qayyim, Mathba’ah al-Sa’adah, Mesir.
_________, Maqâlât al-Kawtsari, Dar al-Ahnaf , cet. 1, 1414 H-1993 M, Riyadl.
Khalifah, Haji, Musthafa Abdullah al-Qasthanthini al-Rumi al-Hanafi al-Mulla, Kasyf al-Zhunûn ‘An Asâmi al-Kutub Wa al-Funûn, Dar al-Fikr, Bairut.
Khallikan, Ibn; Wafayât al-A’yân, Dar al-Tsaqafah, Bairut
Laknawi, al, Abu al-Hasanat Muhammad Abd al-Hayy al-Laknawi al-Hindi, ar-Raf’u Wa at-Takmîl Fî al-Jarh Wa at-Ta’dîl, tahqîq Abd al-Fattah Abu Ghuddah, cet. Dar al-Basya-r al-Islamiyyah, Bairut.
Majah, Ibn, Sunan, cet. al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, Bairut.
Malik, ibn Anas, al-Muwath-tha-, cet. Dar asy-Sya’b, Cairo.
Manzhur, Ibn, al-Ifriqi, Lisân al-‘Arab, cet. Dar Shadir, Bairut.
Maqarri-al, Ahmad al-Maghrirbi al-Maliki al-Asy’ari, Idla-âh al-Dujunnah Fi I’tiqâd Ahl al-Sunnah, Dar al-Fikr, Bairut.
Maturidi, al, Abu Manshur, Kitâb al-Tawhîd, Dar al-Masyriq, Bairut
Malibari, al, Zainuddin Ibn Ali, Nadzm Hidâyah al-Adzkiyâ’, Syirkah Bukul Indah, Surabaya, t. th.
Makki, al, Tajuddin Muhammad Ibn Hibatillah al-Hamawi, Muntakhab Hadâ-iq al-Fushûl Wa Jawâhir al-Ushûl Fî ‘Ilm al-Kalâm ‘Alâ Ushul Abî al-Hasan al-Asy’ari, cet, 1, 1416-1996, Dar al-Masyari’, Bairut
Mayyarah, Ahmad Mayyarah, ad-Durr at-Tsamîn Wa al-Mawrid al-Mu’în Syarh al-Mursyid al-Mu’în ‘Alâ adl-Dlarûriyy Min ‘Ilm ad-Dîn, cet. Dar al-Fikr, Bairut.
Mizzi, al, Tahdzîb al-Kamâl Fî Asmâ’ ar-Rijâl, Mu’assasah ar-Risalah, Bairut.
Mutawalli, al, al-Ghunyah Fî Ushûl ad-Din, Mu’assasah al-Kutub ats-Tsaqafiyyah, Bairut.
Muslim, Muslim ibn al-Hajjaj, Shahîh Muslim, Cat. Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, Bairut.
Nabhani, al, Yusuf Isma’il, Jâmi’ Karâmât al-Awliyâ’, Dar al-Fikr, Bairut
Naisaburi, al, Muslim ibn al-Hajjaj, al-Qusyairi (w 261 H), Shahîh Muslim, tahqîq Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, Bairut, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1404
Nawawi, al, Yahya ibn Syaraf, Muhyiddin, Abu Zakariya, al-Minhâj Bi Syarh Shahîh Muslim Ibn al-Hajjâj, Cairo, al-Maktab ats-Tsaqafi, 2001 H.
_________, Rawdlah at-Thâlibîn, cet. Dar al-Fikr, Bairut.
Najdi, an, Muhammad ibn Humaid an-Najdi, as-Suhub al-Wâbilah ‘Alâ Dlarâ-ih al-Hanâbilah, Cet. Maktabah Imam Ahmad.
Qari, al, Ali Mulla al-Qari, Syarh al-Fiqh al-Akbar, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut
Qadli, al, Samir, Mursyid al-Hâ-ir Fî Hall Alfâzh Risâlah Ibn ‘Asâkir, cet. I, 1414 H-1994 M, Dar al-Masyari’, Bairut
Qath-than, Ibn, Abu al-Hasan Ali ibn al-Qath-than (w 628 H), an-Nazhar Fî Ahkâm an-Nazhar Bi Hâssah al-Bashar, tahqîq Muhammad Abu al-Ajfan, Cet. Maktabah at-Taubah, Riyadl
Qusyairi, al, Abu al-Qasim Abd al-Karim ibn Hawazan an-Naisaburi, ar-Risâlah al-Qusyairiyyah, tahqîq Ma’ruf Zuraiq dan ‘Ali Abd al-Hamid Balthahji, Dar al-Khair.
Qurthubi, al, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Dar al-Fikr, Bairut
Rifa’i, ar, Abu al-Abbas Ahmad ar-Rifa’i al-Kabîr ibn al-Sulthan Ali, Maqâlât Min al-Burhân al-Mu’ayyad, cet. 1, 1425-2004, Dar al-Masyari’, Bairut.
Razi, ar, Fakhruddin ar-Razi, at-Tafsîr al-Kabîr Wa Mafâtîh al-Ghayb, Dar al-Fikr, Bairut
Sarraj, as, Abu Nashr, Al-Luma’, tahqîq Abd al-Halim Mahmud dan Thaha Abd al-Baqi Surur, Maktabah ats-Tsaqafah al-Diniyyah, Cairo Mesir
Syafi’i, asy, Muhammad ibn Idris ibn Syafi’ (w 204 H), al-Kawkab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, al-Maktabah al-Tijariyyah Mushthafa Ahmad al-Baz, Mekah, t. th.
Sya’rani, as, Abd al-Wahhab, ath-Thabaqat al-Qubra, Maktabah al-Taufiqiyyah, Amam Bab al-Ahdlar, Cairo Mesir.
_________, al-Yawâqît Wa al-Jawâhir Fî Bayân ‘Aqâ-id al-Akâbir, t. th, Mathba’ah al-Haramain.
_________, al-Kibrît al-Ahmar Fî Bayân ‘Ulum asy-Syaikh al-Akbar, t. th, Mathba’ah al-Haramain.
_________, al-Anwâr al-Qudsiyyah al-Muntaqat Min al-Futûhât al-Makkiyyah, Bairut, Dar al-Fikr, t. th.
_________, Lathâ-if al-Minan Wa al-Akhlâq, Alam al-Fikr, Cairo
Subki, as, Taqiyyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki, as-Sayf ash-Shaqîl Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Zafîl, Mathba’ah al-Sa’adah, Mesir.
_________, ad-Durrah al-Mudliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah, dari manuskrif Muhammad Zahid al-Kautsari, cet. Al-Qudsi, Damaskus, Siria, th. 1347
_________, al-I’tibâr Bi Baqâ’ al-Jannah Wa an-Nâr, dari manuskrif Muhammad Zahid al-Kautsari, cet. Al-Qudsi, Damaskus, Siria, th. 1347
Subki, as, Tajuddin Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki, Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ, tahqîq Abd al-Fattah dan Mahmud Muhammad ath-Thanahi, Bairut, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah.
Subki, as, Mahmud, Ithâf al-Kâ-inât Bi Bayân Madzhab as-Salaf Wa al-Khalaf Fi al-Mutasyâbihât, Mathba’ah al-Istiqamah, Mesir
Suhrawardi, as, Awârif al-Ma’ârif, Dar al-Fikr, Bairut
Syakkur, asy, Abd, Senori, KH, al-Kawâkib al-Lammâ’ah Fî Bayân ‘Aqîdah Ahl al-Sunnah Wa al-Jamâ’ah
Syahrastani, asy, Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakr Ahmad, al-Milal Wa an-Nihal, ta’lîq Shidqi Jamil al-‘Athar, cet. 2, 1422-2002, Dar al-Fikr, Bairut.
Sulami, as, Abu Abd ar-Rahman Muhammad Ibn al-Husain (w 412 H), Thabaqât ash-Shûfiyyah, tahqîq Musthafa Abd al-Qadir Atha, Mansyurat Ali Baidlun, cet. 2, 1424-2003, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.
Suyuthi, as, Jalaluddin Abd ar-Rahman ibn Abi Bakr, al-Hâwî Li al-Fatâwî, cet. 1, 1412-1992, Dar al-Jail, Bairut.
¬¬¬¬¬¬¬¬¬_________, ad-Durr al-Mantsûr Fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr, Dar al-Fikr, Bairut.
Tabban, Arabi (Abi Hamid ibn Marzuq), Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, Mathba’ah al-‘Ilm, Damaskus, Siria, th. 1968 M-1388 H
Taimiyah, Ibn; Ahmad ibn Taimiyah, Minhâj as-Sunnah an-Nabawiyyah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.
¬¬¬_________, Muwâfaqah Sharîh al-Ma’qûl Li Shahîh al-Manqûl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.
_________, Syarh Hadîts an-Nuzûl, Cet. Zuhair asy-Syawisy, Bairut.
_________, Majmû Fatâwâ, Dar ‘Alam al-Kutub, Riyadl.
_________, Naqd Marâtib al-Ijmâ’ Li Ibn Hazm, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.
_________, Bayân Talbîs al-Jahmiyyah, Mekah.
Thabari, ath, Târîkh al-Umam Wa al-Mulûk, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.
_________, Tafsîr Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta-wîl Ây al-Qur-ân, Dar al-Fikr, Bairut
Tim Pengkajian Keislaman Pada Jam’iyyah al-Masyari al-Khairiyyah al-Islamiyyah, al-Jawhar ats-Tsamîn Fî Ba’dl Man Isytahar Dzikruh Bayn al-Muslimîn, Bairut, Dar al-Masyari’, 1423 H, 2002 M.
_________, at-Tasyarruf Bi Dzikr Ahl at-Tashawwuf, Bairut, Dar al-Masyari, cet. I, 1423 H-2002 M
Thabarani, ath, Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayyub, Abu Sulaiman (w 360 H), al-Mu’jam ash-Shagîr, tahqîq Yusuf Kamal al-Hut, Bairut, Muassasah al-Kutuh al-Tsaqafiyyah, 1406 H-1986 M.
_________, al-Mu’jam al-Awsath, Bairut, Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyyah.
_________, al-Mu’jam al-Kabîr, Bairut, Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyyah.
Tirmidzi, at, Muhammad ibn Isa ibn Surah as-Sulami, Abu Isa, Sunan at-Tirmidzi, Bairut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t. th.
Zabidi, az, Muhammad Murtadla al-Husaini, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn Bi Syarh Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, Bairut, Dar at-Turats al-‘Arabi
¬¬_________, Tâj al-‘Arûs Syarh al-Qâmûs, Cet. al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, Bairut.
Zurqani, az, Abu Abdillah Muhammad ibn Abd al-Baqi az-Zurqani (w 1122 H), Syarh az-Zurqâni ‘Alâ al-Muwatha’, Dar al-Ma’rifah, Bairut.
Data Penyusun
H. Kholilurrohman Abu Fateh, Lc, MA, lahir di Subang 15 November 1975, Dosen Unit Kerja Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (DPK/Diperbantukan di STAI Al-Aqidah al-Hasyimiyyah Jakarta). Jenjang pendidikan formal dan non formal, di antaranya; Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta (1993), Institut Islam Daarul Rahman (IID) Jakarta (S1/Syari’ah Wa al-Qanun) (1998), STAI az-Ziyadah Jakarta (S1/Ekonomi Islam) (2002), Pendidikan Kader Ulama (PKU) Prop. DKI Jakarta (2000), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (S2/Tafsir dan Hadits) (2005), Tahfîzh al-Qur’an di Pondok Pesantren Manba’ul Furqon Leuwiliang Bogor (Non Intensif), “Ngaji face to face” (Tallaqqî Bi al-Musyâfahah) untuk mendapatkan sanad beberapa disiplin ilmu kepada beberapa Kiyai dan Haba-ib di wilayah Jawa Barat, Banten, dan khususnya di wilayah Prop. DKI Jakarta. Khâdim pada Syabab Ahlussunnah Wal Jama’ah (Syahamah) Jakarta, sebuah organisasi yang aktif membela aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah; al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Selain sebagai dosen juga mengajar di beberapa Pondok Pesantren dan memimpin beberapa Majalis ‘Ilmiyyah di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Sekarang tengah menyelesaikan jenjang S3 (Doktor) di UIN Syarif Haidayatullah Jakarta pada konsentrasi Tafsir Dan Hadits.
Ijâzah sanad (mata rantai) keilmuan yang telah didapat di antaranya; dalam seluruh karya Syekh Nawawi al-Bantani dari KH. Abdul Jalil (Senori Tuban); dari KH. Ba Fadlal; dari KH. Abdul Syakur; dari Syekh Nawawi Banten. KH. Ba Fadlal selain dari KH. Abdul Syakur, juga mendapat sanad dari KH. Hasyim Asy’ari (Tebuireng); dari Syekh Nawawi Banten.
Kemudian dalam seluruh disiplin ilmu Islam; mendapatkan Ijâzah ‘Âmmah dari KH. Abdul Hannan Ma’shum (Kediri); dari KH. Abu Razin Muhammad Ahmad Sahal Mahfuzh (Pati); dari KH. Zubair ibn Dahlan (Sarang) dan al-Musnid Syekh Yasin al-Padani. Secara khusus; Syekh Yasin al-Padani telah membukukan seluruh sanad beliau (ats-Tsabt) di antaranya dalam kitab “al-‘Iqd al-Farîd Min Jawâhir al-Asânîd”.

Kitab Tafsir Muktbar sunni ( Allah ada tanpa tempat) : Tafsir istawa di kitab tafsir annasafi

Istawa Dalam Tafsir An-Nasafi

Dalam Tafsir an-Nasafi terbukti bahwa Salafi Wahabi adalah pendusta agama yang berdusta atas nama Al-Quran dan as-Sunnah, dan memfitnah para ulama Salaf atas nama Manhaj Salaf, mereka dalam bab Mutasyabihat mentafwidh kaifyat dan mentafsirkan dengan makna dhohir, mereka sangat anti dengan Ta’wil dan mengkafirkan aqidah Ta’wil, mereka sangan anti dengan Ta’wil Istawa dengan Istaula, sementara dakwaan mereka sebalik dengan hakikat Manhaj Salaf sesungguhnya, sebagai bukti mari buka Tafsir an-Nasafi, dan lihat apa kata Imam an-Nasafi sebagai berikut :
{ استوى } استولى . عن الزجاج ، ونبه بذكر العرش وهو أعظم المخلوقات على غيره . وقيل : لما كان الاستواء على العرش وهو سرير الملك مما يردف الملك جعلوه كناية عن الملك فقال استوى فلان على العرش أي ملك وإن لم يقعد على السرير ألبتة وهذا كقولك «يد فلان مبسوطة» أي جواد وإن لم يكن له يد رأساً ، والمذهب قول علي رضي الله عنه : الاستواء غير مجهول والتكييف غير معقول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة لأنه تعالى كان ولا مكان فهو على ما كان قبل خلق المكان لم يتغير عما كان .
“Istawa artinya Istaula (menguasai) dihikayahkan dari Imam az-Zajjaj as-Salafi (241-311 H), dan memberitahu dengan penyebutan ‘Arasy atas lain nya, dan dia adalah sebesar-besar makhluk, dan dikatakan : manakala Istiwa’ atas ‘Arasy yaitu singgasana Raja adalah sebagian dari sesuatu yang berhubungan dengan milik, maka para ulama menjadikan Istiwa’ sebagai kinayah dari pada milik, maka dikatakan Istawa fulan atas ‘Arasy artinya memiliki nya, sekalipun ia tidak duduk atas singgasana sama sekali, demikian seperti perkataan “tangan si fulan luas” artinya pemurah sekalipun ia tidak punya tangan pada kenyataan nya. Dan pendapat kuat itu pernyataan Sayyidina Ali –radhiyallahu ‘anhu- : Istiwa’ tidak majhul, dan menguraikan kaifiyat nya tidak ma’qul, dan beriman dengan nya wajib, dan bertanya tentang nya Bid’ah, karena sesungguhnya Allah taala ada dan tidak ada tempat, maka Allah tetap sebagaimana sebelum menciptakan tempat, Allah tidak berubah sebagaimana ada-Nya”.
Perhatikan scan kitab berikut



{ استوى } استولى . عن الزجاج
“Istawa artinya Istaula (menguasai) dihikayahkan dari Imam az-Zajjaj as-Salafi (241-311 H)”
Maksudnya : Imam an-Nasafi merujuk ke Tafsir Imam az-Zajjaj as-Salafi, dalam Tafsirnya az-Zajjaj menta’wil Istawa dengan Istaula, inilah bukti bahwa Ta’wil juga berasal dari Manhaj Salaf, karena sebagian ulama Salaf melakukan Ta’wil pada sebagian ayat Mutasyabihat, Cuma kebanyakan ulama Salaf lebih memilih Tafwidh makna dan tidak mengkafirkan ulama yang bermanhaj Ta’wil, dua manhaj Ta’wil dan Tafwidh adalah metode agar tidak terjebak dengan Tasybih dalam makna dhohir nya, lain hal nya dengan Salafi Wahabi yang tidak melakukan Tafwidh seperti Tafwidh nya Salaf, dan juga mengkafirkan orang yang bermanhaj Ta’wil, dan mereka justru mentafsirkan nya dengan makna dhohir yang terdapat Tasybih dan Tajsim pada nya.

ونبه بذكر العرش وهو أعظم المخلوقات على غيره
“dan memberitahu dengan penyebutan ‘Arasy atas lain nya, dan dia adalah sebesar-besar makhluk”
Maksudnya : kenapa disebutkan ‘Arasy bila Istawa bermakna Istaula, padahal Allah menguasai semua makhluk-Nya, bukan hanya ‘Arasy, maka jawabnya dengan penyebutan ‘Arasy maka termasuklah semua makhluk lain, karena ‘Arasy adalah makhluk yang paling besar.

وقيل : لما كان الاستواء على العرش وهو سرير الملك مما يردف الملك جعلوه كناية عن الملك
“dan dikatakan : manakala Istiwa’ atas ‘Arasy yaitu singgasana Raja adalah sebagian dari sesuatu yang berhubungan dengan milik, maka para ulama menjadikan Istiwa’ sebagai kinayah dari pada milik”
Maksudnya : Sebagian ulama mentafsirkan Istawa dengan makna memiliki, karena punya hubungan antara makna Istiwa’ dan makna milik, karena tertegah memaknai nya dengan makna dhohir Istawa, maka kata Istawa adalah kinayah dari memiliki.

فقال استوى فلان على العرش أي ملك وإن لم يقعد على السرير ألبتة وهذا كقولك «يد فلان مبسوطة» أي جواد وإن لم يكن له يد رأساً
“maka dikatakan Istawa fulan atas ‘Arasy artinya memiliki nya, sekalipun ia tidak duduk atas singgasana sama sekali, demikian seperti perkataan “tangan si fulan luas” artinya pemurah sekalipun ia tidak punya tangan pada kenyataan nya”
Maksudnya : ketika dikatakan bahwa “si fulan bersemayam /beristiwa’ atas singgasana, maka artinya si fulan memiliki singgasana tersebut walaupun ia tidak berada /bersemayam di atas nya, demikian juga seperti dikatakan “Tangan si fulan luas” maka artinya si fulan adalah seorang yang pemurah, sekalipun ia tidak punya tangan sama sekali, karena kata tangan adalah kiasan dari pemurah, sebagaimana Istawa adalah kiasan dari memiliki.

والمذهب قول علي رضي الله عنه : الاستواء غير مجهول
“Dan pendapat kuat itu pernyataan Sayyidina Ali –radhiyallahu ‘anhu- : Istiwa’ tidak majhul”
Maksudnya : Pendapat kuat dalam masalah makna ayat Mutasyabihat adalah sebagaimana Manhaj kebanyakan ulama Salaf yaitu pernyataan Sayyidina Ali –Radhiyallahu ‘anhu- bahwa Istawa tidak majhul artinya telah dimaklumi kata Istawa dari Al-Quran dan dimaklumi makna dhohirnya, tapi tidak dimaklumi makna maksud darinya. Dapatlah diketahui bahwa tentang masalah makna nash Mutasyabihat adalah masalah khilafiyah, ketika makna dhohirnya tidak boleh dinisbahkan kepada Allah, maka boleh memaknainya dengan makna apa saja yang layak dengan keagungan dan kesempurnaan Allah, sehingga lahirlah bermacam ta’wil dengan makna yang layak dengan Allah, sementara kebanyakan ulama Salaf lebih memilih tidak menentukan satu makna tertentu untuk kata tersebut, karena apapun makna yang dipakai, semua makna itu tidak akan mampu mewakili kata yang telah dipilih oleh Allah untuk diri-Nya.

والتكييف غير معقول
“menguraikan kaifiyat nya tidak ma’qul”
Maksudnya : berbicara tentang kaifiyat nya adalah tidak masuk akal (mustahil), bagaimana pun mengurai kaifiyat nya, namun yakinlah bahwa Allah tidak seperti demikian.

والإيمان به واجب
“dan beriman dengan nya wajib”
Maksudnya : Wajib beriman dengan kata Istawa karena jelas penyebutan nya dalam Al-Quran, bukan beriman dengan makna dhohir, sementara beriman dengan makna dhohir adalah tidak boleh karena terdapat Tasybih padanya, maka mengingkari makna dhohir tidak menjadi kafir karena nya, tapi kafir bila ingkar kata Istawa, maka termasuk dalam orang yang beriman di sini adalah orang yang bermanhaj Ta’wil.
والسؤال عنه بدعة
“dan bertanya tentang nya Bid’ah”
Maksudnya : Bertanya tentang Istawa Bid’ah dan bahkan membicarakan dan menguraikan ini adalah Bid’ah, tapi mudah-mudahan ini Bid’ah hasanah, karena para ulama telah menguraikan nya, selama tidak membicarakan kaifiyat nya.

لأنه تعالى كان ولا مكان
“karena sesungguhnya Allah taala ada dan tidak ada tempat”
Maksudnya : Ini poin penting, apa hubungan nya dengan Istawa, seandainya makna dhohir Istawa yaitubersemayam itu layak dengan keagungan dan kesempurnaan Allah, maka tidak ada hubungan Istawa dengan pernyataan Sayyidina Ali ini, tapi Sayyidina Ali mengatakan Allah telah ada dan tidak ada tempat, artinya sebelum ada ‘Arasy Allah tidak bersifat dengan bertempat/bersemayam, maka setelah menciptakan ‘Arasy juga demikian, maka makna dhohir yang dipahami bahwa Allah bertempat atau bersemayam di atas ‘Arasy setelah menciptakan ‘Arasy adalah tidak layak dengan keagungan dan kesempurnaan Allah, karena terdapat Tasybih di dalam nya, inilah hubungan antara pernyataan ini dengan Istawa.

فهو على ما كان قبل خلق المكان لم يتغير عما كان
“maka Allah tetap sebagaimana sebelum menciptakan tempat, Allah tidak berubah sebagaimana ada-Nya”.
Maksudnya : Dzat Allah dan sifat-sifat Allah tidak berubah atau bertambah, sebagaimana Allah ada sebelum menciptakan apapun, begitu juga Allah setelah menciptakan makhluk-Nya dan selama nya, sementara Salafi Wahabi percaya dan sangat yakin bahwa Allah berubah dan bertambah sifat-Nya ketika menciptakan ‘Arasy dan langit. Na’uzubillah
Kesimpulan dari Tafsir an-Nasafi adalah :
·         Sepakat ulama Salaf tidak memahami nash Mutasyabihat dengan makna dhohir, dengan dua metode Tafwidh makna dan Ta’wil makna.
·         Kebanyakan ulama Salaf memilih Tafwidh dan sebagian ulama Salaf memilih Ta’wil.
·         Ta’wil Istawa dengan Istaula adalah Ta’wil dari Manhaj sebagian Salaf.
·         Ulama Salaf tidak anti Ta’wil.
·         Manhaj Salaf bukan mentafwidh kaifiyat, tapi mentafwidh makna maksud kepada Allah.

Wallahu a’lam

Kitab Tafsir mu’tabar Sunni (Allah ada tanpa tempat dan arah) : Tafsir Istawa Dalam Tafsir Ibnu Katsir – Tafsir Annasafi – Imam qurtubi

Istawa Dalam Tafsir Ibnu Katsir
    Tulisan ini kami persembahkan buat mereka yang tiap minggu Dauroh kajian Tafsir Ibnu Katsir, tapi pemahaman mereka justru berbeda dengan kajian-kajian mereka, parah nya penyakit Tasybih yang sudah mendarah daging dalam keras nya hati mereka, membuat mereka sulit menerima fakta kebenaran nya, dan membuat mereka tidak bisa menyadari bahaya besar yang sedang menjerat akidah mereka, hendak nya tulisan ini menjadi semangat baru bagi mereka agar kembali membuka kembali kajian mereka dan semoga tulisan ini menjadi pertimbangan dalam kajian ulangan nanti nya. Kesalahan mereka dalam memahami hakikat Manhaj Salaf telah menjadikan mereka sebagai fitnah agama ini, sebagai bukti mari lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang “Istawa”atau tentang bab Mutasyabihat umum nya, dan bagaimana hakikat Manhaj Salaf versi Ibnu Katsir akan kita pahami di sini. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir -Surat al-A’raf – ayat 54 sebagai berikut :
    وأما قوله تعالى: { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنمايُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري،والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل،وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولاتعطيل. والظاهر المتبادر إلى أذهان المشبهين منفي عن الله، فإن الله لا يشبهه شيء من خلقه، و { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌوَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ } بل الأمر كما قال الأئمة -منهم نُعَيْم بن حماد الخزاعي شيخ البخاري -: “من شبه الله بخلقه فقدكفر، ومن جحد ما وصف الله به نفسه فقد كفر”. وليس فيما وصف الله به نفسه ولا رسوله تشبيه، فمن أثبت للهتعالى ما وردت به الآيات الصريحة والأخبار الصحيحة، على الوجه الذي يليق بجلال الله تعالى، ونفى عن الله تعالىالنقائص، فقد سلك سبيل الهدى.
    Barkata Ibnu Katsir dalam Tafsirnya :
    “Adapun firman Allah taala { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } maka bagi manusia pada tempat ini pernyataan yang banyak sekali, di sini tidak mengupas semua nya, di sini hanya menempuh Madzhab Salafus Sholih yaitu imam Malik, dan al-Auza’i, dan Al-tsuri, al-laits bin sa’ad dan imam Syafi’i dan imam Ahmad dan Ishaq bin rahawaih dan selain mereka dari ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang, dan Madzhab Salaf adalah memperlakukan ayat tersebut sebagaimana datang nya, dengan tanpa takyif (memerincikan kaifiyat nya) dan tanpa tasybih (menyerupakan dengan makhluk) dan tanpa ta’thil (meniadakan)  dan makna dhohir (lughat) yang terbayang dalam hati seseorang, itu tidak ada pada Allah, karena sesungguhnya Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya, dan [tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia maha mendengar lagi maha melihat. QS Asy-Syura ayat 11], bahkan masalahnya adalah sebagaimana berkata para ulama diantaranya adalah Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata : “Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka sungguh ia telah kafir, dan barang siapa yang mengingkari  sifat yang Allah sifatkan (sebutkan) kepada diri-Nya, maka sungguh ia telah kafir”. Dan tidak ada penyerupaan (Tasybih) pada sifat yang disifatkan/disebutkan oleh Allah dan Rasul kepada diri-Nya, maka barang siapa yang menetapkan bagi Allah taala akan sesuatu yang telah datang ayat yang shorih (ayat Muhkam) dan Hadits yang shohih, dengan cara yang layak dengan keagungan Allah taala, dan meniadakan segala kekurangan dari Allah taala, maka sungguh ia telah menempuh jalan yang terpetunjuk”.[Tafsir Ibnu Katsir -Surat al-A’raf – ayat 54]
    Perhatikan scan kitab di bawah :


    Mari kita pahami uraian Ibnu Katsir tentang “Istawa” di atas pelan-pelan :
    فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري،والليث بنسعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا
    “maka bagi manusia pada tempat ini pernyataan yang banyak sekali, di sini tidak mengupas semua nya, di sini hanya menempuh Madzhab Salafus Sholih yaitu imam Malik, dan al-Auza’i, dan Al-tsuri, al-laits bin sa’ad dan imam Syafi’i dan imam Ahmad dan Ishaq bin rahawaih dan selain mereka dari ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang”
    Maksudnya : pada ayat-ayat Mutasyabihat seperti ayat tersebut ada banyak pendapat manusia, dan di sini Ibnu Katsir tidak membahas semua nya, hanya membahas bagaimana pendapat kebanyakan ulama Salaf saja seperti imam Malik, dan al-Auza’i, dan Al-tsuri, al-laits bin sa’ad dan imam Syafi’i dan imam Ahmad dan Ishaq bin rahawaih dan selain mereka dari ulama-ulama islam, dari sini nantinya kita pahami mana Manhaj Salaf / Madzhab Salaf sebenarnya, agar tidak tertipu dengan tipu daya Salafi Wahabi yang juga mengaku bermanhaj Salaf.
    وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل. والظاهر المتبادر إلى أذهان المشبهين منفي عن الله
    “dan Madzhab Salaf adalah memperlakukan ayat tersebut sebagaimana datang nya, dengan tanpa takyif (memerincikan kaifiyat nya) dan tanpa tasybih (menyerupakan dengan makhluk) dan tanpa ta’thil (meniadakan)  dan makna dhohir (lughat) yang terbayang dalam hati seseorang, itu tidak ada pada Allah”
    Maksudnya : Menurut Ibnu Katsir, Manhaj Salaf adalah memberlakukan ayat-ayat Mutasyabihat sebagaimana datang nya dari Al-Quran, artinya para ulama Salaf ketika membahas atau membicarakan atau menulis ayat tersebut, selalu menggunakan kata yang datang dalam Al-Quran tanpa menggunakan kata lain, baik dengan Tafsirnya atau Ta’wilnya atau bahkan terjemahannya, atau biasa disebut dengan metode Tafwidh makna, dan tanpa menguraikan kaifiyatnya, artinya tanpa membicarakan apakah itu sifat dzat atau sifat fi’il, apakah itu sifat atau ta’alluq-nya atau lain nya, dan tanpa Tasybih artinya menyerupakan atau memberi makna yang terdapat penyerupaan di situ, dan tidak meniadakan nya karena keadaan nya yang tidak diketahui makna nya, artinya bukan berarti ketika tidak diketahui makna nya, otomatis telah mengingkari sifat Allah, karena telah menetapkan sifat Allah dengan kata yang datang dari Al-Quran, sedangkan makna atau terjemahan yang dipahami oleh seseorang, makna tersebut tidak ada pada Allah, artinya sebuah makna yang otomatis dipahami ketika disebutkan sebuah kalimat, maka makna tersebut bukan maksud dari ayat Mutasyabihat, karena makna tersebut tidak boleh ada pada Allah, kerena dengan menyebutkan makna tersebut kepada Allah, otomatis ia telah melakukan penyerupaan Allah dengan makhluk, Ibnu Katsir di atas menyebut dengan sebutan “Musyabbihin” kepada orang yang memahami makna dhohirnya, ini artinya menyebutkan makna dhohir kepada Allah otomatis telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, inilah poin penting yang harus diperhatikan oleh para Salafi Wahabi, bahwa para ulama Salaf dan Khalaf sepakat bahwa makna terjemahan dhohiriyah dalam bab Mutasyabihat tidak layak dengan keagungan Allah, dan menjadikan orang nya sebagai orang yang telah menyerupakan Allah dengan makhluk.inilah metode kebanyakan dari ulama Salaf, dan nampak jelas perbedaan manhaj Salaf dengan manhaj Salafi Wahabi.
    فإن الله لا يشبهه شيء من خلقه، و { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ }
    “karena sesungguhnya Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya, dan [tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia maha mendengar lagi maha melihat. QS Asy-Syura ayat 11]”
    Maksudnya : kenapa makna dhohirnya tidak boleh, karena Allah tidak serupa sedikit pun dengan makhluk-Nya sebagaimana disebutkan dalam surat asy-Syura ayat 11, dan ketika makna dhohirnya terdapat sedikit keserupaan, maka makna dhohir tersebut tidak boleh pada Allah.
    بل الأمر كما قال الأئمة -منهم نُعَيْم بن حماد الخزاعي شيخ البخاري -: “من شبه الله بخلقه فقد كفر، ومن جحد ما وصف الله به نفسه فقد كفر”
    “bahkan masalahnya adalah sebagaimana berkata para ulama diantaranya adalah Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata : “Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka sungguh ia telah kafir, dan barang siapa yang mengingkari  sifat yang Allah sifatkan (sebutkan) kepada diri-Nya, maka sungguh ia telah kafir”.
    Maksudnya : Bukan saja masalah nya sebatas tidak boleh, bahkan orang tersebut dapat menjadi kafir dengan sebab ini, sebagaimana berkata para ulama diantaranya adalah Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata : “Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka sungguh ia telah kafir, dan barang siapa yang mengingkari  sifat yang Allah sifatkan (sebutkan) kepada diri-Nya, maka sungguh ia telah kafir”. artinya termasuk dalam orang dihukumi kafir adalah orang yang beriman dengan makna dhohir, karena sudah dijelaskan di atas bahwa dalam makna dhohir sudah terkandung Tasybih, dan tidak termasuk dalam mengingkari sifat Allah adalah orang yang mengingkari makna dhohir, karena alasan tersebut juga. Maka dapat dipastikan bahwa beriman dengan makna dhohir dalam masalah ini adalah akidah yang salah, bukan akidah Ahlus Sunnah Waljama’ah, bahkan bukan Manhaj Salaf, sekalipun tentang hukum kafir orang nya terdapat perbedaan pendapat ulama, karena kemungkinan dimaafkan bagi orang awam, mengingat ini adalah masalah yang sulit, na’uzubillah.
    وليس فيما وصف الله به نفسه ولا رسوله تشبيه
    “Dan tidak ada penyerupaan (Tasybih) pada sifat yang disifatkan/disebutkan oleh Allah dan Rasul kepada diri-Nya”
    Maksudnya : Tidak ada Tasybih pada kata-kata yang datang dalam Al-Quran dan hadits tentang sifat Allah, bukan pada makna nya, sementara pada makna nya tergantung bagaimana memaknainya, sekaligus ini alasan kenapa tidak boleh mengimani makna dhohiriyah, karena semua sifat yang Allah sebutkan dalam Al-Quran dan Rasul sebutkan dalam Hadits untuk sifat Allah, tidak ada satupun yang ada Tasybih (penyerupaan), maka makna dhohir tersebut dapat dipastikan bukan sifat Allah, karena pada nya terdapat keserupaan.
    فمن أثبت لله تعالى ما وردت به الآيات الصريحة والأخبار الصحيحة، على الوجه الذي يليق بجلال الله تعالى، ونفى عن الله تعالى النقائص، فقد سلك سبيلالهدى.
    “maka barang siapa yang menetapkan bagi Allah taala akan sesuatu yang telah datang ayat yang shorih (ayat Muhkam) dan Hadits yang shohih, dengan cara yang layak dengan keagungan Allah taala, dan meniadakan segala kekurangan dari Allah taala, maka sungguh ia telah menempuh jalan yang terpetunjuk”.
    Maksudnya : Kesimpulan dari uraian di atas, siapa yang menetapkan bagi Allah akan sifat-sifat yang datang dalam ayat-ayat yang shorih yakni ayat-ayat yang Muhkam, bukan malah yakin dengan makna tasybih dalam ayat Mutasyabihat, dan yang datang dalam hadits-hadits yang shohih, dengan metode yang layak dengan keagungan Allah, bukan malah dengan metode yang identik dengan makhluk, dan meniadakan pada Allah segala bentuk kekurangan dari pada sifat-sifat makhluk atau keserupaan dengan makhluk, maka ia telah menempuh jalan yang terpetunjuk yaitu bertauhid dengan tauhid yang benar.
    Wallahu a’lam

    Istawa Dalam Tafsir An-Nasafi

    Dalam Tafsir an-Nasafi terbukti bahwa Salafi Wahabi adalah pendusta agama yang berdusta atas nama Al-Quran dan as-Sunnah, dan memfitnah para ulama Salaf atas nama Manhaj Salaf, mereka dalam bab Mutasyabihat mentafwidh kaifyat dan mentafsirkan dengan makna dhohir, mereka sangat anti dengan Ta’wil dan mengkafirkan aqidah Ta’wil, mereka sangan anti dengan Ta’wil Istawa dengan Istaula, sementara dakwaan mereka sebalik dengan hakikat Manhaj Salaf sesungguhnya, sebagai bukti mari buka Tafsir an-Nasafi, dan lihat apa kata Imam an-Nasafi sebagai berikut :
    { استوى } استولى . عن الزجاج ، ونبه بذكر العرش وهو أعظم المخلوقات على غيره . وقيل : لما كان الاستواء على العرش وهو سرير الملك مما يردف الملك جعلوه كناية عن الملك فقال استوى فلان على العرش أي ملك وإن لم يقعد على السرير ألبتة وهذا كقولك «يد فلان مبسوطة» أي جواد وإن لم يكن له يد رأساً ، والمذهب قول علي رضي الله عنه : الاستواء غير مجهول والتكييف غير معقول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة لأنه تعالى كان ولا مكان فهو على ما كان قبل خلق المكان لم يتغير عما كان .
    “Istawa artinya Istaula (menguasai) dihikayahkan dari Imam az-Zajjaj as-Salafi (241-311 H), dan memberitahu dengan penyebutan ‘Arasy atas lain nya, dan dia adalah sebesar-besar makhluk, dan dikatakan : manakala Istiwa’ atas ‘Arasy yaitu singgasana Raja adalah sebagian dari sesuatu yang berhubungan dengan milik, maka para ulama menjadikan Istiwa’ sebagai kinayah dari pada milik, maka dikatakan Istawa fulan atas ‘Arasy artinya memiliki nya, sekalipun ia tidak duduk atas singgasana sama sekali, demikian seperti perkataan “tangan si fulan luas” artinya pemurah sekalipun ia tidak punya tangan pada kenyataan nya. Dan pendapat kuat itu pernyataan Sayyidina Ali –radhiyallahu ‘anhu- : Istiwa’ tidak majhul, dan menguraikan kaifiyat nya tidak ma’qul, dan beriman dengan nya wajib, dan bertanya tentang nya Bid’ah, karena sesungguhnya Allah taala ada dan tidak ada tempat, maka Allah tetap sebagaimana sebelum menciptakan tempat, Allah tidak berubah sebagaimana ada-Nya”.
    Perhatikan scan kitab berikut


    { استوى } استولى . عن الزجاج
    “Istawa artinya Istaula (menguasai) dihikayahkan dari Imam az-Zajjaj as-Salafi (241-311 H)”
    Maksudnya : Imam an-Nasafi merujuk ke Tafsir Imam az-Zajjaj as-Salafi, dalam Tafsirnya az-Zajjaj menta’wil Istawa dengan Istaula, inilah bukti bahwa Ta’wil juga berasal dari Manhaj Salaf, karena sebagian ulama Salaf melakukan Ta’wil pada sebagian ayat Mutasyabihat, Cuma kebanyakan ulama Salaf lebih memilih Tafwidh makna dan tidak mengkafirkan ulama yang bermanhaj Ta’wil, dua manhaj Ta’wil dan Tafwidh adalah metode agar tidak terjebak dengan Tasybih dalam makna dhohir nya, lain hal nya dengan Salafi Wahabi yang tidak melakukan Tafwidh seperti Tafwidh nya Salaf, dan juga mengkafirkan orang yang bermanhaj Ta’wil, dan mereka justru mentafsirkan nya dengan makna dhohir yang terdapat Tasybih dan Tajsim pada nya.
    ونبه بذكر العرش وهو أعظم المخلوقات على غيره
    “dan memberitahu dengan penyebutan ‘Arasy atas lain nya, dan dia adalah sebesar-besar makhluk”
    Maksudnya : kenapa disebutkan ‘Arasy bila Istawa bermakna Istaula, padahal Allah menguasai semua makhluk-Nya, bukan hanya ‘Arasy, maka jawabnya dengan penyebutan ‘Arasy maka termasuklah semua makhluk lain, karena ‘Arasy adalah makhluk yang paling besar.
    وقيل : لما كان الاستواء على العرش وهو سرير الملك مما يردف الملك جعلوه كناية عن الملك
    “dan dikatakan : manakala Istiwa’ atas ‘Arasy yaitu singgasana Raja adalah sebagian dari sesuatu yang berhubungan dengan milik, maka para ulama menjadikan Istiwa’ sebagai kinayah dari pada milik”
    Maksudnya : Sebagian ulama mentafsirkan Istawa dengan makna memiliki, karena punya hubungan antara makna Istiwa’ dan makna milik, karena tertegah memaknai nya dengan makna dhohir Istawa, maka kata Istawa adalah kinayah dari memiliki.
    فقال استوى فلان على العرش أي ملك وإن لم يقعد على السرير ألبتة وهذا كقولك «يد فلان مبسوطة» أي جواد وإن لم يكن له يد رأساً
    “maka dikatakan Istawa fulan atas ‘Arasy artinya memiliki nya, sekalipun ia tidak duduk atas singgasana sama sekali, demikian seperti perkataan “tangan si fulan luas” artinya pemurah sekalipun ia tidak punya tangan pada kenyataan nya”
    Maksudnya : ketika dikatakan bahwa “si fulan bersemayam /beristiwa’ atas singgasana, maka artinya si fulan memiliki singgasana tersebut walaupun ia tidak berada /bersemayam di atas nya, demikian juga seperti dikatakan “Tangan si fulan luas” maka artinya si fulan adalah seorang yang pemurah, sekalipun ia tidak punya tangan sama sekali, karena kata tangan adalah kiasan dari pemurah, sebagaimana Istawa adalah kiasan dari memiliki.
    والمذهب قول علي رضي الله عنه : الاستواء غير مجهول
    “Dan pendapat kuat itu pernyataan Sayyidina Ali –radhiyallahu ‘anhu- : Istiwa’ tidak majhul”
    Maksudnya : Pendapat kuat dalam masalah makna ayat Mutasyabihat adalah sebagaimana Manhaj kebanyakan ulama Salaf yaitu pernyataan Sayyidina Ali –Radhiyallahu ‘anhu- bahwa Istawa tidak majhul artinya telah dimaklumi kata Istawa dari Al-Quran dan dimaklumi makna dhohirnya, tapi tidak dimaklumi makna maksud darinya. Dapatlah diketahui bahwa tentang masalah makna nash Mutasyabihat adalah masalah khilafiyah, ketika makna dhohirnya tidak boleh dinisbahkan kepada Allah, maka boleh memaknainya dengan makna apa saja yang layak dengan keagungan dan kesempurnaan Allah, sehingga lahirlah bermacam ta’wil dengan makna yang layak dengan Allah, sementara kebanyakan ulama Salaf lebih memilih tidak menentukan satu makna tertentu untuk kata tersebut, karena apapun makna yang dipakai, semua makna itu tidak akan mampu mewakili kata yang telah dipilih oleh Allah untuk diri-Nya.
    والتكييف غير معقول
    “menguraikan kaifiyat nya tidak ma’qul”
    Maksudnya : berbicara tentang kaifiyat nya adalah tidak masuk akal (mustahil), bagaimana pun mengurai kaifiyat nya, namun yakinlah bahwa Allah tidak seperti demikian.
    والإيمان به واجب
    “dan beriman dengan nya wajib”
    Maksudnya : Wajib beriman dengan kata Istawa karena jelas penyebutan nya dalam Al-Quran, bukan beriman dengan makna dhohir, sementara beriman dengan makna dhohir adalah tidak boleh karena terdapat Tasybih padanya, maka mengingkari makna dhohir tidak menjadi kafir karena nya, tapi kafir bila ingkar kata Istawa, maka termasuk dalam orang yang beriman di sini adalah orang yang bermanhaj Ta’wil.
    والسؤال عنه بدعة
    “dan bertanya tentang nya Bid’ah”
    Maksudnya : Bertanya tentang Istawa Bid’ah dan bahkan membicarakan dan menguraikan ini adalah Bid’ah, tapi mudah-mudahan ini Bid’ah hasanah, karena para ulama telah menguraikan nya, selama tidak membicarakan kaifiyat nya.
    لأنه تعالى كان ولا مكان
    “karena sesungguhnya Allah taala ada dan tidak ada tempat”
    Maksudnya : Ini poin penting, apa hubungan nya dengan Istawa, seandainya makna dhohir Istawa yaitubersemayam itu layak dengan keagungan dan kesempurnaan Allah, maka tidak ada hubungan Istawa dengan pernyataan Sayyidina Ali ini, tapi Sayyidina Ali mengatakan Allah telah ada dan tidak ada tempat, artinya sebelum ada ‘Arasy Allah tidak bersifat dengan bertempat/bersemayam, maka setelah menciptakan ‘Arasy juga demikian, maka makna dhohir yang dipahami bahwa Allah bertempat atau bersemayam di atas ‘Arasy setelah menciptakan ‘Arasy adalah tidak layak dengan keagungan dan kesempurnaan Allah, karena terdapat Tasybih di dalam nya, inilah hubungan antara pernyataan ini dengan Istawa.
    فهو على ما كان قبل خلق المكان لم يتغير عما كان
    “maka Allah tetap sebagaimana sebelum menciptakan tempat, Allah tidak berubah sebagaimana ada-Nya”.
    Maksudnya : Dzat Allah dan sifat-sifat Allah tidak berubah atau bertambah, sebagaimana Allah ada sebelum menciptakan apapun, begitu juga Allah setelah menciptakan makhluk-Nya dan selama nya, sementara Salafi Wahabi percaya dan sangat yakin bahwa Allah berubah dan bertambah sifat-Nya ketika menciptakan ‘Arasy dan langit. Na’uzubillah
    Kesimpulan dari Tafsir an-Nasafi adalah :
    ·         Sepakat ulama Salaf tidak memahami nash Mutasyabihat dengan makna dhohir, dengan dua metode Tafwidh makna dan Ta’wil makna.
    ·         Kebanyakan ulama Salaf memilih Tafwidh dan sebagian ulama Salaf memilih Ta’wil.
    ·         Ta’wil Istawa dengan Istaula adalah Ta’wil dari Manhaj sebagian Salaf.
    ·         Ulama Salaf tidak anti Ta’wil.
    ·         Manhaj Salaf bukan mentafwidh kaifiyat, tapi mentafwidh makna maksud kepada Allah.
    Wallahu a’lam

    Istawa Dalam Tafsir Imam al-Qurthubi

    Mulia dengan Manhaj Salaf adalah selogan yang agung dan benar adanya, namun ketika fakta nya mereka yang mereka yang selalu mengagung-agungkan manhaj Salaf, pada kenyataan nya mereka sendiri sangat bertentangan dan jauh menyimpang dari Manhaj Salaf, mereka hanya membanggakan diri, tapi tidak ada yang bisa dibanggakan dari mereka, tidak mungkin ada kemuliaan pada dua sisi yang saling bertentangan, itulah gambaran bagi para pengikut Manhaj Wahabi, Manhaj Salaf versi mereka adalah Manhaj mereka sendiri, tidak ada hubungan dengan Manhaj Salaf nya para ulama Salaf, ini salah satu buktinya :
    Imam al-Qurthubi menuliskan dalam Tafsir nya sebagai berikut :
    وهذه الآية من المشكلات، والناس فيها وفيما شاكلها على ثلاثة أوجه، قال بعضهم : نقرؤها ونؤمن بها ولا نفسرها؛ وذهب إليه كثير من الأئمة، وهذا كما روي عن مالك رحمه الله أن رجلاً سأله عن قوله تعالى ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَى,قال مالك : الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة، وأراك رجل سَوْء! أخرجوه. وقال بعضهم : نقرؤها ونفسّرها على ما يحتمله ظاهر اللغة. وهذا قول المشبّهة. وقال بعضهم : نقرؤها ونتأوّلها ونُحيل حَمْلها على ظاهرها
    “Dan ayat ini sebagian dari ayat-ayat yang sulit, Dan manusia pada ayat ini dan pada ayat-ayat sulit lainnya, ada tiga (3) pendapat : Sebagian mereka berkata : “kami baca dan kami imani dan tidak kami tafsirkan ayat tersebut, pendapat ini adalah pendapat mayoritas para Imam, dan pendapat ini sebagaimana diriwayatkan dari Imam Malik –rahimahullah- bahwa seseorang bertanya kepada nya tentang firman Allah taala (Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsyi Istawa), Imam Malik menjawab : Istiwa’ tidak majhul, dan kaifiyat tidak terpikir oleh akal (mustahil), dan beriman dengan nya wajib, dan bertanya tentang nya Bid’ah, dan saya lihat anda adalah orang yang tidak baik, tolong keluarkan dia”. Dan sebagian mereka berkata : “kami bacakan dan kami tafsirkan menurut dhohir makna bahasa (lughat)”, pendapat ini adalah pendapat Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Dan sebagian mereka berkata : “kami bacakan dan kami Ta’wil dan kami berpaling dari memaknainya dengan makna dhohir”.[Tafsir al-Qurthubi. Surat al-Baqarah ayat 29]
    Perhatikan scan kitab di bawah ini


    Imam al-Qurthubi sangat shorih dalam menafsirkan ayat tersebut, dan beliau juga sangat telilti dalam menjelaskanmetode dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat, dan kita tahu bagaimana aqidah Imam al-Qurthubi, mari kita pahami syarahan dari Imam al-Qurthubi di atas.
    وهذه الآية من المشكلات
    “Dan ayat ini sebagian dari ayat-ayat yang sulit”
    Maksudnya : Ayat tersebut termasuk dalam bagian ayat-ayat yang sulit, yaitu yang sering disebut dengan ayat-ayat Mutasyabihat, memahami ayat ini tidak segampang memahami ayat lain, menandakan ada “sesuatu” pada ayat tersebut, karena memahami ayat ini dengan metode yang sama dengan ayat lain, akan membuat seseorang terjebak dalam aqidah Tasybih, maka nya Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa ayat tersebut termasuk dalam ayat yang sulit, dan tertolaklah anggapan sebagian orang yang menyangka semua ayat mudah dan ditafsirkan dengan cara yang sama.
    والناس فيها وفيما شاكلها على ثلاثة أوجه
    “Dan manusia pada ayat ini dan pada ayat-ayat sulit lainnya, ada tiga (3) pendapat”
    Maksudnya : Setelah melakukan penelitian, Imam al-Qurthubi mendapati ada tiga macam pendapat atau metode dalam memahami ayat-ayat Mutasyabihat, tiga pendapat ini masih secara keseluruhan, mana yang benar dan mana yang sesat, insyaallah akan kita pahami nantinya.
    قال بعضهم : نقرؤها ونؤمن بها ولا نفسرها
    “Sebagian mereka berkata : kami baca dan kami imani dan tidak kami tafsirkan ayat tersebut”
    Maksudnya : Pendapat pertama adalah mereka yang membaca dan beriman dengan kata yang datang dari Al-Quran dengan tidak mentafsifkan nya, mereka memperlakukan kata tersebut sebagaimana datang nya tanpa mentafsirkan nya dengan kata lain yang sama artinya, metode mereka adalah tidak mentafsirkan baik denganmakna dhohir atau makna Ta’wil, baik dalam membaca atau mengungkapkan nya atau pun dalam mengimani nya, mereka bukan mengimani makna nya karena mereka tidak mentafsirkan nya, inilah yang disebut Tafwidh atau Ta’wil Ijmali, maka disini jelas kesalahan orang yang mengatakan bahwa Tafwidh adalah Tafwidh kaifiyat bukan Tafwidh makna maksud.
    وذهب إليه كثير من الأئمة
    “pendapat ini adalah pendapat mayoritas para Imam”
    Maksudnya : Metode di atas adalah metode mayoritas Ulama, yaitu metode Tafwidh makna maksud, dan beriman dengan mengungkapkan dengan kata yang datang dari Al-Quran tanpa mentafsirkan nya dengan kata lain yang sama makna nya. Dan Imam al-Qurthubi tidak membedakan antara Ulama Salaf dan Ulama Khalaf, artinya metode tersebut bukan hanya metode Ulama Salaf, karena Ulama Khalaf pun ada yang berpegang dengan metode ini, dan Ulama Salaf pun ada yang tidak tetap atas metode ini pada sebagian ayat Mutasyabihat.
    وهذا كما روي عن مالك رحمه الله أن رجلاً سأله عن قوله تعالى ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَى
    ”dan pendapat ini sebagaimana diriwayatkan dari Imam Malik –rahimahullah- bahwa seseorang bertanya kepada nya tentang firman Allah taala (Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsyi Istawa)”
    Maksudnya : Imam al-Qurthubi memahami metode ini dari sebuah riwayat bahwa Imam Malik ditanyakan oleh seseorang tentang ayat (Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsyi Istawa), dari jawaban Imam Malik terhadap orang itu, Imam al-Qurthubi memahami bahwa Imam Malik dalam bab Mutasyabihat bermanhaj Tafwidh, yaitu tidak mentafsirkan  atau tidak menterjemahkan kapada satu makna tertentu, tapi menetapkan kata tersebut sebagaimana adanya, baik dalam bacaan atau ungkapan atau pun dalam mengimani nya. Lihatlah bagaimana perbedaan mendasar antara apa yang dipahami oleh Imam al-Qurthubi dan apa yang dipahami oleh kaum Salafi Wahabi, lebih celakanya lagi Salafi Wahabi menyandarkan pemahaman mereka yang sangat jauh melenceng itu kepada Imam Malik dan para ulama Salaf lain nya.
    قال مالك : الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة، وأراك رجل سَوْء! أخرجوه
    “Imam Malik menjawab : Istiwa’ tidak majhul, dan kaifiyat tidak terpikir oleh akal (mustahil), dan beriman dengan nya wajib, dan bertanya tentang nya Bid’ah, dan saya lihat anda adalah orang yang tidak baik, tolong keluarkan dia”
    Maksudnya : Imam Malik menjawab bahwa lafadz Istiwa’ tidak majhul, ada dua versi dalam memahami perkataan ini, pertama : Tidak majhul artinya lafadh Istawa ma’lum karena telah datang dalam Al-Quran, kedua : Tidak majhul artinya makna lughat Istawa ma’lum dari bahasa Arab, namun kedua versi tersebut tidak saling bertentangan karena sepakat bahwa Imam Malik tidak mentafsirkan nya kedalam makna lughat atau makna dhohir, sebagaimana Imam al-Qurthubi dan Imam Ahlus Sunnah lain nya, memahami dari pernyataan Imam Malik ini bahwa Imam Malik memberlakukan lafadh tersebut sebagaimana datang nya tanpa mentafsirkan nya dengan satu makna maksud, jadi jelaslah bahwa maksud “tidak majhul” adalah bukan maklum makna maksud (makna murad). Selanjutnya Imam Malik berkata : dan kaifiyat nya tidak ma’qul, artinya kaifiyat nya mustahil pada Allah, bukan hanya sebatas tidak diketahui oleh manusia, artinya Allah taala tidak bersifat dengan kaifiyat, sementara Salafi Wahabi meyakini Allah bersifat dengan kaifiyat tapi tidak ada dalil, dan mereka mentafwidh kaifiyat nya, bukan meniadakan kaifiyat nya sebagaimana aqidah ahlus sunnah waljama’ah. Selanjutnya Imam Malik berkata : danberiman dengan nya wajib, artinya beriman dengan kata Istawa wajib hukum nya, dan kafirlah siapa pun yangmengingkari Istawa, tapi bukan beriman dengan “Bersemayam” atau dengan makna lughat Istawa lain nya, karena tidak pernah mentafsirkan kata Istawa, jadi di sini pun maksudnya adalah beriman dengan kata Istawa bukan dengan makna lughat Istawa. Selanjutnya Imam Malik berkata : dan bertanya tentang nya adalah Bid’ah, menunjukkan ini adalah pembahasan baru yang tidak ada dimasa Rasulullah, lalu Imam Malik meminta agar orang tersebut dikeluarkan karena beliau melihat ia tidak bermaksud baik.
    وقال بعضهم : نقرؤها ونفسّرها على ما يحتمله ظاهر اللغة
    “Dan sebagian mereka berkata : kami bacakan dan kami tafsirkan menurut dhohir makna bahasa (lughat)”
    Maksudnya : Pendapat kedua adalah sebagian orang dalam bab Mutasyabihat memilih metode membaca lalumentafsirkan atau menterjemahkan ke dalam arti bahasa, inilah hakikat Manhaj Salafi Wahabi, tentunya sangat jelas perbedaan metode mereka dengan metode Imam malik di atas, walau pun mereka sandarkan metode mereka kepada metode Ulama Salaf, mereka tidak menyadari ada bahaya besar di balik metode mereka, dan mereka tidak akan pernah sadar telah berpaling dari aqidah Salaf, selama mereka menyangka bahwa metode mereka sama dengan metode Salaf.
    وهذا قول المشبّهة
    “pendapat ini adalah pendapat Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk)”
    Maksudnya : Metode menterjemahkan ayat-ayat Mutasyabihat ke dalam arti lughat adalah metode kaum Musyabbihah dulu, artinya dengan berpegang dengan metode ini maka dengan sendiri nya sudah termasuk dalam Musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), karena dalam metode tersebut tersimpan Tasybih. Manhaj inilah yang didakwahkan oleh Salafi Wahabi atas nama Tauhid, tapi ternyata Tauhid yang mereka tegakkan hanyalah Tauhid Musyabbihah. Dan dari pernyataan ini dapatlah diketahui bahwa Imam al-Qurthubi tidak setuju dengan metode ini, dan dari tiga macam metode yang ada hanya metode ini yang tidak berjalan atas Manhaj Ahlus Sunnah Waljama’ah.
    وقال بعضهم : نقرؤها ونتأوّلها ونُحيل حَمْلها على ظاهرها
    “Dan sebagian mereka berkata : kami bacakan dan kami Ta’wil dan kami berpaling dari memaknainya dengan makna dhohir”
    Maksudnya : Pendapat ketiga adalah sebagian orang yang memilih metode membaca lalu menta’wil  atau mentafsirkan nya dengan makna yang layak dengan kesempurnaan Allah, bukan dengan makna lughat, dan dari pernyataan ini dapat diketahui bahwa Imam al-Qurthubi tidak mencela metode ini, dan menghargainya selayak nya sebuah khilafiyah, dan Imam al-Qurthubi juga mengatakan bahwa metode ini bukan Manhaj Salaf atau bahkan bertentangan dengan Manhaj Salaf, karena sebagian Salaf juga melakukan Ta’wil pada sebagian ayat Mutasyabihat, cuma mayoritas Ulama lebih memilih metode pertama di atas dari metode ini.
    Hasbunallah wa ni’mal wakil, semoga Salafi Wahabi segera kembali ke Hakikat Manhaj Salaf di atas, bukan hanya di bibir saja tapi mati-matian membela Manhaj Musyabbihah Mujassimah, sementara Manhaj Salaf terlepas dari mereka. Wallahu a’lam.